Ekspedisi Mercury: Bertemu Malaikat
15 Agustus 2010, ditulis oleh De' Ela
Angin dingin mengerang masuk menubruki dinding gua. Tetes-tetes air dari stalaktit dingin menjatuhi Alea, membangunkanya. Api di sebelah sudah padam tinggal baranya yang menyala berisi kehidupan.
Terduduk dengan kantuk sudah lenyap,
Alea menyapu pandang. Menemukan yang lain sudah bangun dan berbenah.
“Jam berapa sekarang?” itu kalimat
pertama yang keluar dari bibir keringnya.
Kedelapan
orang ini nampaknya sudah mulai tegang semakin dekat dengan tujuan mereka.
Sebuah ekspedisi yang sudah dua
bulan ini mereka jalani. Membawa mereka harus berkeliling dari satu pulau ke
pulau lainnya. Lalu membawa mereka ke sebuah tambang emas berusia ratusan
tahun. Terus masuk dan lebih dalam lagi masuk. Hingga mereka meninggalkan
lorong tambang emas dan tiba di gua tersembunyi di dalamnya.
Keadaan
semakin becek dan lembab. Bebatuan di
atas tanah semakin tak beraturan dan besar-besar. Theo sang pemimpin ekspedisi
mengamati salah satu batu yang bentuk atasnya datar.
“Kita
sudah sampai di tempat orang tua itu,” katanya pelan.
“Sang
Penjaga!” ralat Kira tak terima.
“Terserahlah.
Sekarang dimana dia,” sahutnya tak acuh dan tetap dingin.
Alea
mengedarkan cahaya senter. Terusik untuk menengadah ke atas dan heran ketika
tak mendapati kelelawar vampir satu pun bergelantungan di sana. Lalu berpaling menerangi
sisi dinding gua yang agak menjorok ke dalam dan terlindung bayangan.
“Itukah?”
bisiknya. Semua mata mengikuti arah senter Alea. Theo berjalan lebih dulu ke
arah sosok manusia, atau makhluk berperawakan kurus itu. Duduk bersila di atas
sebongkah batu besar.
“Permisi,”
Theo mulai bicara.
“Aku
tahu apa yang kalian inginkan,” sela Sang Penjaga.
“Bagus,
kalau begitu kami tidak perlu basa-basi lagi.”
“Theo!
Jaga bicaramu!” hardik Kira lagi.
“Kalian
semua duduklah,” Sang Penjaga membuka mata. Turun dari batu. Mengambil sesuatu
dari balik batu, sebuah lentera usang.
“Kalian
pasti tahu apa yang harus kalian lakukan,” Sang Penjaga bicara lagi setelah
menyalakan lentera di tengah-tengah mereka.
Theo
mengangguk pasti. Alea celingukan melihat teman-temannya, tampaknya mereka
mengerti. Tapi dirinya tidak!
Sang
Penjaga menyunggingkan senyum. “Hanya tiga orang yang boleh ke sana. Sisanya
tinggal di sini.”
“Kalau
begitu biar aku, Rama, dan Alea saja yang ke sana,” Theo bersuara.
Alea
sendiri terkejut dan jadi gugup. Baru dia ingin mengajukan keberatannya, Theo
sudah menatapnya tajam. Buat di urung dan bungkam.
“Ingat.
Setelah kalian sampai di sana, ucapkan apa yang tertulis di perkamen ini. Baru
kalian masuk, jangan berisik. Biarkan mereka melakukan tugasnya. Setelah
makhluk itu muncul, ucapkan keinginanmu.”
“Kami
mengerti.”
Sementara
Theo membungkuk di hadapannya, dia, Sang Penjaga, meletakkan tangannya di atas
kepala Theo sambil menggumamkan sesuatu. Begitu selanjutnya pada Rama dan Alea.
Mereka
bertiga memasuki gua lebih jauh lagi. Gua di sana lebih sempit. Alea mengalami
kesusahan untuk bernapas di sana. Namun setelah cukup jauh mereka berjalan tekanan
udara semakin meningkat.
“Sebentar
lagi kita sampai,” Alea memberitahu. Pikirnya setidaknya dia masih berguna di
sana.
Memang
benar gua berujung dan mereka tiba di kegelapan yang lengang. Ada sesuatu yang
bergerak sangat perlahan di depan sana, berkilauan medianya. Mereka maju
mendekat dan mendapati bahwa itu adalah kolam renang besar dengan kain-kain
putih tenggelam, melayang, dan terapung. Dan lebih jauh lagi, di depan sana,
ada sebuah bangunan besar dengan dua pilar besar berwarna kuning keemasan,
bersinar. Sementara dindingnya bercat putih, juga berpendar.
Alea
sedang memandangi air kolam ketika menyadari kain-kain putih yang bertebaran di
sana bukan sekedar kain. Tapi kain putih yang menyelimuti tubuh-tubuh dan wajah-wajah
pucat di sana. Alea semakin gemetar ketika hantu yang rambut panjangnya tersangkut
pada perahu tiba-tiba membuka matanya yang putih susu. Bersitatap dengan Alea.
Lalu dia mulai memanjat. Namun si hantu berhenti memanjat dan kembali menatap
Alea yang dadanya naik turun, jantungnya berdebar keras, bahunya naik turun,
dan tenggorokannya terasa tersumbat tak bisa keluarkan kata-kata.
Kepala
hantu itu masih di bawah, tapi tangannya sudah memegang pinggiran perahu. Alea
tetap tak berani memukul tangan itu supaya lepas. Sementara itu Theo dan Rama
tampaknya tak begitu mempermasalahkan sekitarnya.
Makin
banyak saja hantu yang mengekor perahu mereka baik dari segala penjuru.
Tiba
di tepian Alea langsung melompat ke daratan. Sementara para hantu perlahan masuk
kembali ke dalam air. Dan ketika dia berpaling lega, dia mendapati rumah itu
tak seindah ketika dilihat dari jauh. Ada beberapa bagian yang telah runtuh.
Menimbulkan kesan terbengkalai.
Di
ruang tengah mereka mendapati samar-samar delapan orang tengah duduk melingkar
di sana. Mereka tampak khusyuk sambil berpegangan tangan. Makin lama bayangan
transparan itu makin jelas terlihat seolah baru melakukan teleportasi.
Mereka
tidak seperti orang-orang pemuja mistik. Seragam mereka berwarna oranye terang.
Mengenakan tas punggung hitam yang cukup besar dan tampaknya cukup berat.
Mengingatkan Alea pada kelompok pemburu hantu bernama Ghostbuster.
“Langsung
naik ke atas!” desak Theo lalu menunjuk ke arah tangga vertikal menuju lantai
dua.
Lantai
dua itu memiliki lubang besar di tengah yang dibatasi dengan pagar-pagar besi.
Jadi mereka bisa mengamati para pemburu hantu itu dari sana.
“Tiarap!”
Mereka
terus mengawasi para pemburu hantu yang sedang merapal mantera atau doa? Entah.
Lampu di atas berpendar begitu terang dan mulai bergoyang gelisah. Lalu sesuatu
bergerak dari dalam celah dinding besar di dinding yang membagi rumah jadi dua.
Sesuatu
itu terus bergerak-gerak. Lalu muncul ekor panjang disusul sebuah kepala dengan
gigi-giginya yang besar dan runcing semua. Makhluk itu pendek namun panjang
dengan kulit hitam tebal dan kasar. Menempel di dinding bagai tokek dengan
moncongnya mengarah ke para pemburu hantu.
Suasana
mulai makin menakutkan ketika lampu bergoyang lebih keras diikuti jatuhnya
reruntuhan lain dari atap dan nyaris mengenai para pemburu hantu yang tetap
khusyuk merapal sambil terus menutup mata.
Makhluk
itu panjangnya sampai tiga meter dengan lidah yang juga panjang. Beberapa kali
menjulur keluar seolah siap meraih si pemburu hantu dan menelannya dengan mulut
panjangnya. Alea gemetar melihat suasana mengerikan ini. Prihatin melihat para
pemburu hantu bisa mati oleh gempa yang tiba-tiba terasa makin kencang, atau
oleh makhluk iblis itu.
“Kita
harus menolong mereka,” desah Alea.
Namun
Theo berkehendak lain. “Ucapkan keinginanmu!” bentaknya. Sementara itu Rama sudah
memejamkan mata dan mengucapkan keinginannya. Diikuti oleh Theo. Alea berusaha
berkonsentrasi tapi tak bisa mempertahankannya lebih lama lagi. Keinginan yang
mereka ucapkan adalah sama; ingin bertemu dengan malaikat!
“Cepat
pergi dari sini!” perintahnya lagi sambil mengendap turun ke bawah. Rama dan
Alea menurut. Dia menoleh lagi ketika sampai di ambang pintu, dan yang dia
lihat hanyalah bayangan samar mereka yang mulai transparan.
Ternyata
bukan hanya rumah yang bergetar. Tapi juga gua itu sendiri. Menjatuhi mereka
bebatuan kecil. Maka segera saja mereka bertiga menaiki perahu dan dengan cepat
pula mengayuh ke seberang. Alea dapat melihat hantu dalam kolam menatapnya
dingin.
Sesampainya
di seberang Theo menyuruh mereka untuk berlari memasuki gua kecil menuju
kawan-kawan mereka. Tapi entah bagaimana gua itu selain banyak reruntuhan jatuh
yang ada juga hawa panas bagai ada larva di sana.
Alea,
Rama, dan Theo terengah sesampainya di gua yang lebih besar. Di sana mereka
menemukan kawan-kawan mereka bersama Sang Penjaga. Beranjak berdiri ketika
melihat mereka bertiga. “Bagaimana?”
sambar Kira.
Theo
hanya menggeleng.
Dilihatnya
raut muka teman-teman satu timnya berubah murung dan kecewa.
“Kalian
ingin kembali sekarang atau tetap menunggu?” Sang Penjaga memecah keheningan.
Dari satu kalimatnya itu nampaknya ada harapan sehingga membuat ketujuh kawan
Alea mengangkat muka yang mulai cerah. Saling pandang anggota lainnya.
Alea
memahami situasi ini. Sesungguhnya dia ingin segera pergi dari sini. Namun tak
dengan kawan-kawannya. Sayangnya hatinya makin gelisah seiring mereka menunggu
terus di sana. Yang dia takutkan para hantu akan keluar dari kolam dan
menghampiri mereka. Atau malah makhluk iblis itu yang mengejar!
Alea
memandang ujung gua yang mengarah ke tambang. Keringat dingin makin deras
mengucur. Ingin sekali dia pergi.
“Bukankah
lebih baik kita menyerah saja?” rintihnya pelan pada kawan-kawannya. Namun dia
hanya mendapat tatapan tajam dari mereka. Tetap diam menunggu sesuatu entah di
mana malaikat akan muncul.
“Bukankah
ini termasuk syirik?”
Seolah
paham dengan gelagat Alea. Kira segera menggenggam pergelangan tangannya supaya
tidak lari. “Kita tidak boleh bersikap syirik! Itu melanggar agama!” Alea
mencoba lagi namun sia-sia. Mereka tetap diam menunggu.
Hingga
ketika Alea sudah sangat putus asa. Lentera milik Penjaga tiba-tiba mati.
Digantikan sebuah bayangan besar memenuhi dinding gua. Sayapnya ada di kanan
kiri mereka seolah siap menerkam.
Alea
tertegun di tempatnya begitu pula yang lainnya. Ini adalah tujuan utama mereka.
Ini kenginan terbesar mereka. Bertemu malaikat. Perasaan Alea sedikit berubah
tenang dan senang meski agak ketakutan. Syirik kah ini? gumamnya gundah. Sementara
kawan-kawannya tampak sumringah.
“Kalian
janganlah melakukan hal yang tidak jelas seperti ini. Kalian janganlah memerdulikan
hal-hal seperti aku. Lakukanlah sebagaimana orang-orang lakukan terhadap hidup
mereka, melakukan yang terbaik. Bukan melakukan hal yang tak ada gunanya.
Kalian mengerti?” suara itu menggelegar dari mulut gelap sosok malaikat yang
entah kenapa hanyalah berupa bayangan besar dengan dua mata sipit. Sosok
bayangan seperti burung hantu.
Kata-kata
itu membuat tim ekspedisi kecewa namun mengiyakan.
“Sekarang
kalian kembalilah,” dan sosok itu lenyap digantikan lentera Sang Penjaga mulai
menyala kembali.
Hening
menyelubungi. Beginikah? Hanya beginikah? Sesuatu yang mereka kejar selama dua
bulan. Pertaruhkan nyawa dan banyak hal lainnya hanya untuk satu menit bertemu
malaikat yang bahkan tak ingin ditemui! Alih-alih menyuruh mereka untuk pergi.
Kekecewaan terbaca dari keheningan mereka.
Kedelapan
ekspeditor saling pandang penuh arti. Saling mengangguk mengakhiri diskusi
isyarat. Maka Theo sang pemimpin yang berucap, “Sepertinya ekspedisi kami sudah
berakhir, dan kami akan pergi.”
Sang
Penjaga mengangguk.
“Terima
kasih banyak atas bantuannya,” Kira menambahkan.
“Semoga
ini bisa memberi pelajaran berharga untuk kalian. Aku tahu ini akan terjadi.
Bukah hanya kalian yang pernah kemari untuk bertemu malaikat,” ujarnya tenang.
“Anda
tidak ikut keluar?” Alea menambahkan, ketika mereka sudah mulai berjalan.
Dia
menggeleng sambil terus mengulum senyum. “Aku tetap di sini. Untuk menuntun
orang-orang yang tersesat supaya mereka tidak tersesat terlalu jauh,” ujarnya.
Alea mengangguk paham diikuti Kira. Maka mereka kembali berjalan.
Hal
yanng aneh terjadi juga pada gua sebelah sana. Ribuan panah menancap di dinding
sampai atap dan dasar gua. Buat mereka agak kesusahan melangkah. Kira mengaduh
ketika terantuk batang panah. Buat kelelawar vampir di atas terbangun dan
membuat mereka harus berlari.
Mereka
berhasil keluar dari gua dan melewati jalur tambang lagi.
Terkejut
ketika mendapati keadaan di luar gua. Sebuah pasar kecil yang cukup ramai. “Kalian
selamat? Saya pikir kalian sudah meninggal terkurung dalam tambang,” kata salah
seorang pedagang yang nampaknya benar-benar terkejut melihat mereka kedelapan.
Kedelapan
anggota ekspidisi memandangnya lekat-lekat. Sama sekali tak mengerti dengan
ucapannya. Si pedagang balik menatap dengan seksama. “Oh, maaf. Aku pikir
kalian orang-orang yang dulu pernah masuk ke dalam tambang dan tak pernah
kembali. Itu sekitar delapan hari yang lalu,” katanya lagi.
“Bagaimana
kalian bisa keluar dari sana?” tambahnya ketika menyadari ada keanehan yang
terjadi pada kedelapan orang itu. Dia tak melihat Alea dan kawan-kawan masuk ke
sana sebelumnya!
“Tahun
berapa sekarang?” entah kenapa Alea mengucapkan itu, setelah mengamati keadaan
yang tampak sangatlah asing dan berbeda dari saat sebelum mereka memasuki gua,
suasana saat itu adalah sepi tanpa adanya pasar itu.
“Tahun
93.”
Kedelapan
orang itu sangatlah terkejut. Mereka ingat betul tahun mereka mulai ekspedisi
adalah tahun 2010, bukan 1993! Situasi tak wajar ini menggenjot otak Alea
terlalu keras sampai dirinya pening. Sangat bingung untuk mencerna yang
terjadi. Dilihatnya toko di depannya adalah pandai besi. Lalu tiba-tiba sebuah
sepeda motor lewat dengan kencang hampir menabraknya, jika dia tidak
menyingkir. Sialnya dia juga hampir jatuh menimpa pisau-pisau yang baru saja
ditempa, jika dia kehilangan kesimbangan.
Insting
Alea bekerja dan ini tak kan berakhir sampai di sini saja.
(Dari Mimpi)
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.