Selasa, 20 Mei 2014

Misi Persahabatan

Misi Persahabatan


13 Agustus 2011, ditulis oleh De' Ela


Sabrina Sylvester Sheira agak canggung berjalan di sepanjang jalan yang diapit oleh buku-buku yang dipajang. Berdebu dan bau, membuatnya agak pusing. Berbeda dengan sahabatnya Della Ginerva yang tampak begitu riang menelanjangi semua buku-buku bekas di kanan kirinya, sampai tak ada yang terlewatkan.
“Buku-buku di sini keren-keren lho, Na! Kamu enggak bakal bisa nemuinnya di toko buku gedhe!” ujar Della dengan sangat bersemangat. Menggenggam pergelangan tangan Sabrina supaya dia tidak tertinggal dengan langkah bersemangatnya.
“Ya iyalah, La,” dengus Sabrina kesal. Mana mungkin ada di toko buku besar, buku-buku jadul dengan bau yang memuakkan itu. Semuanya pastilah harum, wangi, dengan kertas putih bersih dan bagus-bagus.
Mereka berhenti di sebuah lapak buku bekas yang dipenuhi dengan buku-buku yang disusun tinggi sampai menyentuh langit-langit. Della segera saja mengamati dari sudut ke sudut. Sabrina jengah melihat-lihat malas.
“Coba kamu lihat-lihat dulu. Kali aja ada yang kamu suka.
“Cari buku apa, Cah ayu?” Seorang pria tua yang sedari tadi duduk tertidur di kursinya terbangun dan segera menanyai Della.
“Ehm… cari buku Nancy Drew, Pak. Wonten punapa mboten?” Ada atau tidak, tambah Della.

“Penulisnya Carolyn Knee.”
Segera saja pria itu mencari-cari di rak-rak tinggi di belakang, meneliti tumpukan buku yang menggunung. “Ora ana, Nok. Tidak ada, tidak ketemu. Adanya Hardy Boys,” dia menunjukkan setumpuk buku detektif dengan tokoh utama Hardy Boys.
Sekali lagi menggeleng lesu. Dia inginnya Nancy Drew. Matanya masih terus bergerak-gerak berharap dia melihatnya. Tapi yang ditemukannya setumpuk novel Goosebumps karya R. L. Stine, novel yang pernah dibacanya sewaktu SMP dan menjadi favoritnya juga. Maka matanya kembali berbinar.
“Astaga, Della. Kamu mau bikin perpustakaan?”
Della hanya nyengir.
“Kamu sendiri, udah nemu yang bagus?”
Sekali lagi Sabrina menyapu pandang, dan dia menemukan buku kusam dengan judulnya yang ditulis besar-besar: Sandhayakala Ning Majapahit, oleh Sanusi Pane. Majapahit, kerajaan besar favoritnya itu! Maka dipilihnya buku kusam itu.
Sebenarnya tidak begitu tertarik dengan buku itu. Dia hanya tertarik dengan Majapahit. Dan sesampainya dia di rumah dia menyesali kenapa harus membeli buku kumuh itu. Dia  bisa membeli di toko buku. Bukan hanya buku kumuh itu kan yang membicarakan tentang sejarah Majapahit dan masa kejayaannya bersama Patih Gajah Mada tercinta.
Sabrina menjepit buku itu dengan dua jari untuk disimpan dalam rak buku ketika tiba-tiba kedua jarinya itu kesetrum, sampai bukunya terjatuh, membuka pada halaman depan. Di sana Sabrina dapat melihat ada stempel kepemilikan yang tak bisa dibaca Sabrina. Tapi dia yakin itu nama sebuah perpustakaan. Ada nomor inventaris juga.
***
Sabrina duduk di kursi tinggi berkaki kurus. Menghadap sebuah meja panjang-tinggi. Suasana di sekitarnya gelap sehingga dia tak bisa melihat dinding ruangan yang menghitam bekas terbakar. Tapi dia dapat mencium bau kayu-kayu kering terbakar, bukan, lebih tepatnya buku. Sungguh memuakkan! Sabrina benci bau yang semacam itu. Dan sosok yang duduk di belakang meja panjang pun tak jauh lebih baik. Dia wanita tua dengan rambut digelung ketat, wajahnya meleleh seolah masih dalam proses pembakaran. Matanya hilang satu dengan darah terus mengucur dari rongganya. Bau busuk!
“Kau terlambat. Sangat terlambat, Nona! Kau harus membayar denda!!” saat itu juga ada puluhan buku jatuh dari tempat yang tinggi ke sekitarnya sehingga menimbulkan suara berdebam yang teramat keras, debu beterbangan. Sabrina mendongak ke atas dan nyaris mati ketakutan ketika ratusan buku besar-besar jatuh menimpanya. Memukuli kepalanya, menjatuhi seluruh tubuhnya sampai kursi yang didudukinya pun ikut hancur.
Sabrina terbangun di tempat tidurnya. Seluruh tubuhnya memar dan kepalanya berdenyut-denyut sakit sekali.
“Kamu habis jatuh dari ranjang?” tanya Della ketika melihat kondisi Sabrina yang begitu  buruk. Ketika itu Della sedang main ke rumah Sabrina seperti hari Minggu biasanya.
“Jangan ketawa,” keluh Sabrina sambil masih memegangi kepalanya yang tak berhenti berdenyut. Lalu terbata-bata dia menceritakan mimpinya yang terasa begitu nyata. Bahkan dia masih ingat jelas semuanya, termasuk bau-bau mengerikan itu.
“Kemarin kamu juga mimpi kamu ratu di Majapahit,” Della kembali mengekeh. Sabrina manyun. Tapi Sabrina tahu meskipun Della menanggapi itu lucu dan aneh, Della juga menganggap serius hal ini. Tertawa membuat persahabatan mereka tidak kaku, paling tidak tertawa mereka tahu situasi.
“Aku yakin ada hubungannya sama buku tua yang aku beli di Pasar Johar itu. Kemarin waktu aku menyentuhnya aku jadi kesetrum!”
“Itu sih biasa.”
Sabrina melongo. Kesetrum itu biasa?!
“Itu bisa terjadi karena perpindahan elektron dari buku itu ke kamu, atau mungkin sebaliknya. Di luar negeri itu juga sering terjadi. Kamu bahkan bisa nemuin orang yang membakar karpet hanya dengan berjalan di atasnya.”
“Masa?” Sabrina terpesona.
Della mengangguk yakin. “Dalam tubuh kita juga menyimpan listrik, listrik statis, dalam kain juga, logam, air, dan banyak lagi. Listrik dalam tubuh kita dapat berpindah ke objek lain, dan peristiwa itu yang disebut kesetrum.”
“Ooh!”
“Karena itu di beberapa pabrik pegawainya diberi baju dan sepatu khusus, untuk menghindari kesetrum ini. Supaya tidak menimbulkan percikan api.”
“Tapi untuk lebih meyakinkan kamu bahwa buku ini tidak ada apa-apa, aku bawa saja untuk beberapa hari. Gimana?” Dan Sabrina setuju.
Maka buku itu berpindah tangan. Tapi apakah buku itu tahu siapa pemilik barunya atau memang tidak ada horor yang dia sembunyikan, Della tidak bermimpi buruk apapun. Dia menikmati harinya dengan tenang.
Sementara itu Sabrina terus saja mendapatkan sial. Dari dia memecahkan gelas bekas minum Della tadi dan melukai jari putihnya, lalu kesandung sampai lututnya lecet. Dan malamnya dia bermimpi lagi. Kali ini dia bukan hanya duduk, tapi juga diikat pada punggung kursi dengan rantai baja. Dicambuk pada telapak tangannya, dan itu menjadi kenyataan ketika dia tersandung lagi di dapur dan tangannya mendarat tepat di atas parutan dari kayu, tepat di bagian yang berduri-duri.
Della menengoknya lagi ketika mendengar kabarnya, melihat tangan sahabatnya nyaris tidak bisa menggenggam apapun, diperban.
“Tapi kamu tidak percaya lagi kan bahwa buku itu yang buat sial?” Della akhirnya menyinggung buku Sanusi Pane lagi.
“Tak tahulah.” Sabrina masih merana dengan tangannya.
“Aku sudah baca sedikit, dan kelihatannya cukup menarik. Sudah jarang baca tulisan yang kata-katanya seperti ini,” Della memberitahu berusaha membuat Sabrina tidak berfikir buruk tentang buku itu.
“Kalau mau buat kamu saja,” Sabrina menyeruput es tehnya dengan sedotan sambil membungkuk ke meja.
“Beneran nih?” Della menggoda seraya mengupas kacang untung Sabrina yang memakannya dengan disuapi juga.
“Iya,” Sabrina ikut tersenyum.
“Oke deh,” Della tampak senang. Buku lama adalah favoritnya, selain murah, kau akan jarang menemukan orang bicara dengan logat dan bahasa seperti itu, rasanya sangat berguna untuk menambah kosakata. “Besok aku beliin buku deh tentang Majapahit, dari toko buku kok! Bukan dari toko buku bekas,” buru-buru Della menambahkan, ketika Sabrina berjengit hendak menolak.
***
Bagi Della ini adalah sebuah tantangan, menghadapi sesuatu yang kabarnya punya sisi magis. Dia sudah berkali-kali membolak balik buku Sanusi Pane itu. Menemukan beberapa coretan tinta dan stempel kepemilikan buku. Tapi stempel itu menggunakan bahasa lain. Della menduga itu Bahasa Belanda, Bahasa Inggris tidak seperti itu. Maka dia juga tak bisa memahami selembar catatan yang ditempel dalam buku. Tampaknya seperti larangan-larangan seperti dilarang mencorat-coret, merobek, atau mengotori, juga konsekuensi yang harus diterima jika terlambat mengembalikan. Dia cukup berpengalaman dengan perpustakaan sehingga dapat memperkirakannya.
Della sudah sampai di halaman ke-20 ketika akhirnya tertidur.
Dia dipaksa masuk oleh dua prajurit, ke dalam ruangan seperti ruang pengadilan. Tapi tidak ada kursi, alih-alih dia dilempar ke lantai di depan seorang wanita kurus yang teramat mengerikan. Sabrina hanya melihat wajahnya saja, tapi Della melihat seluruh tubuh wanita itu! Masih dalam proses meleleh akibat terbakar, keluar pula belatung dan segala macam makhluk mengerikan dari dalam tubuhnya. Della tergagap, mau menjerit tapi tampang mengerikannya membuat Della sesak napas, berjengit seraya berusaha mundur.
Tangan kanan wanita itu membawa sesuatu yang panjang sampai menggeleser ketika dia melangkah mendekati Della. Sepatu vanthofelnya menggema dalam ruangan yang kali ini Della dapat melihatnya. Bukan sekedar dinding bekas terbakar yang ditindih bercak-berak darah. Tapi juga manusia setengah utuh sampai tinggal tengkorak yang dirantai di kedua tangan dan kakinya, menempel pada dinding.
Della tak sanggup lagi. Dia menjerit ketakutan dan putus asa. Apa salahnya! Apakah dia juga akan jadi seperti mereka. Menangis dia.
“Tolong,” isaknya mohon ampun pada si wanita. “Jangan...”
Si wanita melecut cemetinya ke lantai. Della gelagapan. Teramat takut. Bagaimana jika setelah lantai dirinya yang akan dilecut?
“Kau terlambat, dan kau harus membayar denda!” suara itu terdengar penuh amarah dan ancaman.
“Te-terlambat apa? Denda apa?” Sejenak Della menyesal telah bicara, si wanita melecut cemetinya lagi menandakan dia semakin marah. Marah jika ada yang menyelanya.
“Kembalikan segera atau kau akan membayar denda seumur hidupmu!” dan cemeti diarahkan padanya, menyabet lehernya melingkar sehingga Della tercekik.
Della nyaris benar-benar tak bisa bernapas ketika terbangun dan terbatuk-batuk dengan keringat dingin mengucur dari seluruh pori-porinya. Itu mimpi terburuk yang pernah dia alami. Dan dia sekarang yakin betul mimpi itu bukan sekedar mimpi. Mimpi yang didatangi oleh orang yang sama dalam mimpi Sabrina.
Esoknya dia kembali ke Pasar Johar dan menanyakan perihal buku itu kepada penjualnya. Cukup yakin bahwa dia tak mau mengajak Sabrina yang masih terluka tangannya.
“Ini saya beli dari pedagang lain, Nok. Saya juga tidak tahu,” pria tua itu berkata. Membolak-balik buku Sandhayakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane itu dengan seksama. “Lha ini ada tanda milik perpustakaan. Mungkin perpustakaannya tutup jadi dijual, atau yang pinjam tidak mengembalikan ke perpustakaan lagi,” katanya. Dugaan yang kedua menghentikan napas Della selama beberapa detik.
“Itu perpustakaannya di mana ya, Pak?” tanya Della hati-hati.
Si pria tua mengambil kacamata tebalnya dari laci dan mulai membaca. “Ini sih perpustakaan jaman penjajahan dulu, dibangun orang Belanda,” ujarnya.
Ten pundi itu ya, Pak?” Di mana itu.
“Di mana lagi kalau bukan di kota lama.”
Della menyusuri jalanan sepi nan luas. Menikmati suasana Eropa. Terpesona oleh keindahan danau di sebelah Stasiun Tawang yang bersih dan begitu menyenangkan untuk didatangi baik sendiri maupun beramai-ramai. Mengagumi arsitektur bangunan-bangunan dan menatap iri pada sebuah restoran yang bangunannya bergaya Eropa.
Ingat Della, harus ke perustakaan!
Dia bertanya pada orang-orang sekitar tentang bangunan yang dulunya adalah perpustakaan. Beruntung ada anak yang dengan senang hati mengantarnya ke sana. Dia melewati gedung yang si anak katakan adalah bekas gedung opera, lalu gedung lain yang menjadi tempat tinggalnya dan memiliki hutan di dalamnya, lengkap dengan hewan berbahaya seperti ular, dan sebuah sumur yang baunya jadi bangir jika tidak ada perumpuan di sana. Della bergidik.
Dan sampailah dia di sebuah bangunan berpilar tinggi dan ada pahatan burung hantu di atasnya. Setelah memberi uang jasa kepada si anak, anak itu pergi. Sementara Della masuk.
Di dalam sana tidak begitu gelap, cahaya matahari masih dapat melewati atap yang sudah banyak berlubang. Di meja resepsionis Della meletakkan bukunya. Menunggu, tapi tidak ada yang terjadi. Maka dia memutuskan lebih baik pergi.
“Apa Anda tidak mau melihat-lihat buku yang lain dulu, Nona?” suara tiba-tiba itu nyaris membuat jantungnya copot. Datangnya dari meja resepsionis. Dan ketika dia berbalik, yang dia lihat adalah wanita paruh baya dengan rambut digelung ketat, tersenyum mengerikan. Tapi wajahnya tidak dalam proses meleleh karena terbakar, hanya keriput. “Ada buku yang baru saja masuk,” dan dia menunjukkan setumpuk buku Nancy Drew.
Seketika itu juga Della tersenyum riang. Lupa bahwa ruangan yang dilihatnya sebelumnya bukanlah ruangan dengan rak-rak yang menjulang tinggi dengan langit-langit indah dan lampu mewah, tidak ada meja panjang dan kursi yang berderet-deret. Yang dia ingat hanyalah bahwa dia sangat ingin membaca buku Nancy Drew.

Sementara itu, di luar sana. Hari sudah berganti minggu dan Della masih menghilang. Sabrina telah mengumpulkan semua informasi termasuk dari anak kecil yang dulu mengantar Della. Mengumpulkan semua keberanian dan membulatkan tekadnya, untuk tidak membiarkan apapun merebut sahabatnya darinya. Bahkan dia akan mempertaruhkan jiwanya asal Della kembali.
Atau mungkin dia keliru dan malah tak akan ada yang kembali.


~~Selesai~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.