Manekin
14 Februari 2013, ditulis oleh De' Ela
Untuk kesekian kalinya kau berdiri di situ untuk menatapku lama. Aku tahu, aku pasti sangat cantik. Gaun-gaun yang kukenakan selalu yang paling terbaru dan mahal. Untuk sesaat kulihat kau memang mengamati gaun yang kukenakan. Tapi kau lebih lama memandang ke arahku. Bukan tatapan iri, ataupun rintihan ingin memiliki gaun yang kukenakan. Tatapanmu, kurasakan mengamati setiap detil wajahku, leherku, telingaku, rambutku, jemari dan tangan, sampai bentuk kaki.
Aku sendiri tak akan pernah bisa mengamati tubuhku. Aku
tidak tahu apakah aku punya kaki jenjang mempesona atau tidak. Yang aku tahu
keinginanmu terhadapku jauh lebih besar daripada keinginanmu terhadap gaun-gaun
indah yang kukenakan. Keinginanmu untuk jadi sepertiku, secantik aku.
Padahal menurutku kau sudah sangat cantik. Rambut abu-abu lembutmu terurai sampai paha, lurus dan tebal. Mengenakan gaun di atas mata
kaki yang tersembunyi di balik mantel perjalanan lusuhmu.
Aku terkejut bukan kepalang mengetahui kau –akhirnya–
memasuki butikku. Ingin sekali aku menoleh mencari tahu apa yang kau bicarakan
dengan manajerku. Aku hanya bisa menangkap beberapa kata: ...manekin...mahal...pembuat...AH!!
Toko ini teralu berisik oleh pengunjung!
Kau keluar dan melihatku kembali untuk sesaat sebelum kau
pergi meneruskan perjalananmu. Sementara aku kembali semaksimal mungkin
memancarkan auraku, membuat semua orang yang melihat berhenti dan masuk ke butikku.
Mungkin bisa mendapatkan gaun yang kukenakan jika punya cukup uang, atau
membeli gaun lain yang tidak kalah bagusnya tapi lebih murah.
Menyenangkan sekali jadi aku. Seumur hidupku aku selalu
memakai baju yang bisa membuat semua gadis iri. Aku selalu dielu-elukan karena
kecantikanku, kecantikan gaun yang kukenakan. Selalu, aku, menjadi model untuk
setiap gaun terbaru dan terbaik.
Aku, manekin yang beruntung.
***
Udara di luar kelihatannya sangat dingin. Orang-orang
berjalan cepat sambil memeluk diri mereka sendiri. Segerombol orang berjubah
lewat dengan api melayang beberapa senti dari tangan mereka; para penyihir baru
pulang dari sekolah mereka. Sayangnya aku tersembunyi dalam gelap, butik sudah
tutup. Mungkin jika mereka melihatku mereka akan terpesona, dan menjadikanku
manusia. Mungkin akan sangat membahagiakan bisa berjalan-jalan di taman bunga, jatuh
cinta, dan menikah. Manusia.
Aku tidak tahu ini jam berapa. Tapi jalan sudah sepi dari
manusia. Anjing dan kucing sudah menemukan tempat hangat untuk mereka tidur. Keheningan
ini membuat suara kunci pintu yang dibuka paksa terdengar mengerikan. Ada orang
mengendap-endap di belakangku. Aku yakin ini belum pagi. Tapi siapa yang masuk butik?
Secara paksa?!
Jika aku bisa menjerit aku akan menjerit. Tapi
membelalakkan mata saja aku tak mampu. Hei! Pergi dari sini atau kau akan
kena sial dasar pencuri!!!
Seseorang mencoba mengangkat tubuhku yang ringan. Tangan
perempuan! Dia mengambil manekin lain untuk menggantikan posisiku di etalase,
kemudian memakaikan bajuku padanya. Sementara aku dikenakan gaun usang. Aku
tahu itu, aku bisa merasakannya kasar di kulitku.
Besok pagi pemilik toko pasti akan menyadari yang di
etalase bukan aku. Kemudian akan mencariku. Dan kau..., kau... akan.... tamat!!
***
Kau!?!
Kau gadis yang sering mendatangiku. Sudah kuduga kau
memang menginginkanku, tapi kenapa? Untuk apa??
Kau memandangiku lagi lewat wajah yang kelelahan.
Mendekat dan memutar badanku menghadap cermin besar, dan aku terkesiap.
Benarkah sosok di cermin itu aku? Dan sosok di sebelahnya
adalah dirimu? Atau itu kau semua? Atau aku semua??
Kau sudah cukup meyakinkan dirimu bahwa wajahmu mirip wajahku,
bahwa kau pasti modelku.
Bayanganku yang dari sosokmu mengikutimu pergi
menuju sebuah kotak kayu di atas meja penuh bahan ramuan.
Kau penyihir.
Kau ambil sejumput dan segera meniupkannya ke arahku. “Manekin
di hadapanku. Bicaralah padaku. Tunjukkanlah padaku, kebenaran yang satu,”
katamu, kemudian menggerak-gerakkan tongkat menjadi suatu pola di udara. Pola
itu berpendar biru, seketika menyerangku, menciptrakan asap tebal yang
mengelilingiku.
Asap di sekelilingku memudar. Tak ada perubahan. Aku
tetap manekin, kau masih di hadapanku. Kita masih di ruang utamamu.
“Apa kau bisa bicara?” kau bertanya.
Pertanyaan macam apa itu? Aku memang bisa bicara sejak
dulu. kalian saja yang tidak bisa mendengarku.
“Aku bisa mendengarmu sekarang.”
Ya sudah kalau begitu.
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
Aku juga. Siapa kau? Kenapa kau mirip aku?
Kau mengerutkan dahi, tersinggung nampaknya.
“Kau yang menyerupai aku, bukan aku.
“Namaku Caroline, kau bisa memanggilku Colin.”
Aku Alicia. Kau bisa memanggilku Alice.
“Alice?” kau terdengar terkejut.
Ya. Kenapa? Namaku lebih bagus darimu.
Kau tampak kesal dengan tingkahku. Aku juga kesal!
Karena kau mirip aku!
“Aku bisa mendengar itu,” kau menghardikku.
Masa bodoh.
“Aku ingin tahu, siapa yang membuatmu?”
Dan apa untungnya bagiku jika aku menjawab dengan benar.
Tampaknya kau sudah tidak tahan untuk meledak.
“Dengar,” katamu tegas. Sesungguhnya aku sedikit lega kau
berusaha mengatur napas, menahan emosi, berusaha tidak memarahiku. “Alice
adalah adik kembarku. Dia memintaku mencari temannya yang tinggal di kota ini.
Dan mungkin orang itu adalah penciptamu. Jadi aku mohon kau mau membantuku,”
katamu. Ketabahanmu membuatku luluh. Aku tak tega membuatmu kesal lagi.
Penciptaku bernama Ferdinand Weird. Aku sudah tidak ingat
seperti apa dia. Aku hanya pernah melihatnya sebentar, sesaat setelah itu aku
tidak melihatnya lagi, yang kutemukan hanyalah manekin laki-laki di sebelahku.
“Manekin laki-laki?”
Ya. Aku ingat. Ferdinand menulis surat supaya aku dan
manekin laki-laki itu tetap bersama. Orang-orang kota menempatkan kami di toko
pakaian yang sama. Selalu sebagai dua top model yang dipajang di etalase. Tapi
toko itu memutuskan untuk fokus pada pakaian laki-laki. Jadi aku dijual. Dan
sampailah aku di Victoria Boutique.
“Di mana toko itu?”
Emmm.... aku tak ingat alamatnya. Itu sudah sangat lama,
Colin.
Kau tampak nyaris putus asa. Apakah jika aku putus asa
aku akan tetap cantik sepertimu? Indah sekali!
Aku tak ingat nama toko itu. Tapi aku ingat di depan toko
itu ada toko kue yang di depannya ada patung pria gendut pakai seragam koki.
“Patung pria koki?” gumammu seraya berpikir keras.
Kau bilang sihirmu padaku hanya bertahan sampai tiga
hari. Tapi apa gunanya jika aku tak bisa bergerak, jika aku tak menemui
siapapun yang bisa kuajak bicara. Kau pergi untuk menemukan manekin laki-laki
itu dan sampai sekarang belum juga kembali. Mungkin sekarang sudah siang hari.
Untuk pertama kalinya aku merasa bosan.
Pintu berderit membuka pelan. Kau masuk perlahan lewat
celah pintu dan menutupnya kembali.
Kenapa lama sekali sih? Apa susah sekali menemukan manekin
itu?
“Maafkan aku. Tak ada yang tahu banyak tentang kisahmu
dan manekin itu. Aku menemukannya di gudang mereka, dan aku tahu ia bukan manekin
biasa, sepertimu.”
Bukan manekin biasa? Apa maksudmu?
“Ketika aku menyentuhnya, dia hangat. Sementara kau,
tidak ada manekin yang bertahan tetap cantik selama bertahun-tahun sepertimu.
Kalian berdua pasti dibuat dengan sihir.”
Benarkah? Jadi di mana manekin itu? Aku jadi penasaran.
“Dia ada di luar. Dan aku meminta bantuanmu untuk tidak
bersuara apapun untuk beberapa menit. Bisa, kan?”
Kenapa?
Kau mengangkatku dan menyembunyikanku ke kamar mandi.
Oke. Aku mengerti.
Karena aku barang curian. Mungkin ada lima menit aku menunggu di kamar mandi ketika
akhirnya kau membawaku ke dalam ruang utama lagi.
Jika ada darah mengalir dalam tubuhku maka darah itu akan
berhenti. Jika ada jantung yang berdetak dalam dadaku maka jantung itu akan berhenti,
jika aku bisa menghembuskan napas maka napasku itu akan tertahan. Tercekat.
Manekin laki-laki yang kulihat sesungguhnya sangat parah
keadaannya. Senyum yang tersungging sangat mengerikan dikarenakan catnya telah
mengelupas di mana-mana. Rambut cokelat tebalnya mengusam, wajahnya kotor penuh
debu, dan warna matanya pudar dan suram.
Tapi itu adalah dia. Manekinku! Hanya dengan melihatya,
aku bisa mengingat semuanya. Semua yang telah kulupakan; tujuan aku ada di
dunia ini: untuk mencintainya.
Aku baru ingat bahwa perpisahanku dengannya dulu teramat
sangat menyakitkan. Kenapa manusia begitu kejam memisahkan kami berdua? Padahal
sudah tertulis jelas dalam suratnya bahwa kami harus terus bersama. Jika aku bisa
menangis air mata yang keluar pasti akan sangat banyak, menyesali tahun-tahun
tidak bergunaku di Victoria Boutique.
Semua gaun-gaun indah itu, pujian-pujian itu, dan tatapan
terpesona orang-orang, tak ada artinya. Hal terpenting di dunia adalah aku
ingin menggenggam tangannya, menemaninya dalam semua suka dan duka, mengangkat
sedih dari hatinya, menuai senyumnya.
Dia dan hanya dia, hal terpenting dalam hidupku.
Kau, Colin, mengangkatku ke sampingnya hingga kami berdiri sangat dekat. Jemari kami bersentuhan dan dapat kurasakan darah mengalir deras dalam nadinya, kulitnya hangat, membara, penuh semangat. Belum pernah dia sebahagia ini. Kemudian hatiku mencelos mengetahui ke mana matanya memandang. Kau.
Kau, Colin, mengangkatku ke sampingnya hingga kami berdiri sangat dekat. Jemari kami bersentuhan dan dapat kurasakan darah mengalir deras dalam nadinya, kulitnya hangat, membara, penuh semangat. Belum pernah dia sebahagia ini. Kemudian hatiku mencelos mengetahui ke mana matanya memandang. Kau.
Bel berbunyi dan kau segera membukakan pintu sedikit.
Mengintip.
“Joseph!” Kau memekik terkejut, ada nada bahagia. Kau terpaku
di depan pintu beberapa detik, kemudian menutup mulut ketika orang di hadapanmu
menunjukkanmu sesuatu. Kau mengambilnya dengan masih terpuka. Berjalan masuk.
“Ini... indah sekali, Joseph.”
Benar gaun itu memang teramat sangat indah. Terbuat dari
sutera putih tulang dengan bahu mekar dan lengan panjang, renda-renda menghiasi
gaun secara proposional. Bawahannya mekar seperti mawar.
Gaun pengantin...
“Aku ingin kau mencobanya dulu sebelum pernikahan kita.”
Pria bernama Joseph itu bicara.
Segera aku menoleh kepada Ferdinand ketika kurasakan
kulitnya jadi semakin panas.
Tidak!!!
“Ada apa?” kau segera mendekat ke arahku, Joseph juga.
“Hei, itu manekinmu, Colin?” Joseph bicara, tampak
terkejut dan terpukau.
Segera suhu panas Ferdinand agak menurun mendengar bukan
nama Alice yang Joseph sebut ketika bicara denganmu.
“Bukan, ini manekin Alice.”
“Alice saudara kembarmu?”
Kau mengangguk.
Tubuh Ferdinand membeku. Dia tak pernah tahu Alice punya
kembaran.
Aku tidak tahu di mana Alice, kataku pada Ferdinand.
Kau cukup pintar, Colin. Kau segera menyahut; “Alice, dia
sudah meninggal enam bulan lalu. Kanker darah.”
Sesaat hening. Lalu tawanya pecah tak kedengaran siapapun
kecuali aku. Tawa Ferdinand. Tawa yang teramat memilukan antara sedih dan menyesal.
Tidak! Jangan lakukan itu. Kau masih memiliki aku,
Alice-mu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu! Tolong jangan pergi, Ferdinand!!
“Ferdinand?”
Aku meronta tak bergerak. Miris mengamati tubuh Ferdinand
tidak melepuh lagi, alih-alih kering, kaku, beku. Terdengar suara retakan dan
tangan kirinya jatuh berdebam ke lantai.
Hentikan, Ferdinand!! Aku
menangis sebisa aku merintih, tapi tak ada yang bisa melihat itu.
Kau bersama Joseph terpukau. Lalu kau berkata, “Aku ke
sini karena Alice memintaku untuk mencari seorang teman lama di Filledville. Alice
punya pesan untukmu, Ferdinand.
“Dia bilang...; meskipun dia juga mencintaimu, dia tak
harus terus bersamamu, dan dia harap kau juga berpendapat begitu.”
“Yang terpenting adalah bagaimana kau membuat cinta itu menjadi
energi positif untuk hidup. Seperti dia berjuang menahan sakitnya selama
bertahun-tahun, dan tak ada yang tahu dia sakit.
“Akan ada saatnya di mana takdir memutuskan kalian untuk
bersama, Ferdinand.”
Kau menggenggam tangannya dengan lembut. Ada sesuau dalam
dadaku yang terbakar. Tapi kuabaikan. Ferdinand bahagia adalah hal terpenting
untukku.
Terdengar suara patahan dan kepala Ferdinand jatuh
lunglai. Seandainya aku bisa berlutut aku sekarang sedang berlutut di hadapannya.
Menangis. Terisak. Memohon.
Kau jahat sekali, Ferdinand. Kenapa kau ciptakan aku
untuk mencintaimu, untuk terus bersamamu, tapi kau sendiri yang membuatku tak
berharga. Apa gunanya kau ciptakan aku sedemikian sempurna, tapi kau juga yang
membuatku tak punya tujuan. Tak berguna.
Kau, Colin, memelukku seolah itu bisa mengurangi sedihku, dan itu
memang sedikit berhasil. Jantungmu berdebar seperti musik. Dalam dan lembut.
Menenangkan.
Tolong bunuh aku, Colin. Tak ada gunanya aku ada di dunia
ini lagi.
"Aku adalah penyihir, Alice. Banyak hal bisa kulakukan
untukmu, saudaraku.”
~Selesai~
Alur dan plotnya asik oy
BalasHapus