Selasa, 20 Mei 2014

Ekspedisi Mercury: Bertemu Malaikat

Ekspedisi Mercury: Bertemu Malaikat
15 Agustus 2010, ditulis oleh De' Ela

Angin dingin mengerang masuk menubruki dinding gua. Tetes-tetes air dari stalaktit dingin menjatuhi Alea, membangunkanya. Api di sebelah sudah padam tinggal baranya yang menyala berisi kehidupan.
Terduduk dengan kantuk sudah lenyap, Alea menyapu pandang. Menemukan yang lain sudah bangun dan berbenah.
“Jam berapa sekarang?” itu kalimat pertama yang keluar dari bibir keringnya.
“Lima lebih lima. Lima menit lagi kita berangkat. Jadi segeralah.”


Kedelapan orang ini nampaknya sudah mulai tegang semakin dekat dengan tujuan mereka.
Sebuah ekspedisi yang sudah dua bulan ini mereka jalani. Membawa mereka harus berkeliling dari satu pulau ke pulau lainnya. Lalu membawa mereka ke sebuah tambang emas berusia ratusan tahun. Terus masuk dan lebih dalam lagi masuk. Hingga mereka meninggalkan lorong tambang emas dan tiba di gua tersembunyi di dalamnya.
Keadaan semakin becek dan lembab.  Bebatuan di atas tanah semakin tak beraturan dan besar-besar. Theo sang pemimpin ekspedisi mengamati salah satu batu yang bentuk atasnya datar.
“Kita sudah sampai di tempat orang tua itu,” katanya pelan.
“Sang Penjaga!” ralat Kira tak terima.
“Terserahlah. Sekarang dimana dia,” sahutnya tak acuh dan tetap dingin.
Alea mengedarkan cahaya senter. Terusik untuk menengadah ke atas dan heran ketika tak mendapati kelelawar vampir satu pun bergelantungan di sana. Lalu berpaling menerangi sisi dinding gua yang agak menjorok ke dalam dan terlindung bayangan.
“Itukah?” bisiknya. Semua mata mengikuti arah senter Alea. Theo berjalan lebih dulu ke arah sosok manusia, atau makhluk berperawakan kurus itu. Duduk bersila di atas sebongkah batu besar.
“Permisi,” Theo mulai bicara.
“Aku tahu apa yang kalian inginkan,” sela Sang Penjaga.
“Bagus, kalau begitu kami tidak perlu basa-basi lagi.”
“Theo! Jaga bicaramu!” hardik Kira lagi.
“Kalian semua duduklah,” Sang Penjaga membuka mata. Turun dari batu. Mengambil sesuatu dari balik batu, sebuah lentera usang.
“Kalian pasti tahu apa yang harus kalian lakukan,” Sang Penjaga bicara lagi setelah menyalakan lentera di tengah-tengah mereka.
Theo mengangguk pasti. Alea celingukan melihat teman-temannya, tampaknya mereka mengerti. Tapi dirinya tidak!
Sang Penjaga menyunggingkan senyum. “Hanya tiga orang yang boleh ke sana. Sisanya tinggal di sini.”
“Kalau begitu biar aku, Rama, dan Alea saja yang ke sana,” Theo bersuara.
Alea sendiri terkejut dan jadi gugup. Baru dia ingin mengajukan keberatannya, Theo sudah menatapnya tajam. Buat di urung dan bungkam.
“Ingat. Setelah kalian sampai di sana, ucapkan apa yang tertulis di perkamen ini. Baru kalian masuk, jangan berisik. Biarkan mereka melakukan tugasnya. Setelah makhluk itu muncul, ucapkan keinginanmu.”
“Kami mengerti.”
Sementara Theo membungkuk di hadapannya, dia, Sang Penjaga, meletakkan tangannya di atas kepala Theo sambil menggumamkan sesuatu. Begitu selanjutnya pada Rama dan Alea.
Mereka bertiga memasuki gua lebih jauh lagi. Gua di sana lebih sempit. Alea mengalami kesusahan untuk bernapas di sana. Namun setelah cukup jauh mereka berjalan tekanan udara semakin meningkat.
“Sebentar lagi kita sampai,” Alea memberitahu. Pikirnya setidaknya dia masih berguna di sana.
Memang benar gua berujung dan mereka tiba di kegelapan yang lengang. Ada sesuatu yang bergerak sangat perlahan di depan sana, berkilauan medianya. Mereka maju mendekat dan mendapati bahwa itu adalah kolam renang besar dengan kain-kain putih tenggelam, melayang, dan terapung. Dan lebih jauh lagi, di depan sana, ada sebuah bangunan besar dengan dua pilar besar berwarna kuning keemasan, bersinar. Sementara dindingnya bercat putih, juga berpendar.
Alea sedang memandangi air kolam ketika menyadari kain-kain putih yang bertebaran di sana bukan sekedar kain. Tapi kain putih yang menyelimuti tubuh-tubuh dan wajah-wajah pucat di sana. Alea semakin gemetar ketika hantu yang rambut panjangnya tersangkut pada perahu tiba-tiba membuka matanya yang putih susu. Bersitatap dengan Alea. Lalu dia mulai memanjat. Namun si hantu berhenti memanjat dan kembali menatap Alea yang dadanya naik turun, jantungnya berdebar keras, bahunya naik turun, dan tenggorokannya terasa tersumbat tak bisa keluarkan kata-kata.
Kepala hantu itu masih di bawah, tapi tangannya sudah memegang pinggiran perahu. Alea tetap tak berani memukul tangan itu supaya lepas. Sementara itu Theo dan Rama tampaknya tak begitu mempermasalahkan sekitarnya.
Makin banyak saja hantu yang mengekor perahu mereka baik dari segala penjuru.
Tiba di tepian Alea langsung melompat ke daratan. Sementara para hantu perlahan masuk kembali ke dalam air. Dan ketika dia berpaling lega, dia mendapati rumah itu tak seindah ketika dilihat dari jauh. Ada beberapa bagian yang telah runtuh. Menimbulkan kesan terbengkalai.
Di ruang tengah mereka mendapati samar-samar delapan orang tengah duduk melingkar di sana. Mereka tampak khusyuk sambil berpegangan tangan. Makin lama bayangan transparan itu makin jelas terlihat seolah baru melakukan teleportasi.
Mereka tidak seperti orang-orang pemuja mistik. Seragam mereka berwarna oranye terang. Mengenakan tas punggung hitam yang cukup besar dan tampaknya cukup berat. Mengingatkan Alea pada kelompok pemburu hantu bernama Ghostbuster.
“Langsung naik ke atas!” desak Theo lalu menunjuk ke arah tangga vertikal menuju lantai dua.
Lantai dua itu memiliki lubang besar di tengah yang dibatasi dengan pagar-pagar besi. Jadi mereka bisa mengamati para pemburu hantu itu dari sana.
“Tiarap!”
Mereka terus mengawasi para pemburu hantu yang sedang merapal mantera atau doa? Entah. Lampu di atas berpendar begitu terang dan mulai bergoyang gelisah. Lalu sesuatu bergerak dari dalam celah dinding besar di dinding yang membagi rumah jadi dua.
Sesuatu itu terus bergerak-gerak. Lalu muncul ekor panjang disusul sebuah kepala dengan gigi-giginya yang besar dan runcing semua. Makhluk itu pendek namun panjang dengan kulit hitam tebal dan kasar. Menempel di dinding bagai tokek dengan moncongnya mengarah ke para pemburu hantu.
Suasana mulai makin menakutkan ketika lampu bergoyang lebih keras diikuti jatuhnya reruntuhan lain dari atap dan nyaris mengenai para pemburu hantu yang tetap khusyuk merapal sambil terus menutup mata.
Makhluk itu panjangnya sampai tiga meter dengan lidah yang juga panjang. Beberapa kali menjulur keluar seolah siap meraih si pemburu hantu dan menelannya dengan mulut panjangnya. Alea gemetar melihat suasana mengerikan ini. Prihatin melihat para pemburu hantu bisa mati oleh gempa yang tiba-tiba terasa makin kencang, atau oleh makhluk iblis itu.
“Kita harus menolong mereka,” desah Alea.
Namun Theo berkehendak lain. “Ucapkan keinginanmu!” bentaknya. Sementara itu Rama sudah memejamkan mata dan mengucapkan keinginannya. Diikuti oleh Theo. Alea berusaha berkonsentrasi tapi tak bisa mempertahankannya lebih lama lagi. Keinginan yang mereka ucapkan adalah sama; ingin bertemu dengan malaikat!
“Cepat pergi dari sini!” perintahnya lagi sambil mengendap turun ke bawah. Rama dan Alea menurut. Dia menoleh lagi ketika sampai di ambang pintu, dan yang dia lihat hanyalah bayangan samar mereka yang mulai transparan.
Ternyata bukan hanya rumah yang bergetar. Tapi juga gua itu sendiri. Menjatuhi mereka bebatuan kecil. Maka segera saja mereka bertiga menaiki perahu dan dengan cepat pula mengayuh ke seberang. Alea dapat melihat hantu dalam kolam menatapnya dingin.
Sesampainya di seberang Theo menyuruh mereka untuk berlari memasuki gua kecil menuju kawan-kawan mereka. Tapi entah bagaimana gua itu selain banyak reruntuhan jatuh yang ada juga hawa panas bagai ada larva di sana.
Alea, Rama, dan Theo terengah sesampainya di gua yang lebih besar. Di sana mereka menemukan kawan-kawan mereka bersama Sang Penjaga. Beranjak berdiri ketika melihat mereka bertiga. “Bagaimana?”  sambar Kira.
Theo hanya menggeleng.
Dilihatnya raut muka teman-teman satu timnya berubah murung dan kecewa.
“Kalian ingin kembali sekarang atau tetap menunggu?” Sang Penjaga memecah keheningan. Dari satu kalimatnya itu nampaknya ada harapan sehingga membuat ketujuh kawan Alea mengangkat muka yang mulai cerah. Saling pandang anggota lainnya.
Alea memahami situasi ini. Sesungguhnya dia ingin segera pergi dari sini. Namun tak dengan kawan-kawannya. Sayangnya hatinya makin gelisah seiring mereka menunggu terus di sana. Yang dia takutkan para hantu akan keluar dari kolam dan menghampiri mereka. Atau malah makhluk iblis itu yang mengejar!
Alea memandang ujung gua yang mengarah ke tambang. Keringat dingin makin deras mengucur. Ingin sekali dia pergi.
“Bukankah lebih baik kita menyerah saja?” rintihnya pelan pada kawan-kawannya. Namun dia hanya mendapat tatapan tajam dari mereka. Tetap diam menunggu sesuatu entah di mana malaikat akan muncul.
“Bukankah ini termasuk syirik?”
Seolah paham dengan gelagat Alea. Kira segera menggenggam pergelangan tangannya supaya tidak lari. “Kita tidak boleh bersikap syirik! Itu melanggar agama!” Alea mencoba lagi namun sia-sia. Mereka tetap diam menunggu.
Hingga ketika Alea sudah sangat putus asa. Lentera milik Penjaga tiba-tiba mati. Digantikan sebuah bayangan besar memenuhi dinding gua. Sayapnya ada di kanan kiri mereka seolah siap menerkam.
Alea tertegun di tempatnya begitu pula yang lainnya. Ini adalah tujuan utama mereka. Ini kenginan terbesar mereka. Bertemu malaikat. Perasaan Alea sedikit berubah tenang dan senang meski agak ketakutan. Syirik kah ini? gumamnya gundah. Sementara kawan-kawannya tampak sumringah.
“Kalian janganlah melakukan hal yang tidak jelas seperti ini. Kalian janganlah memerdulikan hal-hal seperti aku. Lakukanlah sebagaimana orang-orang lakukan terhadap hidup mereka, melakukan yang terbaik. Bukan melakukan hal yang tak ada gunanya. Kalian mengerti?” suara itu menggelegar dari mulut gelap sosok malaikat yang entah kenapa hanyalah berupa bayangan besar dengan dua mata sipit. Sosok bayangan seperti burung hantu.
Kata-kata itu membuat tim ekspedisi kecewa namun mengiyakan.
“Sekarang kalian kembalilah,” dan sosok itu lenyap digantikan lentera Sang Penjaga mulai menyala kembali.
Hening menyelubungi. Beginikah? Hanya beginikah? Sesuatu yang mereka kejar selama dua bulan. Pertaruhkan nyawa dan banyak hal lainnya hanya untuk satu menit bertemu malaikat yang bahkan tak ingin ditemui! Alih-alih menyuruh mereka untuk pergi. Kekecewaan terbaca dari keheningan mereka.
Kedelapan ekspeditor saling pandang penuh arti. Saling mengangguk mengakhiri diskusi isyarat. Maka Theo sang pemimpin yang berucap, “Sepertinya ekspedisi kami sudah berakhir, dan kami akan pergi.”
Sang Penjaga mengangguk.
“Terima kasih banyak atas bantuannya,” Kira menambahkan.
“Semoga ini bisa memberi pelajaran berharga untuk kalian. Aku tahu ini akan terjadi. Bukah hanya kalian yang pernah kemari untuk bertemu malaikat,” ujarnya tenang.
“Anda tidak ikut keluar?” Alea menambahkan, ketika mereka sudah mulai berjalan.
Dia menggeleng sambil terus mengulum senyum. “Aku tetap di sini. Untuk menuntun orang-orang yang tersesat supaya mereka tidak tersesat terlalu jauh,” ujarnya. Alea mengangguk paham diikuti Kira. Maka mereka kembali berjalan.
Hal yanng aneh terjadi juga pada gua sebelah sana. Ribuan panah menancap di dinding sampai atap dan dasar gua. Buat mereka agak kesusahan melangkah. Kira mengaduh ketika terantuk batang panah. Buat kelelawar vampir di atas terbangun dan membuat mereka harus berlari.
Mereka berhasil keluar dari gua dan melewati jalur tambang lagi.
Terkejut ketika mendapati keadaan di luar gua. Sebuah pasar kecil yang cukup ramai. “Kalian selamat? Saya pikir kalian sudah meninggal terkurung dalam tambang,” kata salah seorang pedagang yang nampaknya benar-benar terkejut melihat mereka kedelapan.
Kedelapan anggota ekspidisi memandangnya lekat-lekat. Sama sekali tak mengerti dengan ucapannya. Si pedagang balik menatap dengan seksama. “Oh, maaf. Aku pikir kalian orang-orang yang dulu pernah masuk ke dalam tambang dan tak pernah kembali. Itu sekitar delapan hari yang lalu,” katanya lagi.
“Bagaimana kalian bisa keluar dari sana?” tambahnya ketika menyadari ada keanehan yang terjadi pada kedelapan orang itu. Dia tak melihat Alea dan kawan-kawan masuk ke sana sebelumnya!
“Tahun berapa sekarang?” entah kenapa Alea mengucapkan itu, setelah mengamati keadaan yang tampak sangatlah asing dan berbeda dari saat sebelum mereka memasuki gua, suasana saat itu adalah sepi tanpa adanya pasar itu.
“Tahun 93.”
Kedelapan orang itu sangatlah terkejut. Mereka ingat betul tahun mereka mulai ekspedisi adalah tahun 2010, bukan 1993! Situasi tak wajar ini menggenjot otak Alea terlalu keras sampai dirinya pening. Sangat bingung untuk mencerna yang terjadi. Dilihatnya toko di depannya adalah pandai besi. Lalu tiba-tiba sebuah sepeda motor lewat dengan kencang hampir menabraknya, jika dia tidak menyingkir. Sialnya dia juga hampir jatuh menimpa pisau-pisau yang baru saja ditempa, jika dia kehilangan kesimbangan.
Insting Alea bekerja dan ini tak kan berakhir sampai di sini saja.

(Dari Mimpi)
~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.