Misi Persahabatan
13 Agustus 2011, ditulis oleh De' Ela
Sabrina Sylvester Sheira
agak canggung berjalan di sepanjang jalan yang diapit oleh buku-buku yang dipajang. Berdebu dan bau,
membuatnya agak pusing. Berbeda dengan sahabatnya Della Ginerva yang tampak
begitu riang menelanjangi semua buku-buku bekas di kanan kirinya, sampai tak
ada yang terlewatkan.
“Buku-buku di sini keren-keren
lho, Na! Kamu enggak bakal bisa nemuinnya di toko buku gedhe!” ujar Della dengan sangat bersemangat. Menggenggam pergelangan
tangan Sabrina supaya dia tidak tertinggal dengan langkah bersemangatnya.
“Ya iyalah, La,” dengus Sabrina kesal. Mana mungkin ada di toko buku
besar, buku-buku jadul dengan bau yang memuakkan itu. Semuanya pastilah harum,
wangi, dengan kertas putih bersih dan bagus-bagus.
Mereka
berhenti di sebuah lapak buku bekas yang dipenuhi dengan buku-buku yang disusun
tinggi sampai menyentuh langit-langit. Della segera saja mengamati dari sudut ke sudut.
Sabrina jengah melihat-lihat malas.
“Coba kamu lihat-lihat dulu.
Kali aja ada yang
kamu suka.”
“Cari buku apa, Cah ayu?” Seorang pria tua yang sedari
tadi duduk tertidur di kursinya terbangun dan segera menanyai Della.
“Ehm… cari buku Nancy Drew,
Pak. Wonten punapa mboten?” Ada atau tidak, tambah Della.
“Penulisnya Carolyn Knee.”
Segera saja pria itu
mencari-cari di rak-rak tinggi di belakang, meneliti tumpukan buku yang
menggunung. “Ora ana, Nok. Tidak ada,
tidak ketemu. Adanya Hardy Boys,” dia menunjukkan setumpuk buku detektif dengan
tokoh utama Hardy Boys.
Sekali lagi menggeleng lesu.
Dia inginnya Nancy Drew. Matanya masih terus bergerak-gerak berharap dia
melihatnya. Tapi yang ditemukannya setumpuk novel Goosebumps karya R.
L. Stine, novel yang pernah
dibacanya sewaktu SMP dan menjadi favoritnya juga. Maka matanya kembali
berbinar.
“Astaga, Della. Kamu mau
bikin perpustakaan?”
Della hanya nyengir.
“Kamu sendiri, udah nemu
yang bagus?”
Sekali lagi Sabrina menyapu
pandang, dan dia menemukan buku kusam dengan judulnya yang ditulis besar-besar:
Sandhayakala Ning Majapahit, oleh Sanusi Pane. Majapahit, kerajaan besar
favoritnya itu! Maka dipilihnya buku kusam itu.
Sebenarnya
tidak begitu tertarik dengan buku itu. Dia hanya tertarik dengan Majapahit. Dan
sesampainya dia di rumah dia menyesali kenapa harus membeli buku kumuh itu.
Dia bisa membeli di toko buku. Bukan
hanya buku kumuh itu kan yang membicarakan tentang sejarah Majapahit dan masa
kejayaannya bersama Patih Gajah Mada tercinta.
Sabrina
menjepit buku itu dengan dua jari untuk disimpan dalam rak buku ketika
tiba-tiba kedua jarinya itu kesetrum, sampai bukunya terjatuh, membuka pada
halaman depan. Di sana Sabrina dapat melihat ada stempel kepemilikan yang tak
bisa dibaca Sabrina. Tapi dia yakin itu nama sebuah perpustakaan. Ada nomor
inventaris juga.
***
Sabrina
duduk di kursi tinggi berkaki kurus. Menghadap sebuah meja panjang-tinggi.
Suasana di sekitarnya gelap sehingga dia tak bisa melihat dinding ruangan yang
menghitam bekas terbakar. Tapi dia dapat mencium bau kayu-kayu kering terbakar,
bukan, lebih tepatnya buku. Sungguh memuakkan! Sabrina benci bau yang semacam
itu. Dan sosok yang duduk di belakang meja panjang pun tak jauh lebih baik. Dia
wanita tua dengan rambut digelung ketat, wajahnya meleleh seolah masih dalam
proses pembakaran. Matanya hilang satu dengan darah terus mengucur dari
rongganya. Bau busuk!
“Kau
terlambat. Sangat terlambat, Nona! Kau harus membayar denda!!” saat itu juga
ada puluhan buku jatuh dari tempat yang tinggi ke sekitarnya sehingga
menimbulkan suara berdebam yang teramat keras, debu beterbangan. Sabrina
mendongak ke atas dan nyaris mati ketakutan ketika ratusan buku besar-besar
jatuh menimpanya. Memukuli kepalanya, menjatuhi seluruh tubuhnya sampai kursi
yang didudukinya pun ikut hancur.
Sabrina
terbangun di tempat tidurnya. Seluruh tubuhnya memar dan kepalanya
berdenyut-denyut sakit sekali.
“Kamu
habis jatuh dari ranjang?” tanya Della ketika melihat kondisi Sabrina yang
begitu buruk. Ketika itu Della sedang
main ke rumah Sabrina seperti hari Minggu biasanya.
“Jangan
ketawa,” keluh Sabrina sambil masih memegangi kepalanya yang tak berhenti
berdenyut. Lalu terbata-bata dia menceritakan mimpinya yang terasa begitu
nyata. Bahkan dia masih ingat jelas semuanya, termasuk bau-bau mengerikan itu.
“Kemarin
kamu juga mimpi kamu ratu di Majapahit,” Della kembali mengekeh. Sabrina
manyun. Tapi Sabrina tahu meskipun Della menanggapi itu lucu dan aneh, Della
juga menganggap serius hal ini. Tertawa membuat persahabatan mereka tidak kaku,
paling tidak tertawa mereka tahu situasi.
“Aku
yakin ada hubungannya sama buku tua yang aku beli di Pasar Johar itu. Kemarin
waktu aku menyentuhnya aku jadi kesetrum!”
“Itu
sih biasa.”
Sabrina
melongo. Kesetrum itu biasa?!
“Itu
bisa terjadi karena perpindahan elektron dari buku itu ke kamu, atau mungkin
sebaliknya. Di luar negeri itu juga sering terjadi. Kamu bahkan bisa nemuin
orang yang membakar karpet hanya dengan berjalan di atasnya.”
“Masa?”
Sabrina terpesona.
Della
mengangguk yakin. “Dalam tubuh kita juga menyimpan listrik, listrik statis,
dalam kain juga, logam, air, dan banyak lagi. Listrik dalam tubuh kita dapat
berpindah ke objek lain, dan peristiwa itu yang disebut kesetrum.”
“Ooh!”
“Karena
itu di beberapa pabrik pegawainya diberi baju dan sepatu khusus, untuk
menghindari kesetrum ini. Supaya tidak menimbulkan percikan api.”
“Tapi
untuk lebih meyakinkan kamu bahwa buku ini tidak ada apa-apa, aku bawa saja
untuk beberapa hari. Gimana?” Dan Sabrina setuju.
Maka
buku itu berpindah tangan. Tapi apakah buku itu tahu siapa pemilik barunya atau
memang tidak ada horor yang dia sembunyikan, Della tidak bermimpi buruk apapun.
Dia menikmati harinya dengan tenang.
Sementara
itu Sabrina terus saja mendapatkan sial. Dari dia memecahkan gelas bekas minum
Della tadi dan melukai jari putihnya, lalu kesandung sampai lututnya lecet. Dan
malamnya dia bermimpi lagi. Kali ini dia bukan hanya duduk, tapi juga diikat
pada punggung kursi dengan rantai baja. Dicambuk pada telapak tangannya, dan
itu menjadi kenyataan ketika dia tersandung lagi di dapur dan tangannya
mendarat tepat di atas parutan dari kayu, tepat di bagian yang berduri-duri.
Della
menengoknya lagi ketika mendengar kabarnya, melihat tangan sahabatnya nyaris
tidak bisa menggenggam apapun, diperban.
“Tapi
kamu tidak percaya lagi kan bahwa buku itu yang buat sial?” Della akhirnya
menyinggung buku Sanusi Pane lagi.
“Tak
tahulah.” Sabrina masih merana dengan tangannya.
“Aku
sudah baca sedikit, dan kelihatannya cukup menarik. Sudah jarang baca tulisan
yang kata-katanya seperti ini,” Della memberitahu berusaha membuat Sabrina
tidak berfikir buruk tentang buku itu.
“Kalau
mau buat kamu saja,” Sabrina menyeruput es tehnya dengan sedotan sambil
membungkuk ke meja.
“Beneran
nih?” Della menggoda seraya mengupas kacang untung Sabrina yang memakannya
dengan disuapi juga.
“Iya,”
Sabrina ikut tersenyum.
“Oke
deh,” Della tampak senang. Buku lama adalah favoritnya, selain murah, kau akan
jarang menemukan orang bicara dengan logat dan bahasa seperti itu, rasanya
sangat berguna untuk menambah kosakata. “Besok aku beliin buku deh tentang
Majapahit, dari toko buku kok! Bukan dari toko buku bekas,” buru-buru Della
menambahkan, ketika Sabrina berjengit hendak menolak.
***
Bagi
Della ini adalah sebuah tantangan, menghadapi sesuatu yang kabarnya punya sisi
magis. Dia sudah berkali-kali membolak balik buku Sanusi Pane itu. Menemukan
beberapa coretan tinta dan stempel kepemilikan buku. Tapi stempel itu
menggunakan bahasa lain. Della menduga itu Bahasa Belanda, Bahasa Inggris tidak
seperti itu. Maka dia juga tak bisa memahami selembar catatan yang ditempel
dalam buku. Tampaknya seperti larangan-larangan seperti dilarang
mencorat-coret, merobek, atau mengotori, juga konsekuensi yang harus diterima
jika terlambat mengembalikan. Dia cukup berpengalaman dengan perpustakaan
sehingga dapat memperkirakannya.
Della
sudah sampai di halaman ke-20 ketika akhirnya tertidur.
Dia
dipaksa masuk oleh dua prajurit, ke dalam ruangan seperti ruang pengadilan.
Tapi tidak ada kursi, alih-alih dia dilempar ke lantai di depan seorang wanita
kurus yang teramat mengerikan. Sabrina hanya melihat wajahnya saja, tapi Della
melihat seluruh tubuh wanita itu! Masih dalam proses meleleh akibat terbakar,
keluar pula belatung dan segala macam makhluk mengerikan dari dalam tubuhnya.
Della tergagap, mau menjerit tapi tampang mengerikannya membuat Della sesak
napas, berjengit seraya berusaha mundur.
Tangan
kanan wanita itu membawa sesuatu yang panjang sampai menggeleser ketika dia
melangkah mendekati Della. Sepatu vanthofelnya menggema dalam ruangan yang kali
ini Della dapat melihatnya. Bukan sekedar dinding bekas terbakar yang ditindih
bercak-berak darah. Tapi juga manusia setengah utuh sampai tinggal tengkorak
yang dirantai di kedua tangan dan kakinya, menempel pada dinding.
Della
tak sanggup lagi. Dia menjerit ketakutan dan putus asa. Apa salahnya! Apakah
dia juga akan jadi seperti mereka. Menangis dia.
“Tolong,”
isaknya mohon ampun pada si wanita. “Jangan...”
Si
wanita melecut cemetinya ke lantai. Della gelagapan. Teramat takut. Bagaimana
jika setelah lantai dirinya yang akan dilecut?
“Kau
terlambat, dan kau harus membayar denda!” suara itu terdengar penuh amarah dan
ancaman.
“Te-terlambat
apa? Denda apa?” Sejenak Della menyesal telah bicara, si wanita melecut
cemetinya lagi menandakan dia semakin marah. Marah jika ada yang menyelanya.
“Kembalikan
segera atau kau akan membayar denda seumur hidupmu!” dan cemeti diarahkan
padanya, menyabet lehernya melingkar sehingga Della tercekik.
Della
nyaris benar-benar tak bisa bernapas ketika terbangun dan terbatuk-batuk dengan
keringat dingin mengucur dari seluruh pori-porinya. Itu mimpi terburuk yang
pernah dia alami. Dan dia sekarang yakin betul mimpi itu bukan sekedar mimpi.
Mimpi yang didatangi oleh orang yang sama dalam mimpi Sabrina.
Esoknya
dia kembali ke Pasar Johar dan menanyakan perihal buku itu kepada penjualnya.
Cukup yakin bahwa dia tak mau mengajak Sabrina yang masih terluka tangannya.
“Ini
saya beli dari pedagang lain, Nok.
Saya juga tidak tahu,” pria tua itu berkata. Membolak-balik buku Sandhayakala
Ning Majapahit karya Sanusi Pane itu dengan seksama. “Lha ini ada tanda milik perpustakaan. Mungkin perpustakaannya tutup
jadi dijual, atau yang pinjam tidak mengembalikan ke perpustakaan lagi,”
katanya. Dugaan yang kedua menghentikan napas Della selama beberapa detik.
“Itu
perpustakaannya di mana ya, Pak?” tanya Della hati-hati.
Si
pria tua mengambil kacamata tebalnya dari laci dan mulai membaca. “Ini sih
perpustakaan jaman penjajahan dulu, dibangun orang Belanda,” ujarnya.
“Ten pundi itu ya, Pak?” Di mana itu.
“Di
mana lagi kalau bukan di kota lama.”
Della
menyusuri jalanan sepi nan luas. Menikmati suasana Eropa. Terpesona oleh
keindahan danau di sebelah Stasiun Tawang yang bersih dan begitu menyenangkan
untuk didatangi baik sendiri maupun beramai-ramai. Mengagumi arsitektur
bangunan-bangunan dan menatap iri pada sebuah restoran yang bangunannya bergaya
Eropa.
Ingat
Della, harus ke perustakaan!
Dia
bertanya pada orang-orang sekitar tentang bangunan yang dulunya adalah
perpustakaan. Beruntung ada anak yang dengan senang hati mengantarnya ke sana.
Dia melewati gedung yang si anak katakan adalah bekas gedung opera, lalu gedung
lain yang menjadi tempat tinggalnya dan memiliki hutan di dalamnya, lengkap
dengan hewan berbahaya seperti ular, dan sebuah sumur yang baunya jadi bangir
jika tidak ada perumpuan di sana. Della bergidik.
Dan
sampailah dia di sebuah bangunan berpilar tinggi dan ada pahatan burung hantu
di atasnya. Setelah memberi uang jasa kepada si anak, anak itu pergi. Sementara
Della masuk.
Di
dalam sana tidak begitu gelap, cahaya matahari masih dapat melewati atap yang
sudah banyak berlubang. Di meja resepsionis Della meletakkan bukunya. Menunggu,
tapi tidak ada yang terjadi. Maka dia memutuskan lebih baik pergi.
“Apa
Anda tidak mau melihat-lihat buku yang lain dulu, Nona?” suara tiba-tiba itu
nyaris membuat jantungnya copot. Datangnya dari meja resepsionis. Dan ketika
dia berbalik, yang dia lihat adalah wanita paruh baya dengan rambut digelung
ketat, tersenyum mengerikan. Tapi wajahnya tidak dalam proses meleleh karena
terbakar, hanya keriput. “Ada buku yang baru saja masuk,” dan dia menunjukkan
setumpuk buku Nancy Drew.
Seketika
itu juga Della tersenyum riang. Lupa bahwa ruangan yang dilihatnya sebelumnya
bukanlah ruangan dengan rak-rak yang menjulang tinggi dengan langit-langit
indah dan lampu mewah, tidak ada meja panjang dan kursi yang berderet-deret.
Yang dia ingat hanyalah bahwa dia sangat ingin membaca buku Nancy Drew.
Sementara
itu, di luar sana. Hari sudah berganti minggu dan Della masih menghilang.
Sabrina telah mengumpulkan semua informasi termasuk dari anak kecil yang dulu
mengantar Della. Mengumpulkan semua keberanian dan membulatkan tekadnya, untuk
tidak membiarkan apapun merebut sahabatnya darinya. Bahkan dia akan
mempertaruhkan jiwanya asal Della kembali.
Atau
mungkin dia keliru dan malah tak akan ada yang kembali.
~~Selesai~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.