Beban Terakhir Faya
April 2010, ditulis oleh De' Ela
Alan terbaring jenuh sembari menatap iri orang-orang di
taman bersama keluarga masing-masing. Lampu ruangan yang redup seolah makin suram dengan keheningan yang
tercipta dari dalam-dalamnya hati. Tak ada air mata. Hanya
jenuh, marah, dan kecewa.
Dua hari dia terbaring di sana. Dua hari pula tak ada yang menjenguknya. Dan selama itu juga dia hanya terbaring disana sambil memendam pedih.
Dimana sahabat yang selalu
tertawa bersamanya? Mereka bukan sahabat, mereka hanya teman! Dimana kekasih
yang selalu ada disaat dia ada? Bukan! Dia ada saat uang ada! Dimana keluarga
yang yang selalu memenuhi kebutuhan materinya?
Alan mendengar kenop pintu diputar.
Serta merta dia menoleh penuh harap. Minimal teman-temannya itu lah. Meski
hatinya masih benci!
Bukan bahagia apalagi kecewa.
Dia malah terpesona. Rambut hitam ikal itu berkilau indah dan alami. Kulit yang
putih halus. Badannya mungil
ramping dibalut gaun putih berenda-renda sampai betis. Apalagi yang punya
berparas elok bagai bunga sakura mekar, secerah langit musim semi. Mata yang
hitam legam dengan alis tipis melengkung sempurna bagai pelangi dan bulu mata
yang lentik.
Sungguh dia mengira gadis itu
bidadari, atau malaikat. Kalau begini aku ikhlas untuk mati jika dia yang
menjemput, gumamnya dalam hati. Apalagi ketika senyum mungilnya merekah.
Sungguh sampai pegal pun lehernya itu dia mau demi memandangi malaikatnya
Dimana kejenuhan, kekecewaan, kebencian,
dan segala rasa buruk itu? Alan telah membuangnya jauh-jauh. Ruangan ini
terlalu sempit untuk dua rasa yang berlawanan. Tapi terasa begitu lapang dan
sejuk seperti hatinya.
”Lho, ini bukan kamar Adinda?”
suara kekanak-kanakkannya begitu nyaman di telinga.
”Bukan, ini kamarku,” katanya
seraya duduk tanpa mengalihkan pandang. Tapi tertarik untuk melirik tangannya
yang lunglai. Kedua tangannya terisi penuh.
”Oh, jadi ini bukan kamar
mawar nomer 13?’’ tanyanya sambil melihat sekeliling.
”Bukan, ini nomer 12.” sahut
Alan seraya menggeleng.
”Oh, aduh. Maaf sekali sudah
mengganggumu. Aku jadi rabun tanpa kaca mataku,” katanya sambil nyengir kuda. Tak
ada lesung pipi. Yang ada jantung yang berdetak tak normal dan mata yang tak
jua berkedip, pada Alan tentunya .
”Enggak ganggu kok,” gumam Alan.
”Ya udah aku permisi,” malaikatnya baru berbalik ketika
dia berseru.
”Tunggu!” tangannya berusaha
menahan tapi tak terjangkau. Sementara malaikat Alan berbalik memandangnya lagi Alan jadi bingung ingin
bilang apa. ”Eh, e.... boleh kastanggelnya buatku? Ehm, aku lapar,” lanjutnya
gugup. Disamping itu, alasan awalnya adalah supaya malaikatnya lebih lama di sini,
memberi damai. Dia pun tak mengira akan indah akhirnya.
Si gadis tersenyum geli lalu
mendekati tempat tidur Alan, “Ini.”
“Terima kasih.”
“Dimana keluargamu?”
Sial! Pisau itu kembali
menusuk!
”Em, mereka belum bisa
jenguk,” pilihan terbaik Alan, jujur. Malaikat tak bisa dibohongi! Kali ini
Alan tak yang mampu membohongi.
Gadis itu ber-oh, lalu menarik
kursi di dekat tempat tidur dan duduk! ”Kalau begitu aku temani sebentar, ya?”
suaranya begitu manis Dan pertanyaannya itu adalah yang paling indah!
”Silahkan. Sambil makan
kastangel bareng,” sahutnya penuh semangat. Dia tersenyum, buru-buru Alan
menunduk pura-pura konsentrasi penuh membuka tutup stoples. Sadar wajahnya
pasti merah.
Gadis itu bertanya lagi.
”Dimana teman-temanmu?”
”Entah. Mereka memang
penghianat, muka dua!” sahut Alan otomatis dari bawah sadarnya.
”Eh, maksudku, aku tidak
tahu,” ralat Alan buru-buru, mengangkat muka sehingga dilihatnya lagi mata itu
indah dan tajam. Lagi-lagi perutnya serasa jungkir balik.
”Kalau begitu aku temani agak
lama tidak apa-apa?” sahutnya. Alan tercengang antara bahagia dan heran.
”Lalu bagaimana dengan temanmu
itu?” tanya Alan gugup.
”Kalau kamu tidak suka aku
disini aku bisa pergi kok.”
”Enggak, jangan! Eh maksudku
aku jadi enggak enak sama temanmu. Dan takutnya nanti ada yang marah,” buru-buru
dia menambahkan.
Dia tertawa, begitu merdu.
Lalu duduk lagi. ”Tidak ada yang marah kok. Dan aku yakin Adinda sedang
menerima banyak tamu di ruangannya. ”Oh, ya. Aku, Faya, siapa namamu?”
”Alan..,” jawabnya seraya
menjabat tangan Malaikat Faya!
”Dan kurasa lebih baik bunga
dan coklat ini lebih berguna untukmu,” lanjut Faya.
Alan bisa-bisa berubah jadi
batu karena terlalu sering tertegun hari ini. Dan jantungnya makin sering saja
meledak-ledak. Sorot matanya begitu tajam, ironi dengan perawakannya yang
anggun. Apalagi dengan sikapnya yang sangat ramah.
“Kenapa? Kamu tidak suka
coklat dan bunga?” lanjutnya setelah tak jua Alan bersuara.
Dia menelan ludah, berusaha
sadar. “Bukan. Aku suka bunganya. Terima kasih,” sahutnya sambil menerima
seikat bunga tulip putih. ”Tapi aku tidak bisa makan coklatnya,” lanjutnya
sambil menunjuk kaki dan tangan kanannya yang diperban. Satu lagi yang juga
diperban, bagian kepala. ”Kecelakaan,”Alan menambahkan.
”Oh-oh. Kalau begitu kamu
simpan saja sampai kamu sembuh. Soalnya aku yakin kamu akan butuh coklat,”
sahut Faya enteng tapi seolah dia benar-benar ingin memberikannya. Sayangnya Alan
memang terlalu terpaku pada malaikatnya.
”Oke, terima kasih.”
Selanjutnya kunjungan Malaikat
Faya semakin membuat Alan terkagum-kagum terhadap Faya yang malah membuatnya
nyaman. Lupa dia seharusnya tak mudah percaya pada orang lain setelah kejadian
itu. Begitu polos tingkahnya yang lebih banyak mencomot kastangel daripada
Alan. Meski sampai di akhir kunjungan Alan masih gerogi.
Malam itu Alan memimpikan Faya
membawanya terbang, bersama burung, di atas langit. Begitu bahagia dia. Dapat
menyentuh tangan halus Faya, menggenggamnya erat. Namun tiba-tiba Faya melepas
genggamannya. Menjatuhkan Alan ke Bumi dengan rasa sakit tiada terkira.
”Apa aku bersayap?” begitu
tanya Faya ketika dengan lugas Alan menceritakan mimpinya.
Alan menggeleng, heran melihat
antusias Faya yang pudar, mendengar jawaban Alan. Benar juga, malaikat kan
seharusnya punya sayap, gumamnya dalam hati.
Dengan senang hati Faya
menerima permintaan tolong Alan untuk membawanya jalan-jalan menghirup udara
segar di taman. Pohon jambu air tumbuh mengelilingi satu sisi di mana di baliknya
terdapat kolam kecil. Cahaya matahari menembus celah-celah di antara rindang
pohon.
Mereka melirik sisi yang lain.
Penuh dengan bunga dan
tanaman-tanaman hias. Pagar tanaman tumbuh rapi membentuk seperti labirin
rendah. Bunga aster tumbuh bersama bunga liar, menikmati cahaya penuh vitamin
di pagi hari.
Alan sadar betul Faya berbeda
hari ini. Begiu antonim; pendiam, tak akan bicara jika Alan tidak memulainya. Matanya tetap tajam meski dia merasa ada
unsur sendu di sana. Dan
senyumnya, kali ini lebih memesona! Melebihi senyum misterius Monalisa!
Jika saja dia mampu berjalan,
dia pasti akan mengambil setangkai mawar untuk Faya.
“Kamu tahu kenapa aku bisa di
sini?” Alan memulai.
”Tahu. Kecelakaan?” sahutnya
begitu saja.
Alan tertawa mendengarnya.
”Maksud aku kronologisnya,” Alan begitu sabar dengan kepolosan malaikatnya.
”Saat itu aku sedang naik
mobil, tiba-tiba di depan ada seorang gadis menyeberang jalan aku menghindar
tapi aku malah jatuh ke jurang. Untung jurangnya enggak dalam.”
”Kamu masih ingat seperti apa
gadis itu?” tanya Faya, menyimak dengan serius.
”Enggak. Yang aku ingat dia
pake gaun hitam dan kaca mata. Tapi, kalo diingat-ingat perawakannya mirip
kamu. Sayang aku enggak lihat wajahnya,” Alan menerawang masa lalu.
”Dia pernah menjenguk kamu?
Keluarganya mungkin?” tanya Faya lagi, tampak serius.
Alan menggeleng lagi. ”Enggak
ada yang menjenguk aku selain kamu selama aku di sini,” jawabnya nampak murung
mengingat masalahnya sendiri.
Faya membelai pundak Alan.
”Gadis itu memang bodoh! Menyebarang jalan sembarangan!” Faya berusaha
mengalihkan perhatian.
Menggeleng keras, Alan.
”Enggak. Sebenarnya itu salahku. Saat itu aku sedang emosi. Sebelum itu aku
sedang di kafe’ tempat biasa aku nongkrong, marah pada orang tuaku yang tidak
juga pulang dari Tokyo. Sampai aku mengumpat semoga mereka bangkrut! Pacarku datang
dan dia hanya mendengar separuh kalimatku.
”Kelihatan shock dia. Jadi
ingin mengerjainya sekalian. Tapi dia malah mencampakan aku saat itu. Dia juga ngaku,
di depan teman-temanku yang juga baru datang, kalau dia udah punya penggantiku!
Dia salah satu dari teman-temanku itu.
”Mereka tahu keburukan
pacarku! Tapi sayangnya meraka juga penghianat...! Hanya dengan satu kebohongan
dan kedok mereka langsung terbongkar! Mereka semua penghianat! Orang tuaku
egois! Sempurna sudah!”
Faya menyimak dalam diam.
”Aku pergi. Ngebut. Tapi
sedang emosi. Enggak konsen.’
Angin dingin yang datang mendirikan rambut di kulit
Alan.
“Tapi aku yakin mereka pasti
masih peduli padamu. Dan orang tuamu mungkin mereka sedang dalam perjalanan
pulang,” Faya berusaha memberi harapan.
Alan menggeleng sambil masih
terus menunduk memandang lututnya.
”Sebenarnya pihak rumah sakit
sudah berusaha menelpon orang tuaku. Tapi mereka terlalu sibuk bekerja. Dan
saat aku sadar aku minta mereka untuk tidak memberitahu siapapun. Biar mereka
yang mencariku. Biar aku tahu siapa yang benar-benar peduli padaku.” Matanya berkilat membara.
Faya menggenggam lembut tangan
Alan. Dia yang tak melihat wajah Faya yang penuh penyesalan. Matanya makin
sendu.
Malam ini Alan tidur tak
lelap. Kali ini Malaikat Faya terbang sendirian, menjauhinya. Alan
memanggil-manggil namun Faya tak menoleh. Terus terbang. Air mata jatuh ke
kepalanya.
Seketika Alan benar-benar
bangun, melihat sosok di depannya. Punggungnya tertutup gaun hitam sutera.
Namun sepasang kerangka sayap emas mencuat dari punggungnya. Rambutnya ikal
hitam berkilau.
Faya?” refleks dia memanggil.
Gadis itu berbalik. Dan benar
saja! Dia Faya! Dengan sayap yang belum sempurna.
Matanya begitu sendu.
”Inilah aku yang sesungguhnya,” rutuknya.
”Kamu punya cerita, dan aku juga punya cerita. Akulah
gadis itu, Alan. Setelah kamu menghindar untuk menabrakku, sebuah bis di
belakang tak bisa me-rem dan akhirnya menabrakku. Hal yang begitu dekat dengan
yang aku inginkan. Mati.
”Akulah Adinda Faya, Alan.”
Alan menolngo tak percaya. Ada gelisah tak enak pada
dirinya. Dia pasti sedang
mimpi.
”Tapi...tapi kau... sehat!”
Faya menggeleng. ”Aku sudah
mati, alan. Tapi aku tidak bisa pergi dengan tenang, aku tak bisa terbang
dengan sayapku yang belum sempurna.”
”Apa maksudmu?” Alan gelisah.
”Kau sakit karena aku. Dan aku
merasa sangat bersalah,” jawabnya, ”tapi sekarang aku sudah siap pergi. Maafkan
aku, Alan. Dan biarkan aku pergi dengan tenang. Jangan bebani aku dengan
perasaanmu,” Faya menangis...
Alan tertegun mendengarnya. Terguncang.
Dan merasa dihianati, lagi. Tapi ada rasa yang indah dan menyakitkan bersemayam
di hatinya, sementara makin lama Faya makin menjauh ke langit. Menggenggam erat
coklatnya supaya tak ikut terbang. Untuk penawar perihnya.
Kamar Mawar 13 hari itu memang penuh, dengan isak tangis saat Faya
meninggal. Sementara itu entah bagaimana paginya, orang tua Alan bisa menemukan
Alan di sana. Bercerita bahwa ibunya mimpi buruk tentang Alan.
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.