Selasa, 20 Mei 2014

Beban Terakhir Faya

Beban Terakhir Faya


April 2010, ditulis oleh De' Ela

Alan terbaring jenuh sembari menatap iri orang-orang di taman bersama keluarga masing-masing. Lampu ruangan yang redup seolah makin suram dengan keheningan yang tercipta dari dalam-dalamnya hati. Tak ada air mata. Hanya jenuh, marah, dan kecewa.
Dua hari  dia terbaring di sana. Dua hari pula tak ada yang menjenguknya. Dan selama itu juga dia hanya terbaring disana sambil memendam pedih.
Dimana sahabat yang selalu tertawa bersamanya? Mereka bukan sahabat, mereka hanya teman! Dimana kekasih yang selalu ada disaat dia ada? Bukan! Dia ada saat uang ada! Dimana keluarga yang yang selalu memenuhi kebutuhan materinya?
Alan mendengar kenop pintu diputar. Serta merta dia menoleh penuh harap. Minimal teman-temannya itu lah. Meski hatinya masih benci!


Bukan bahagia apalagi kecewa. Dia malah terpesona. Rambut hitam ikal itu berkilau indah dan alami. Kulit yang putih halus. Badannya mungil ramping dibalut gaun putih berenda-renda sampai betis. Apalagi yang punya berparas elok bagai bunga sakura mekar, secerah langit musim semi. Mata yang hitam legam dengan alis tipis melengkung sempurna bagai pelangi dan bulu mata yang lentik.
Sungguh dia mengira gadis itu bidadari, atau malaikat. Kalau begini aku ikhlas untuk mati jika dia yang menjemput, gumamnya dalam hati. Apalagi ketika senyum mungilnya merekah. Sungguh sampai pegal pun lehernya itu dia mau demi memandangi malaikatnya
Dimana kejenuhan, kekecewaan, kebencian, dan segala rasa buruk itu? Alan telah membuangnya jauh-jauh. Ruangan ini terlalu sempit untuk dua rasa yang berlawanan. Tapi terasa begitu lapang dan sejuk seperti hatinya.
”Lho, ini bukan kamar Adinda?” suara kekanak-kanakkannya begitu nyaman di telinga.
”Bukan, ini kamarku,” katanya seraya duduk tanpa mengalihkan pandang. Tapi tertarik untuk melirik tangannya yang lunglai. Kedua tangannya terisi penuh.
”Oh, jadi ini bukan kamar mawar nomer 13?’’ tanyanya sambil melihat sekeliling.
”Bukan, ini nomer 12.” sahut Alan seraya menggeleng.
”Oh, aduh. Maaf sekali sudah mengganggumu. Aku jadi rabun tanpa kaca mataku,” katanya sambil nyengir kuda. Tak ada lesung pipi. Yang ada jantung yang berdetak tak normal dan mata yang tak jua berkedip, pada Alan tentunya .
”Enggak ganggu kok,” gumam Alan.
”Ya udah aku permisi,” malaikatnya baru berbalik ketika dia berseru.
”Tunggu!” tangannya berusaha menahan tapi tak terjangkau. Sementara malaikat Alan berbalik memandangnya lagi Alan jadi bingung ingin bilang apa. ”Eh, e.... boleh kastanggelnya buatku? Ehm, aku lapar,” lanjutnya gugup. Disamping itu, alasan awalnya adalah supaya malaikatnya lebih lama di sini, memberi damai. Dia pun tak mengira akan indah akhirnya.
Si gadis tersenyum geli lalu mendekati tempat tidur Alan, “Ini.”
“Terima kasih.”
“Dimana keluargamu?”
Sial! Pisau itu kembali menusuk!
”Em, mereka belum bisa jenguk,” pilihan terbaik Alan, jujur. Malaikat tak bisa dibohongi! Kali ini Alan tak yang mampu membohongi.
Gadis itu ber-oh, lalu menarik kursi di dekat tempat tidur dan duduk! ”Kalau begitu aku temani sebentar, ya?” suaranya begitu manis Dan pertanyaannya itu adalah yang paling indah!
”Silahkan. Sambil makan kastangel bareng,” sahutnya penuh semangat. Dia tersenyum, buru-buru Alan menunduk pura-pura konsentrasi penuh membuka tutup stoples. Sadar wajahnya pasti merah.
Gadis itu bertanya lagi.
”Dimana teman-temanmu?”
”Entah. Mereka memang penghianat, muka dua!” sahut Alan otomatis dari bawah sadarnya.
”Eh, maksudku, aku tidak tahu,” ralat Alan buru-buru, mengangkat muka sehingga dilihatnya lagi mata itu indah dan tajam. Lagi-lagi perutnya serasa jungkir balik.
”Kalau begitu aku temani agak lama tidak apa-apa?” sahutnya. Alan tercengang antara bahagia dan heran.
”Lalu bagaimana dengan temanmu itu?” tanya Alan gugup.
”Kalau kamu tidak suka aku disini aku bisa pergi kok.
”Enggak, jangan! Eh maksudku aku jadi enggak enak sama temanmu. Dan takutnya nanti ada yang marah,” buru-buru dia menambahkan.
Dia tertawa, begitu merdu. Lalu duduk lagi. ”Tidak ada yang marah kok. Dan aku yakin Adinda sedang menerima banyak tamu di ruangannya. ”Oh, ya. Aku, Faya, siapa namamu?”
”Alan..,” jawabnya seraya menjabat tangan Malaikat Faya!
”Dan kurasa lebih baik bunga dan coklat ini lebih berguna untukmu,” lanjut Faya.
Alan bisa-bisa berubah jadi batu karena terlalu sering tertegun hari ini. Dan jantungnya makin sering saja meledak-ledak. Sorot matanya begitu tajam, ironi dengan perawakannya yang anggun. Apalagi dengan sikapnya yang sangat ramah.
“Kenapa? Kamu tidak suka coklat dan bunga?” lanjutnya setelah tak jua Alan bersuara.
Dia menelan ludah, berusaha sadar. “Bukan. Aku suka bunganya. Terima kasih,” sahutnya sambil menerima seikat bunga tulip putih. ”Tapi aku tidak bisa makan coklatnya,” lanjutnya sambil menunjuk kaki dan tangan kanannya yang diperban. Satu lagi yang juga diperban, bagian kepala. ”Kecelakaan,”Alan menambahkan.
”Oh-oh. Kalau begitu kamu simpan saja sampai kamu sembuh. Soalnya aku yakin kamu akan butuh coklat,” sahut Faya enteng tapi seolah dia benar-benar ingin memberikannya. Sayangnya Alan memang terlalu terpaku pada malaikatnya.
”Oke, terima kasih.”
Selanjutnya kunjungan Malaikat Faya semakin membuat Alan terkagum-kagum terhadap Faya yang malah membuatnya nyaman. Lupa dia seharusnya tak mudah percaya pada orang lain setelah kejadian itu. Begitu polos tingkahnya yang lebih banyak mencomot kastangel daripada Alan. Meski sampai di akhir kunjungan Alan masih gerogi.
Malam itu Alan memimpikan Faya membawanya terbang, bersama burung, di atas langit. Begitu bahagia dia. Dapat menyentuh tangan halus Faya, menggenggamnya erat. Namun tiba-tiba Faya melepas genggamannya. Menjatuhkan Alan ke Bumi dengan rasa sakit tiada terkira.
”Apa aku bersayap?” begitu tanya Faya ketika dengan lugas Alan menceritakan mimpinya.
Alan menggeleng, heran melihat antusias Faya yang pudar, mendengar jawaban Alan. Benar juga, malaikat kan seharusnya punya sayap, gumamnya dalam hati.
Dengan senang hati Faya menerima permintaan tolong Alan untuk membawanya jalan-jalan menghirup udara segar di taman. Pohon jambu air tumbuh mengelilingi satu sisi di mana di baliknya terdapat kolam kecil. Cahaya matahari menembus celah-celah di antara rindang pohon.
Mereka melirik sisi yang lain. Penuh dengan bunga dan tanaman-tanaman hias. Pagar tanaman tumbuh rapi membentuk seperti labirin rendah. Bunga aster tumbuh bersama bunga liar, menikmati cahaya penuh vitamin di pagi hari.
Alan sadar betul Faya berbeda hari ini. Begiu antonim; pendiam, tak akan bicara jika Alan tidak memulainya. Matanya tetap tajam meski dia merasa ada unsur sendu di sana. Dan senyumnya, kali ini lebih memesona! Melebihi senyum misterius Monalisa!
Jika saja dia mampu berjalan, dia pasti akan mengambil setangkai mawar untuk Faya.
“Kamu tahu kenapa aku bisa di sini?” Alan memulai.
”Tahu. Kecelakaan?” sahutnya begitu saja.
Alan tertawa mendengarnya. ”Maksud aku kronologisnya,” Alan begitu sabar dengan kepolosan malaikatnya.
”Saat itu aku sedang naik mobil, tiba-tiba di depan ada seorang gadis menyeberang jalan aku menghindar tapi aku malah jatuh ke jurang. Untung jurangnya enggak dalam.”
”Kamu masih ingat seperti apa gadis itu?” tanya Faya, menyimak dengan serius.
”Enggak. Yang aku ingat dia pake gaun hitam dan kaca mata. Tapi, kalo diingat-ingat perawakannya mirip kamu. Sayang aku enggak lihat wajahnya,” Alan menerawang masa lalu.
”Dia pernah menjenguk kamu? Keluarganya mungkin?” tanya Faya lagi, tampak serius.
Alan menggeleng lagi. ”Enggak ada yang menjenguk aku selain kamu selama aku di sini,” jawabnya nampak murung mengingat masalahnya sendiri.
Faya membelai pundak Alan.
”Gadis itu memang bodoh! Menyebarang jalan sembarangan!” Faya berusaha mengalihkan perhatian.
Menggeleng keras, Alan. ”Enggak. Sebenarnya itu salahku. Saat itu aku sedang emosi. Sebelum itu aku sedang di kafe’ tempat biasa aku nongkrong, marah pada orang tuaku yang tidak juga pulang dari Tokyo. Sampai aku mengumpat semoga mereka bangkrut! Pacarku datang dan dia hanya mendengar separuh kalimatku.
”Kelihatan shock dia. Jadi ingin mengerjainya sekalian. Tapi dia malah mencampakan aku saat itu. Dia juga ngaku, di depan teman-temanku yang juga baru datang, kalau dia udah punya penggantiku! Dia salah satu dari teman-temanku itu.
”Mereka tahu keburukan pacarku! Tapi sayangnya meraka juga penghianat...! Hanya dengan satu kebohongan dan kedok mereka langsung terbongkar! Mereka semua penghianat! Orang tuaku egois! Sempurna sudah!”
Faya menyimak dalam diam.
”Aku pergi. Ngebut. Tapi sedang emosi. Enggak konsen.’
Angin dingin yang datang mendirikan rambut di kulit Alan.
“Tapi aku yakin mereka pasti masih peduli padamu. Dan orang tuamu mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” Faya berusaha memberi harapan.
Alan menggeleng sambil masih terus menunduk memandang lututnya.
”Sebenarnya pihak rumah sakit sudah berusaha menelpon orang tuaku. Tapi mereka terlalu sibuk bekerja. Dan saat aku sadar aku minta mereka untuk tidak memberitahu siapapun. Biar mereka yang mencariku. Biar aku tahu siapa yang benar-benar peduli padaku. Matanya berkilat membara.
Faya menggenggam lembut tangan Alan. Dia yang tak melihat wajah Faya yang penuh penyesalan. Matanya makin sendu.
Malam ini Alan tidur tak lelap. Kali ini Malaikat Faya terbang sendirian, menjauhinya. Alan memanggil-manggil namun Faya tak menoleh. Terus terbang. Air mata jatuh ke kepalanya.
Seketika Alan benar-benar bangun, melihat sosok di depannya. Punggungnya tertutup gaun hitam sutera. Namun sepasang kerangka sayap emas mencuat dari punggungnya. Rambutnya ikal hitam berkilau.
Faya?” refleks dia memanggil.
Gadis itu berbalik. Dan benar saja! Dia Faya! Dengan sayap yang belum sempurna. Matanya begitu sendu.
”Inilah aku yang sesungguhnya,” rutuknya.
”Kamu punya cerita, dan aku juga punya cerita. Akulah gadis itu, Alan. Setelah kamu menghindar untuk menabrakku, sebuah bis di belakang tak bisa me-rem dan akhirnya menabrakku. Hal yang begitu dekat dengan yang aku inginkan. Mati.
”Akulah Adinda Faya, Alan.”
Alan menolngo tak percaya. Ada gelisah tak enak pada dirinya. Dia pasti sedang mimpi.
”Tapi...tapi kau... sehat!”
Faya menggeleng. ”Aku sudah mati, alan. Tapi aku tidak bisa pergi dengan tenang, aku tak bisa terbang dengan sayapku yang belum sempurna.”
”Apa maksudmu?” Alan gelisah.
”Kau sakit karena aku. Dan aku merasa sangat bersalah,” jawabnya, ”tapi sekarang aku sudah siap pergi. Maafkan aku, Alan. Dan biarkan aku pergi dengan tenang. Jangan bebani aku dengan perasaanmu,” Faya menangis...
Alan tertegun mendengarnya. Terguncang. Dan merasa dihianati, lagi. Tapi ada rasa yang indah dan menyakitkan bersemayam di hatinya, sementara makin lama Faya makin menjauh ke langit. Menggenggam erat coklatnya supaya tak ikut terbang. Untuk penawar perihnya.
Kamar Mawar 13 hari itu memang penuh, dengan isak tangis saat Faya meninggal. Sementara itu entah bagaimana paginya, orang tua Alan bisa menemukan Alan di sana. Bercerita bahwa ibunya mimpi buruk tentang Alan.

~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.