PLAGIAT
7 September 2010, ditulis oleh De' Ela
“Nggak bisa
dibiarin!”
“Ini sebuah
kejahatan!”
“Picik!” imbuh Lala
suram dengan nada yang terdengar berat ketika mengucapkannya. Yang lain terdiam
memandang iba dia. Lalu dia tersenyum meski begitu matanya menyimpan air mata
di ujung kelopaknya.
“Bengawan Solo....
Riwayatmu ini... Sedari dulu... Menjadi perhatian insani...,” sambil memetik
gitarnya Alan menyanyikan lagu keroncong Maestro Indonesia, Almarhum Gesang.
“Apaan sih, Lan! Kontras
banget sama topik yang lagi diomongin. Seenggaknya gradasi kek kalo ngomong!”
cerca Dian makin naik darah melihat tingkah temannya yang tak menunjukkan
simpatinya pada Lala.
“Iya, iya calon
pelukis profesional. Bahasamu itu lho, berseni!” Alan berkelakar. Lala ikut
tersenyum. Tapi Dian dan Meta tidak. Berusaha menjaga perasaan Lala.
“Terus kita harus
gimana, nih?” Meta bersuara lagi.
“Gimana lagi? Ya kita
adain konvernsi pers!” Dian menggebu-gebu, berlebihan.
“Nggak. Itu terlalu
berlebihan,” Alan turun dari meja tempat dia tadi duduk, menggeleng tegas.
“Untuk saat ini kita diam saja dulu sambil cari cara yang pas. Kamu nggak apa
‘kan La?” lanjutnya pada Lala yang lebih banyak diam.
Lala menggeleng. “Aku
balik kelas dulu ya,” katanya seraya berdiri. “Aku bener-bener nggak apa-apa!
Kalian santai aja. Aku kenal siapa Shasya,” kilahnya seraya mengulas senyum.
Lalu benar-benar pergi dari ruang aula.
Karya sastra
merupakan suatu karya yang punya nilai, merupakan suatu karya yang memiliki hak
untuk dimiliki oleh si pencipta. Dan
suatu kejahatan jika orang lain mengaku-ngaku yang punya hak cipta karya
tersebut, mempublikasikannya atas namanya. Tapi sakit hati yang mendalam lah
yang paling hebat jika plagiat itu sahabatnya sendiri. Satu hobi, satu sekolah
pula.
Lala benar-benar tak
menyangka Shasyanya akan menghianatinya begini. Dia tahu mereka
sama-sama penyuka sastra. Tapi selama ini mereka bersaing secara sehat. Dan
kenyataannya Shasya memang lebih dulu sukses darinya.
Itu hanya sebuah
puisi!
Lala sedang berjalan
bersama ketiga temannya yang tahu kenyataan ini. Shasya yang selalu
menghindarinya, dan tak mau bicara dengannya. “Seharusnya kamu yang marah sama
dia. Bukan dia!” sindir Dian ketika mereka berpapasan dengan Shasya yang
pura-pura tak melihat. Hanya mampu melirik sesaat, dan yang dilihatnya justru
Lala yang tersenyum dan terus mengarahkan mata hitamnya pada Shasya.
“Seharusnya tadi kita
labrak sekalian aja dia!” omel Meta yang geram melihat tingkah tak acuh dan
angkuh Shasya.
“Jangan!”sergah Lala.
Semua mata menatapnya tak percaya, kecuali tentu saja Alan. “Aku enggak ingin
mempermalukan Shasya begitu,” lanjutnya bersungguh-sungguh.
“Aduh, La! Sahabat
macam apa kalo dia berani ngelakuin itu! Udah, aduin aja ke redaksi majalah!
Biar kapok!” gerutu Dian.
Lala tersenyum
melihat kesungguhan ketiga temanya ini dalam memperjuangkan haknya. Sekarang
siapa yang benar-benar peduli padanya? Dia masih ingat jelas siapa mereka dulu.
Sekawanan anak-anak usil yang mencuri baca buku puisinya.
“Jangan marah, ya,”
ratap Meta ketika mereka tertangkap basah sedang membaca buku puisi Lala yang
selalu dia taruh di dalam laci mejanya.
“Maafin kita, ya
Lala,” imbuh Dian memelas.
“Puisi kamu bagus-bagus
kok! Apalagi yang judulnya Api. Kenapa nggak kamu coba kirim aja ke media massa
atau majalah sekolah?” tutur Alan tenang seolah tanpa dosa. Ekspresinya
bersungguh-sungguh mengagumi puisi Lala.
Pertanyaan Alan mampu
membalikkan amarah Lala menjadi gugup dan bingung. Menyelamatkan mereka bertiga
juga.
Selama ini dia tak
pernah berani mengirimkan puisi-puisinya. Tak pernah berani menunjukkan
puisi-puisinya kepada teman-teman. Hanya kepada Shasya seorang.
Mereka sering membaca
puisi masing-masing ketika mereka hanya berdua. Terkadang tukar menukar buku
puisi untuk dibaca. Tapi yang paling sering melakukannya adalah Lala.
“A, aku belum siap.”
Alan, Meta, dan Dian
menautkan alis masing-masing.
“Maksud aku, aku
malu,” tambanya menjelaskan.
“Menurut aku puisi-puisi
kamu malah lebih bagus lho, dari Shasya,” celetuk Dian.
***
Braak!!
“Duh, sorry, sorry.
Aku terburu-buru,” buru Shasya seraya terus mengemas buku-buku tugas yang
berserakan. Tak ada jawaban, alih-alih sepasang tangan yang ikut mengambilkan
buku-buku untuknya. Sepasang tangan yang sangat dia kenal.
Shasya menengadah dan
kekhawatirannya terbukti. Seraut wajah Lala. Wajah yang terus tersenyum
menatapnya dengan mata hitam nun sendu itu. Maka buru-buru Shasya mengambil
setumpuk buku tugas sekelasnya dan pergi.
Meski sebentar Lala
puas Shasya sudah melihatnya.
“Kenapa sih kamu
masih baik sama penjiplak kayak dia!” gerutu Dian yang tadi melihat.
Menghampiri Lala setelah Shasya jauh.
Lala tersenyum
misterius seraya memandang Dian.
“Dan kenapa sih kamu
bisa setenang itu?” gerutunya kesal dan heran, balam menatap tajam Lala.
“Aku tahu siapa
Shasya dan aku percaya pada Shasya dia nggak ingin menyakitiku. Buktinya dia
takut menatapku,” kata Lala sambil menatap mengawal punggung Shasya yang
kemudian tak kelihatan lagi ketika berbelok di koridor ujung.
***
Lala sudah menentukan
keputusannya dalam masalah ini tadi malam. Sehingga pagi ini terasa lebih
ringan. Tak sabar dia ingin bicara pada Shasya dan ketiga temannya. Berharap
semua kan menerima keputusannya dengan positif.
Sepertinya perbedaan
juga muncul pada diri Alan. Tidak biasanya dia bersekolah tanpa membawa gitar
kesayangannya. Bukan Lala yang paling heran. Alih-alih cewek-cewek yang suka
request lagu saat jam kosong atau saat waktu senggang Alan lainnya. Dua
sahabatnya Dian dan Meta sendiri pun tak acuh.
“Pulang sekolah kita
ketemu di aula ya, sama Dian dan Meta,” ujarnya pada Lala tepat sebelum bel
masuk berseru.
Lala mengangguk. Ah,
kebetulan dia juga ingin membicarakan perihal masalah puisi itu. Sebelum
semuanya terlalu terlambat, sebelum Meta dan Dian memutuskan untuk
merealisasikan rencana-rencana gila yang pernah mereka sebutkan.
Aula memang lebih
sering sepi jika KBM (Kurikulum Belajar Mengajar) berlangsung normal. Tak ada
libur nasional selain hari minggu. Belum musim lomba dan class meeting. Jadi
aula merupakan tempat mereka berkumpul yang asyik menurut mereka, pangkalan
tiga sekawan Dian, Meta, dan Alan. Tak kan ada yang mencuri dengar.
Lala memasuki aula
dan mendapati di sana belum ada seorangpun. Maka dia memilih berkeliling dulu,
mengamati lukisan-lukisan terpilih karya anak kelas XII.
Dia sedang mengamati
lukisan Albert Einstein ketika Dian dan Meta masuk.
“Alan mana?”
semburnya.
“Belum datang,” sahut
Lala seraya menggelengkan kepala.
“Ngapain sih tu
anak?! Udah telat, pake rahasia-rahasiaan segala lagi!” gerutu Dian yang tampak
begitu kesal.
“Kamu kenapa kelihatan
kesel banget?” Lala mencoba berhati-hati dalam berucap. Saat seperti ini Dian
benar-benar seperti singa bangun!
Meta gigit bibir.
Ingin menjawab tapi Dian menatapnya tajam. Buat Meta tetap diam. Meta yang
biasanya galak sekarang pun takut? Sebenarnya ada apa?
Untuk sesaat
tampaknya Dian sedang berpikir keras. Melirik cukup lama pintu aula yang tak
jua dibuka oleh Alan. Lalu berpaling pada Lala dan Meta.
“La, ikut aku
sekarang,” ajak Dian dengan nada tegas. Lala menurut dan tak berani bertanya
kemana.
“Ta, tapi Alan?” Lala
berusaha bicara setelah beberapa saat mereka berjalan meninggalkan aula.
“Biarin! Salah
sendiri dia telat. Kita juga udah enggak bisa nunggu lagi, La. Mumpung mereka
lagi kumpul,” jelas Dian, “Aku benci pencuri hak cipta!” gerutunya pelan.
Mereka siapa? tanya
Lala dalam hati. Dia dapat menduga salah satu di antara mereka itu pasti adalah
Shasya.
Benar saja. Lala dapat
melihat di seberang sana. Di depan ruang redaksi. Shasya sedang mengobrol
dengan seorang cewek cantik. Sabrina, pimpinan redaksi majalah sekolah mereka,
SMA Wanabhakti.
“Dian, jangan! Aku
enggak ingin mempermalukan Shasya di depan orang banyak!” cegah Lala.
“Enggak kok. Cuma di
depan Sabrina,” kilah Dian.
“Tapi aku udah relain
puisi aku itu...”
Lala mendapati
gelagat gelisah pada diri Sahsya. Melihat Lala beserta kedua penolongnya yang
berwajah sangar memberitahunya ini bukanlah hal baik.
“Hai, La, Dian, Meta,
belum pulang?” sapa Sabrina.
“Belum. Kebetulan
kita juga lagi ada urusan,” sahut Dian dingin, terus mengincar Shasya dengan
matanya.
“Urusan? Sama Shasya?”
Sabrina tampak terdengar lebih galak mengikuti tingkah buruk Dian pada temannya.
Berusaha melindungi temannya yang selalu langganan dimuat karyanya.
“Sama kalian berdua.”
“Heh?” Sabrina tak
mengerti.
“Begini. Puisi yang
dimuat di Meewa yang berjudul Api itu sebenernya bukan karya Shasya, melainkan
karya Lala!”
Hening. Shasya tetap
menyembunyikan separuh tubuhnya di belakang tubuh Sabrina. Lala memandangnya,
bingung harus baagimana. Di satu sisi dia berharap Shasya tak perlu
memperpanjang masalah ini denagn mengakuinya, tapi di sisi lain Lala sudah
berusaha untuk ikhlas.
“Apa?” Sabrina
bersuara.
“Dengan kata lain
Shasya mencontek karya orang lain. Sahabatnya sendiri!” Dian memberi tekanan
lebih pada dua kata terakhir itu.
“Tunggu dulu, yunggu
dulu! kalian nggak bisa nuduh Shasya tanpa bukti,” Sabrina membela.
“Ada kok,” tantang Dian,
“di buku puisi Lala.”
Semua mata mengarah
pada Lala, kecuali Shasya.
“Eh, emm... dibawa
Shasya,” kata Lala pelan.
Sabrina tersenyum
simpul. “Tadi kamu nuduh Shasya mencontek puisimu, dan sekarang kamu juga
bilang Shasya nyuri bukumu?! Sahabat macam apa kamu,” cibir Sabrina benar-benar
menohok hati Lala.
“Aku enggak bilang
begitu!” Lala makin nelangsa. Astaga! Kenapa tambah rumit begini?!
“Na! Kalo ngomong tu
jangan sembarangan dong!” Meta ikut naik pitam.
“Kalian sendiri yang
menuduh Shasya lebih dulu!” cibir sabrina lagi.
“Gini aja. Kalo
kalian mau bahas masalah ini lagi, cepetan! Bentar lagi rapat redaksi mulai.
Tapi kalian harus punya bukti!”
Dian dan Meta menatap
geram Sabrina yang malah membela Shasya.
“Udah, udah. Nggak
usah. Lupain aja masalah ini. Aku
udah ikhlasin kok,” akhirnya Lala bersuara, lebih pada Dian dan Meta.
“Maaf ya,” Sabrina
berlagak. “Kamu enggak bisa gitu aja menganggap ini angin lewat. Ini udah
terlanjur jadi masalah besar tentang pengakuan dan hak cipta! Kalo kamu enggak
bisa nunjukkin bukti kuat bahwa Api itu punya kamu, kamu harus minta maaf sama
Shasya karena udah ngaku-ngaku!” Sabrina ingin memberi pelajaran.
“Iya ‘kan, Shasya?” tambahnya
seraya menoleh dan mengedikkan satu matanya pada Shasya.
Ditanya begitu Shasya
hanya berani diam danmemasang tampang bimbang. Bingung, mengangguk sama saja
menjerumuskan Lala, menggeleng smaa mengakui kesalahannya, mempermalukannya.
“Seperti politik
saja,” sebuah suara itu datangnya agak jauh, dan mendekat. Suara laki-laki.
“Apa?” Sabrina
mengangkat alis.
“Alan?” Dian dan Meta
bersuara.
“Maksudnya?” imbuh
Lala ketika Alan sudah dekat. Mengumbar senyum yang memang cukup manis.
“Nepotisme,” jelas Alan,
“Meskipun nggak ada bukti akurat tapi jelas-jelas Dian dan Meta adalah saksi.
Ditambah lagi sikap Shasya yang mencurigakan itu. Artinya ada hal yang ganjil
‘kan.
“Tapi kamu enggak mau
mengakuinya. Karena Shasya adalah teman baik kamu. Dan kamu ingin membelanya.
Ditambah lagi Shasya berperan cukup penting juga dalam kuallitas Meewa dan mading
dengan puisi-puisinya yang cukup sering juga dimuat di media cetak.
“Sebagai orang yang
seharusnya jadi penengah masalah ini kamu bersikap tidak adil, Sabrina,” kata Alan
langsung menembak hati Sabrina, bertingkah sok cool.
Meewa kependekan dari
Media Edukasi & Entertaiment Wanabhakti.
Sebenarnya Dian ingin
muntah melihat gaya sahabatnya yang sok detektif itu. Maklum, kartun idolanya
Sinichi Kudo. Tapi kali ini Dian bangga. Ada gunanya juga!
“Lho, memang faktanya
begitu. Lala nggak punya bukti kuat!” Sabrina keras kepala.
“Ingat peristiwa
tahun 1962 silam?” Alan berjalan berputar perlahan dengan kedua tangan dalam
saku celananya.
“Enggak! Pas itu
kebetulan kita belum lahir!” Dian mulai kesal pada Alan. “To the point aja deh!
Yang paling pinter sejarah tu cuma kamu!” keluh Dian tak sabar.
Alan tersenyum lagi.
“Sabar dong, Dian. Dengerin dulu!
“Pada tahun 1962
dimana Indonesia sudah merdeka dan Presidennya masihlah Bapak Soekarno yang
sejajar dengan Presiden Amerika J. F. Kennedy. Pada tahun itu pula lagu
legendaris Maestro Keroncong Indonesia Almarhum Gesang, yang berjudul Bengawan
Solo, dijiplak oleh negara Malaysia dan hanya diganti lirik dan judulnya
menjadi Main Cello.
“Presiden Soekarno
tahu. Maka beliau mengundang Kedutaan dari Malaysia pada suatu event olah raga
di Jakarta-”
“Alan! Ini bukan
waktunya mendongeng!” sergah Dian tak sabar.
Sabrina melirik
arlojinya. “Sepuluh menit lagi rapat bakal dimulai. Lain kali aja deh.”
“Tunggu dulu. Bentar
lagi juga selesai.
“Pada acara tersebut
lagu Bengawan Solo diperdengarkan pada seluruh hadirin termasuk orang-orang
Kedutaan Malaysia. Diperkenalkan bahwa lagu itu berjudul Bengawan Solo dan
diciptakan oleh orang asal Indonesia pada tahun 1940. Lalu Kedutaan Malaysia
pun mengakui lagu itu sebagai milik Indonesia,” katanya mengakhiri dengan
dramatis.
Alan merogoh tasnya.
“Dan pada kasus ini
aku meniru cara Pak Karno,” Alan menyerahkan sebuah majalah edisi lalu.
“Shasya, kapan kamu
ngasiih puisi itu ke redaksi Meewa?”
“Eh, e... sekitar,
sek kitar tig-tiga mingggu la’lu,” jawab Shasya terbata-bata.
“Bagus kalo begitu.
“Karena diam-diam
sebulan yang lalu aku ngirim puisi Lala ke sebuah majalah remaja. Kalo tidak
percaya bisa lihat laporan pesan terkirim di yahoo-ku.”
Sabrina diam seribu
bahasa setelah menemukan yang dia cari. Diserahkannya majalah itu pada Shasya.
“Kamu ngirim
puisiku?” ulang Lala terkejut.
Dian menyambar
majalah itu dari Shasya. Dibacanya bersama Meta. Makin lama mereka makin tampak
sumringah.
“Ini Royaltinya. Baru
aku termia kemarin.” Alan menyerahkan sebuah amplop cokelat dan sebuah kaos
bertuliskan nama majalah tersebut, pada Lala. Lala pun menerimanya dengan masih
terguncang. Ada perasaan bahagia juga, dan tak percaya.
“Sebenernya,” Shasya
berucap pelan dengan masih tertunduk, “Aku denger ucapan Dian dan Alan waktu
kalian ketahuan baca buku puisi Lala. Aku jadi... gelisah, dan...
pena...penasaran sama puisi Lala.
“Dan pas aku baca
puisi Lala yang itu aku enggak tahu kalau Sabrina juga ikut baca. Sabrina
langsung memuji puisi itu. Sabrina kira itu puisiku. Dan jika aku bilang yang
sebenarnya... aku takut!
“Aku takut Sabrina
lebih milih karya kamu daripada aku. Aku takut kalau waktu seleksi lomba puisi
bentar lagi bukan aku yang kepilih. Aku takut kalah...” Shasya menangis
terisak.
Lala memeluk Shasya
sementara yang lain hanya menatap mereka haru.
“Maaf, La. Maafin
aku!” isaknya pasrah.
“Aku maafin kok. Aku
tahu kamu enggak benar-benar berniat nyakitin aku. Kita kan sahabat,” ujar Lala
menegarkan.
“Maaf juga nih, ya,
aku ganggu.” Dian dan Meta langsung melotot pada Sabrina. “Pertama aku mau
minta maaf sama Lala udah bersikap nggak adil tadi. Kedua, Shasya enggak usah
takut, kamu selalu punya tempat asal karya kamu tetap bagus seperti biasa atau bahkan
lebih. Ketiga, makasih buat Alan yang udah nunjukkin salahku,” Sabrina meringis
malu sendiri, “Keempat, makasih buat Dian dan Meta udah ngasih tahu tentang
masalah ini. Dan yang kelima, sebentar lagi rapat dimulai dan aku musti ngasih
tahu ini ke redaksi lainnya. Shasya juga harus minta maaf sama semua pembaca
dan redaksi karena udah mengirimkan puisi pada dua media yang berbeda dan
semuanya dimuat!”
“Kan itu enggak
sengaja,” Lala meralat.
“Iya, tapi jika
ketahuan baik Alan maupun Shasya bisa diblacklist dari daftar media cetak
tersebut. Seringnya mereka nggak mau peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
karena aku tahu dan aku ngerti keadaan kamu, aku kasih kamu satu kesempatan
lagi untuk tetap bisa mengirimkan karya kamu ke Meewa. Inget! Plagiat dan
pengiriman ganda seperti ini adalah kejahatan di dunia tulis menulis!” tegas
Sabrina berusaha bijak lagi, berusaha tak memihak.
Shasya mengangguk
paham, penuh sesal dan malu.
“Dan aku juga harus
meralat Meewa edisi kemarin tentang penulis puisi Api,” Sabrina mengakhiri
pemberitahuannya.
“Bilang aja ada
kesalahan teknis,” celetuk Alan seraya tersenyum manis. Yang lain menyetujui.
“Coba lihat
majalahnya,” kata Lala pada Dian, masih penasaran dan deg-degan dengan karya
pertamanya yang dimuat.
“Kamu sih datengnya
telat! Tadi aku sampe hampir mau jambakin Sabrina sama Shasya tahu!” keluh Dian
pada Alan.
“Salah sendiri
minggat. Kan aku bilang ketemuan di aula. Aku jadi bingung kalian kemana.
Untung insting detektifku lagi bagus,” sahut Alan mulai berlagak lagi.
Mereka melihat
anggota redaksi lain baru datang dari kantin maupun mushola. Tepat lima menit
sebelum rapat redaksi.
“Karena masalahnya
udah selesai bubar yuk. Atau Lala mau nraktir kita, nih? Ya, Lala ya?”
“I, iya.
“Mm, Alan. Kamu dapat
fotoku dari mana?” ujar Lala perlahan. Menujukkan fotonya yang berpose seolah
sedang mendengarkan penjelasan guru bahasa mereka dengan antusias. “Rasanya aku
belum pernah foto kayak gini, deh.”
Semua mata
memandangnya curiga. Alan dengan muka memerah hanya bisa garuk-garuk kepala
sambil toleh kanan-kiri, terpojokkan. Panik harus bagaimana. Biasanya pada
situasi seperti ini Alan akan mengalihkan pembicaraan dengan memainkan gitar
akustiknya. Tapi sial pula dia hari ini tak
membawanya. Haruskah Alan mengaku...
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.