Selasa, 20 Mei 2014

Plagiat

PLAGIAT

7 September 2010, ditulis oleh De' Ela

“Nggak bisa dibiarin!”
“Ini sebuah kejahatan!”
“Picik!” imbuh Lala suram dengan nada yang terdengar berat ketika mengucapkannya. Yang lain terdiam memandang iba dia. Lalu dia tersenyum meski begitu matanya menyimpan air mata di ujung kelopaknya.
“Bengawan Solo.... Riwayatmu ini... Sedari dulu... Menjadi perhatian insani...,” sambil memetik gitarnya Alan menyanyikan lagu keroncong Maestro Indonesia, Almarhum Gesang.
“Apaan sih, Lan! Kontras banget sama topik yang lagi diomongin. Seenggaknya gradasi kek kalo ngomong!” cerca Dian makin naik darah melihat tingkah temannya yang tak menunjukkan simpatinya pada Lala.

“Iya, iya calon pelukis profesional. Bahasamu itu lho, berseni!” Alan berkelakar. Lala ikut tersenyum. Tapi Dian dan Meta tidak. Berusaha menjaga perasaan Lala.
“Terus kita harus gimana, nih?” Meta bersuara lagi.
“Gimana lagi? Ya kita adain konvernsi pers!” Dian menggebu-gebu, berlebihan.
“Nggak. Itu terlalu berlebihan,” Alan turun dari meja tempat dia tadi duduk, menggeleng tegas. “Untuk saat ini kita diam saja dulu sambil cari cara yang pas. Kamu nggak apa ‘kan La?” lanjutnya pada Lala yang lebih banyak diam.
Lala menggeleng. “Aku balik kelas dulu ya,” katanya seraya berdiri. “Aku bener-bener nggak apa-apa! Kalian santai aja. Aku kenal siapa Shasya,” kilahnya seraya mengulas senyum. Lalu benar-benar pergi dari ruang aula.
Karya sastra merupakan suatu karya yang punya nilai, merupakan suatu karya yang memiliki hak untuk dimiliki  oleh si pencipta. Dan suatu kejahatan jika orang lain mengaku-ngaku yang punya hak cipta karya tersebut, mempublikasikannya atas namanya. Tapi sakit hati yang mendalam lah yang paling hebat jika plagiat itu sahabatnya sendiri. Satu hobi, satu sekolah pula.
Lala benar-benar tak menyangka Shasyanya akan menghianatinya begini. Dia tahu mereka sama-sama penyuka sastra. Tapi selama ini mereka bersaing secara sehat. Dan kenyataannya Shasya memang lebih dulu sukses darinya.
Itu hanya sebuah puisi!
Lala sedang berjalan bersama ketiga temannya yang tahu kenyataan ini. Shasya yang selalu menghindarinya, dan tak mau bicara dengannya. “Seharusnya kamu yang marah sama dia. Bukan dia!” sindir Dian ketika mereka berpapasan dengan Shasya yang pura-pura tak melihat. Hanya mampu melirik sesaat, dan yang dilihatnya justru Lala yang tersenyum dan terus mengarahkan mata hitamnya pada Shasya.
“Seharusnya tadi kita labrak sekalian aja dia!” omel Meta yang geram melihat tingkah tak acuh dan angkuh Shasya.
“Jangan!”sergah Lala. Semua mata menatapnya tak percaya, kecuali tentu saja Alan. “Aku enggak ingin mempermalukan Shasya begitu,” lanjutnya bersungguh-sungguh.
“Aduh, La! Sahabat macam apa kalo dia berani ngelakuin itu! Udah, aduin aja ke redaksi majalah! Biar kapok!” gerutu Dian.
Lala tersenyum melihat kesungguhan ketiga temanya ini dalam memperjuangkan haknya. Sekarang siapa yang benar-benar peduli padanya? Dia masih ingat jelas siapa mereka dulu. Sekawanan anak-anak usil yang mencuri baca buku puisinya.
“Jangan marah, ya,” ratap Meta ketika mereka tertangkap basah sedang membaca buku puisi Lala yang selalu dia taruh di dalam laci mejanya.
“Maafin kita, ya Lala,” imbuh Dian memelas.
“Puisi kamu bagus-bagus kok! Apalagi yang judulnya Api. Kenapa nggak kamu coba kirim aja ke media massa atau majalah sekolah?” tutur Alan tenang seolah tanpa dosa. Ekspresinya bersungguh-sungguh mengagumi puisi Lala.
Pertanyaan Alan mampu membalikkan amarah Lala menjadi gugup dan bingung. Menyelamatkan mereka bertiga juga.
Selama ini dia tak pernah berani mengirimkan puisi-puisinya. Tak pernah berani menunjukkan puisi-puisinya kepada teman-teman. Hanya kepada Shasya seorang.
Mereka sering membaca puisi masing-masing ketika mereka hanya berdua. Terkadang tukar menukar buku puisi untuk dibaca. Tapi yang paling sering melakukannya adalah Lala.
“A, aku belum siap.”
Alan, Meta, dan Dian menautkan alis masing-masing.
“Maksud aku, aku malu,” tambanya menjelaskan.
“Menurut aku puisi-puisi kamu malah lebih bagus lho, dari Shasya,” celetuk Dian.
***
Braak!!
“Duh, sorry, sorry. Aku terburu-buru,” buru Shasya seraya terus mengemas buku-buku tugas yang berserakan. Tak ada jawaban, alih-alih sepasang tangan yang ikut mengambilkan buku-buku untuknya. Sepasang tangan yang sangat dia kenal.
Shasya menengadah dan kekhawatirannya terbukti. Seraut wajah Lala. Wajah yang terus tersenyum menatapnya dengan mata hitam nun sendu itu. Maka buru-buru Shasya mengambil setumpuk buku tugas sekelasnya dan pergi.
Meski sebentar Lala puas Shasya sudah melihatnya.
“Kenapa sih kamu masih baik sama penjiplak kayak dia!” gerutu Dian yang tadi melihat. Menghampiri Lala setelah Shasya jauh.
Lala tersenyum misterius seraya memandang Dian.
“Dan kenapa sih kamu bisa setenang itu?” gerutunya kesal dan heran, balam menatap tajam Lala.
“Aku tahu siapa Shasya dan aku percaya pada Shasya dia nggak ingin menyakitiku. Buktinya dia takut menatapku,” kata Lala sambil menatap mengawal punggung Shasya yang kemudian tak kelihatan lagi ketika berbelok di koridor ujung.
***
Lala sudah menentukan keputusannya dalam masalah ini tadi malam. Sehingga pagi ini terasa lebih ringan. Tak sabar dia ingin bicara pada Shasya dan ketiga temannya. Berharap semua kan menerima keputusannya dengan positif.
Sepertinya perbedaan juga muncul pada diri Alan. Tidak biasanya dia bersekolah tanpa membawa gitar kesayangannya. Bukan Lala yang paling heran. Alih-alih cewek-cewek yang suka request lagu saat jam kosong atau saat waktu senggang Alan lainnya. Dua sahabatnya Dian dan Meta sendiri pun tak acuh.
“Pulang sekolah kita ketemu di aula ya, sama Dian dan Meta,” ujarnya pada Lala tepat sebelum bel masuk berseru.
Lala mengangguk. Ah, kebetulan dia juga ingin membicarakan perihal masalah puisi itu. Sebelum semuanya terlalu terlambat, sebelum Meta dan Dian memutuskan untuk merealisasikan rencana-rencana gila yang pernah mereka sebutkan.
Aula memang lebih sering sepi jika KBM (Kurikulum Belajar Mengajar) berlangsung normal. Tak ada libur nasional selain hari minggu. Belum musim lomba dan class meeting. Jadi aula merupakan tempat mereka berkumpul yang asyik menurut mereka, pangkalan tiga sekawan Dian, Meta, dan Alan. Tak kan ada yang mencuri dengar.
Lala memasuki aula dan mendapati di sana belum ada seorangpun. Maka dia memilih berkeliling dulu, mengamati lukisan-lukisan terpilih karya anak kelas XII.
Dia sedang mengamati lukisan Albert Einstein ketika Dian dan Meta masuk.
“Alan mana?” semburnya.
“Belum datang,” sahut Lala seraya menggelengkan kepala.
“Ngapain sih tu anak?! Udah telat, pake rahasia-rahasiaan segala lagi!” gerutu Dian yang tampak begitu kesal.
“Kamu kenapa kelihatan kesel banget?” Lala mencoba berhati-hati dalam berucap. Saat seperti ini Dian benar-benar seperti singa bangun!
Meta gigit bibir. Ingin menjawab tapi Dian menatapnya tajam. Buat Meta tetap diam. Meta yang biasanya galak sekarang pun takut? Sebenarnya ada apa?
Untuk sesaat tampaknya Dian sedang berpikir keras. Melirik cukup lama pintu aula yang tak jua dibuka oleh Alan. Lalu berpaling pada Lala dan Meta.
“La, ikut aku sekarang,” ajak Dian dengan nada tegas. Lala menurut dan tak berani bertanya kemana.
“Ta, tapi Alan?” Lala berusaha bicara setelah beberapa saat mereka berjalan meninggalkan aula.
“Biarin! Salah sendiri dia telat. Kita juga udah enggak bisa nunggu lagi, La. Mumpung mereka lagi kumpul,” jelas Dian, “Aku benci pencuri hak cipta!” gerutunya pelan.
Mereka siapa? tanya Lala dalam hati. Dia dapat menduga salah satu di antara mereka itu pasti adalah Shasya.
Benar saja. Lala dapat melihat di seberang sana. Di depan ruang redaksi. Shasya sedang mengobrol dengan seorang cewek cantik. Sabrina, pimpinan redaksi majalah sekolah mereka, SMA Wanabhakti.
“Dian, jangan! Aku enggak ingin mempermalukan Shasya di depan orang banyak!” cegah Lala.
“Enggak kok. Cuma di depan Sabrina,” kilah Dian.
“Tapi aku udah relain puisi aku itu...”
Lala mendapati gelagat gelisah pada diri Sahsya. Melihat Lala beserta kedua penolongnya yang berwajah sangar memberitahunya ini bukanlah hal baik.
“Hai, La, Dian, Meta, belum pulang?” sapa Sabrina.
“Belum. Kebetulan kita juga lagi ada urusan,” sahut Dian dingin, terus mengincar Shasya dengan matanya.
“Urusan? Sama Shasya?” Sabrina tampak terdengar lebih galak mengikuti tingkah buruk Dian pada temannya. Berusaha melindungi temannya yang selalu langganan dimuat karyanya.
“Sama kalian berdua.”
“Heh?” Sabrina tak mengerti.
“Begini. Puisi yang dimuat di Meewa yang berjudul Api itu sebenernya bukan karya Shasya, melainkan karya Lala!”
Hening. Shasya tetap menyembunyikan separuh tubuhnya di belakang tubuh Sabrina. Lala memandangnya, bingung harus baagimana. Di satu sisi dia berharap Shasya tak perlu memperpanjang masalah ini denagn mengakuinya, tapi di sisi lain Lala sudah berusaha untuk ikhlas.
“Apa?” Sabrina bersuara.
“Dengan kata lain Shasya mencontek karya orang lain. Sahabatnya sendiri!” Dian memberi tekanan lebih pada dua kata terakhir itu.
“Tunggu dulu, yunggu dulu! kalian nggak bisa nuduh Shasya tanpa bukti,” Sabrina membela.
“Ada kok,” tantang Dian, “di buku puisi Lala.”
Semua mata mengarah pada Lala, kecuali Shasya.
“Eh, emm... dibawa Shasya,” kata Lala pelan.
Sabrina tersenyum simpul. “Tadi kamu nuduh Shasya mencontek puisimu, dan sekarang kamu juga bilang Shasya nyuri bukumu?! Sahabat macam apa kamu,” cibir Sabrina benar-benar menohok hati Lala.
“Aku enggak bilang begitu!” Lala makin nelangsa. Astaga! Kenapa tambah rumit begini?!
“Na! Kalo ngomong tu jangan sembarangan dong!” Meta ikut naik pitam.
“Kalian sendiri yang menuduh Shasya lebih dulu!” cibir sabrina lagi.
“Gini aja. Kalo kalian mau bahas masalah ini lagi, cepetan! Bentar lagi rapat redaksi mulai. Tapi kalian harus punya bukti!”
Dian dan Meta menatap geram Sabrina yang malah membela Shasya.
“Udah, udah. Nggak usah. Lupain aja masalah ini. Aku udah ikhlasin kok,” akhirnya Lala bersuara, lebih pada Dian dan Meta.
“Maaf ya,” Sabrina berlagak. “Kamu enggak bisa gitu aja menganggap ini angin lewat. Ini udah terlanjur jadi masalah besar tentang pengakuan dan hak cipta! Kalo kamu enggak bisa nunjukkin bukti kuat bahwa Api itu punya kamu, kamu harus minta maaf sama Shasya karena udah ngaku-ngaku!” Sabrina ingin memberi pelajaran.
“Iya ‘kan, Shasya?” tambahnya seraya menoleh dan mengedikkan satu matanya pada Shasya.
Ditanya begitu Shasya hanya berani diam danmemasang tampang bimbang. Bingung, mengangguk sama saja menjerumuskan Lala, menggeleng smaa mengakui kesalahannya, mempermalukannya.
“Seperti politik saja,” sebuah suara itu datangnya agak jauh, dan mendekat. Suara laki-laki.
“Apa?” Sabrina mengangkat alis.
“Alan?” Dian dan Meta bersuara.
“Maksudnya?” imbuh Lala ketika Alan sudah dekat. Mengumbar senyum yang memang cukup manis.
“Nepotisme,” jelas Alan, “Meskipun nggak ada bukti akurat tapi jelas-jelas Dian dan Meta adalah saksi. Ditambah lagi sikap Shasya yang mencurigakan itu. Artinya ada hal yang ganjil ‘kan.
“Tapi kamu enggak mau mengakuinya. Karena Shasya adalah teman baik kamu. Dan kamu ingin membelanya. Ditambah lagi Shasya berperan cukup penting juga dalam kuallitas Meewa dan mading dengan puisi-puisinya yang cukup sering juga dimuat di media cetak.
“Sebagai orang yang seharusnya jadi penengah masalah ini kamu bersikap tidak adil, Sabrina,” kata Alan langsung menembak hati Sabrina, bertingkah sok cool.
Meewa kependekan dari Media Edukasi & Entertaiment Wanabhakti.
Sebenarnya Dian ingin muntah melihat gaya sahabatnya yang sok detektif itu. Maklum, kartun idolanya Sinichi Kudo. Tapi kali ini Dian bangga. Ada gunanya juga!
“Lho, memang faktanya begitu. Lala nggak punya bukti kuat!” Sabrina keras kepala.
“Ingat peristiwa tahun 1962 silam?” Alan berjalan berputar perlahan dengan kedua tangan dalam saku celananya.
“Enggak! Pas itu kebetulan kita belum lahir!” Dian mulai kesal pada Alan. “To the point aja deh! Yang paling pinter sejarah tu cuma kamu!” keluh Dian tak sabar.
Alan tersenyum lagi. “Sabar dong, Dian. Dengerin dulu!
“Pada tahun 1962 dimana Indonesia sudah merdeka dan Presidennya masihlah Bapak Soekarno yang sejajar dengan Presiden Amerika J. F. Kennedy. Pada tahun itu pula lagu legendaris Maestro Keroncong Indonesia Almarhum Gesang, yang berjudul Bengawan Solo, dijiplak oleh negara Malaysia dan hanya diganti lirik dan judulnya menjadi Main Cello.
“Presiden Soekarno tahu. Maka beliau mengundang Kedutaan dari Malaysia pada suatu event olah raga di Jakarta-”
“Alan! Ini bukan waktunya mendongeng!” sergah Dian tak sabar.
Sabrina melirik arlojinya. “Sepuluh menit lagi rapat bakal dimulai. Lain kali aja deh.”
“Tunggu dulu. Bentar lagi juga selesai.
“Pada acara tersebut lagu Bengawan Solo diperdengarkan pada seluruh hadirin termasuk orang-orang Kedutaan Malaysia. Diperkenalkan bahwa lagu itu berjudul Bengawan Solo dan diciptakan oleh orang asal Indonesia pada tahun 1940. Lalu Kedutaan Malaysia pun mengakui lagu itu sebagai milik Indonesia,” katanya mengakhiri dengan dramatis.
Alan merogoh tasnya.
“Dan pada kasus ini aku meniru cara Pak Karno,” Alan menyerahkan sebuah majalah edisi lalu.
“Shasya, kapan kamu ngasiih puisi itu ke redaksi Meewa?”
“Eh, e... sekitar, sek kitar tig-tiga mingggu la’lu,” jawab Shasya terbata-bata.
“Bagus kalo begitu.
“Karena diam-diam sebulan yang lalu aku ngirim puisi Lala ke sebuah majalah remaja. Kalo tidak percaya bisa lihat laporan pesan terkirim di yahoo-ku.”
Sabrina diam seribu bahasa setelah menemukan yang dia cari. Diserahkannya majalah itu pada Shasya.
“Kamu ngirim puisiku?” ulang Lala terkejut.
Dian menyambar majalah itu dari Shasya. Dibacanya bersama Meta. Makin lama mereka makin tampak sumringah.
“Ini Royaltinya. Baru aku termia kemarin.” Alan menyerahkan sebuah amplop cokelat dan sebuah kaos bertuliskan nama majalah tersebut, pada Lala. Lala pun menerimanya dengan masih terguncang. Ada perasaan bahagia juga, dan tak percaya.
“Sebenernya,” Shasya berucap pelan dengan masih tertunduk, “Aku denger ucapan Dian dan Alan waktu kalian ketahuan baca buku puisi Lala. Aku jadi... gelisah, dan... pena...penasaran sama puisi Lala.
“Dan pas aku baca puisi Lala yang itu aku enggak tahu kalau Sabrina juga ikut baca. Sabrina langsung memuji puisi itu. Sabrina kira itu puisiku. Dan jika aku bilang yang sebenarnya... aku takut!
“Aku takut Sabrina lebih milih karya kamu daripada aku. Aku takut kalau waktu seleksi lomba puisi bentar lagi bukan aku yang kepilih. Aku takut kalah...” Shasya menangis terisak.
Lala memeluk Shasya sementara yang lain hanya menatap mereka haru.
“Maaf, La. Maafin aku!” isaknya pasrah.
“Aku maafin kok. Aku tahu kamu enggak benar-benar berniat nyakitin aku. Kita kan sahabat,” ujar Lala menegarkan.
“Maaf juga nih, ya, aku ganggu.” Dian dan Meta langsung melotot pada Sabrina. “Pertama aku mau minta maaf sama Lala udah bersikap nggak adil tadi. Kedua, Shasya enggak usah takut, kamu selalu punya tempat asal karya kamu tetap bagus seperti biasa atau bahkan lebih. Ketiga, makasih buat Alan yang udah nunjukkin salahku,” Sabrina meringis malu sendiri, “Keempat, makasih buat Dian dan Meta udah ngasih tahu tentang masalah ini. Dan yang kelima, sebentar lagi rapat dimulai dan aku musti ngasih tahu ini ke redaksi lainnya. Shasya juga harus minta maaf sama semua pembaca dan redaksi karena udah mengirimkan puisi pada dua media yang berbeda dan semuanya dimuat!”
“Kan itu enggak sengaja,” Lala meralat.
“Iya, tapi jika ketahuan baik Alan maupun Shasya bisa diblacklist dari daftar media cetak tersebut. Seringnya mereka nggak mau peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tapi karena aku tahu dan aku ngerti keadaan kamu, aku kasih kamu satu kesempatan lagi untuk tetap bisa mengirimkan karya kamu ke Meewa. Inget! Plagiat dan pengiriman ganda seperti ini adalah kejahatan di dunia tulis menulis!” tegas Sabrina berusaha bijak lagi, berusaha tak memihak.
Shasya mengangguk paham, penuh sesal dan malu.
“Dan aku juga harus meralat Meewa edisi kemarin tentang penulis puisi Api,” Sabrina mengakhiri pemberitahuannya.
“Bilang aja ada kesalahan teknis,” celetuk Alan seraya tersenyum manis. Yang lain menyetujui.
“Coba lihat majalahnya,” kata Lala pada Dian, masih penasaran dan deg-degan dengan karya pertamanya yang dimuat.
“Kamu sih datengnya telat! Tadi aku sampe hampir mau jambakin Sabrina sama Shasya tahu!” keluh Dian pada Alan.
“Salah sendiri minggat. Kan aku bilang ketemuan di aula. Aku jadi bingung kalian kemana. Untung insting detektifku lagi bagus,” sahut Alan mulai berlagak lagi.
Mereka melihat anggota redaksi lain baru datang dari kantin maupun mushola. Tepat lima menit sebelum rapat redaksi.
“Karena masalahnya udah selesai bubar yuk. Atau Lala mau nraktir kita, nih? Ya, Lala ya?”
“I, iya.
“Mm, Alan. Kamu dapat fotoku dari mana?” ujar Lala perlahan. Menujukkan fotonya yang berpose seolah sedang mendengarkan penjelasan guru bahasa mereka dengan antusias. “Rasanya aku belum pernah foto kayak gini, deh.”
Semua mata memandangnya curiga. Alan dengan muka memerah hanya bisa garuk-garuk kepala sambil toleh kanan-kiri, terpojokkan. Panik harus bagaimana. Biasanya pada situasi seperti ini Alan akan mengalihkan pembicaraan dengan memainkan gitar akustiknya. Tapi sial pula dia hari ini tak  membawanya. Haruskah Alan mengaku...

~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.