Selasa, 20 Mei 2014

Indra Keenam

Indra Keenam


2009, ditulis oleh De' ela



Keteduhan berbeda dengan kegelapan. Angin dingin pun begitu dengan Air Conditioner. Tapi dinding batu sedingin es ini memang tak patut untuk di sandari, sudah dingin berlumut lagi. Tak ingin Syna mengotori sweater darah-beroksigen ini.
            Dengan sarung kulit Syna bisa menghindari kotoran di tombol bel ketika dia memencetnya. Tapi dia tak bisa menghindari bau pengap ketika pintu dibuka oleh seorang temannya, pemilik rumah. Penampilannya kusam tak seperti biasanya. Tapi Syna masih bisa melihat mata itu tak tertuju seakan sedang melamun.

            “Hai, Della,” Syna menyapa, agak ragu sapaannya itu cocok, kepada teman di depannya yang membukakan pintu itu.
            “Hai,” jawab Della polos. Menyuruh Syna masuk dengan tangannya, dan menyuruhnya duduk juga tanpa bicara. Sementara seakan sudah diperintah, tiba-tiba muncul seorang pelayan membawa nampan yang di atasnya; dua gelas kosong dengan teko porselen berembun. Betapa terkejut Syna melihat apa yang dituangkan ke gelasnya dari teko itu; susu vanila!
            “Bagaimana kamu tahu itu minuman kesukaanku?” tanya Syna agak takut.
            “Sudah kubilang aku tahu apapun tentangmu,” jawab Della masam.
            “Tapi, bagaimana...?” tuntut Syna tak sabar. Awalnya dia tak percaya akan ucapan Della bahwa dia tahu lebih jauh beberapa hal. Tapi baru sekarang itu terbukti, baru sekali! Pikir Syna. Tidak! Tidak sekali. Della tahu kapan dia akan datang, karena itu pelayannya tak perlu bolak-balik untuk disuruh atau susah-susah membuka pintu, sementara itulah tugasnya. Tidak! Della memang tahu!
            Syna mulai berpikir apakah keputusannya benar untuk menginap di rumah temannya, untuk melakukan penelitian di dekat situ. Ketika Della mulai bicara lagi; “Jangan khawatir,” setelah meminum seperempat es susunya, membuat Syna agak menegang. “Penampilan luar rumah ini memang dibentuk sedemikian rupa agar tak menarik perhatian...” ucapnya meneruskan. Tapi menurut Syna penampilan kumuh seperti itu malah menarik perhatian dan komentar orang yang melihatnya.
            “...agar orang segan untuk masuk. Minumlah,” tambah Della sambil melenggangkan tangan kanannya mempersilakan Syna yang langsung turut minum. Sekarang setuju orang tidak akan mau masuk rumah seperti itu. Lalu apa masalahnya? Ruangan itu tak lebih berbeda dari penampilan luarnya.
            “Kau akan tidur di sebelah kamarku di lantai paling bawah. Ayo!” katanya sambil berdiri. “Biar pelayanku yang membawa barangmu,” lanjutnya tanpa menoleh, berjalan begitu tenang. Syna menurut. Meski akhirnya agak enggan ketika mengetahui bukan lantai terbawahlah yang sekarang dia injak. Masih ada satu lantai di bawahanya. Pikirnya gelap, lembab, pengap, dan sarang penyakit!
            Dia cukup pintar sehingga berkata dalam hati bahwa tidak mungkin Della tidur di tempat seperti yang dia bayangkan. Setidaknya kamar yang klasik; luas, elegan, mewah. Begitu dugaan terakhirnya ketika akhirnya melihat sendiri lantai bawah itu terdiri dari dinding-dinding yang menyekat setiap ruangan.
            “Jika kau ingin pergi ke kamarmu tinggal ingat-ingat saja jalan ini,” celetuk Della.
            “Baik,” jawab Syna memastikan.
            Mereka sampai di depan pintu bertuliskan nama Syna bergaya latin.
            “Mana kamarmu?” tanya Syna yang hanya melihat dinding di dua sisi mereka.
            “Di sebelah kiri kamar ini. Di sana,” jawabnya sambil menunjuk ke kiri. “Kalau beruntung bisa lebih cepat sampai ke sana.”
            “Apa maksudmu kalau beruntung?”
            “Lantai ini dibentuk seperti labirin bergerak,” jawab Della.
            “Apa!” jerit Syna ngeri dan tak percaya.
            “Ini peta awal lantai ini. Kau bisa tentukan sendiri. Aku yakin,” kata Della smbil menyodorkan lipatan kertas kuning yang berasal dari saku bajunya, kepada Syna. Syna mengangguk ngeri. Sementara Della mulai membuka kenop pintu kamar Syna. Terkagum-kagum Syna setelah Della menyalakan lampunya. Memang benar, kamar itu mewah, dalam arti klasik.
            Malam pertama di sana Syna masih takut untuk tidur di kamar yang luas. Takut hal ganjil ada di sekelilingnya ketika dia terlelap. Seperti yang dia rasakan sekarang ini, meski hanya firasat Syna yang sedang paranoid. Jadi dia mencoba mengerjakan penelitiannya untuk mengusir ketakutan. Namun urat sarafnya tetap menegang mendengar pintu kamarnya diketuk. Dan mengendor ketika melihat Della yang berada di ambang pintu. Bukan malaikat kematian!
            “Aku mengantarkan kopi untukmu,” kata Della sambil menyodorkan secangkir kopi bercawan pada Syna.
            “Terimakasih,” jawab Syna menerima cangkir itu.
            “Permisi,” ucap Della yang langsung menghadap kiri Syna. Syna sekilas melihat posisi labirin yang telah berubah, membuatnya ngeri.
            “Della, maukah kau temani aku tidur di kamarku untuk malam ini?” tanya Syna penuh harap. Della menoleh, tersenyum, “Memang terasa sepi dan suram. Tapi tenang, tidak ada hal aneh apapun. Sebaiknya lekas kau biasakan,” kata Della sambil lalu.
            Walau merasa kecewa setidaknya Syna juga merasa lebih tenang. Dan akhirnya bersedia tidur walau berselimut sampai leher dan menyembunyikan mukanya di balik guling.
            Sudah tiga hari Syna menginap di rumah Della dan dia benar-benar merasa nyaman di sana. Bagaimana tidak? Penghuninya ramah, selalu dilayani, dan fasilitasnya menakjubkan! Seakan Syna sudah lama tinggal di sana sehingga penghuni rumah itu tahu apa yang biasa Syna lakukan di rumahnya sendiri. Meski merasa nyaman Syna tetap salah tingkah jika memikirkan Della dapat tahu apa saja tentang dirinya.
            Hari ini Syna berencana untuk berkunjung ke rumahnya. Menemui orang tua tercinta untuk melepas rindu dan bercerita tentang keluarga Della dan penelitiannya tentang batu meteor yang jatuh di dekat rumah Della.
            “Kamu beruntung lho punya teman seperti dia,” celetuk ibu Syna setelah mendengar cerita dari putri semata wayangnya.
            “Kenapa begitu?” sahut Syna.
            “Jarang lho ada orang seunik dia. Bunda juga yakin dia baik. Tidak akan menjahati kamu,” jawab ibunya.
            “Yang benar?” goda Syna.
            “Menurut kamu sendiri bagaimana?” tuntut ibu Syna.
            “Baik,” jawab Syna simpel. Tapi otaknya mengartikan banyak hal dalam satu kata itu.
            Matahari terbenam, hari mulai malam. Terdengar deru mobil Syna yang beberapa saat lalu meninggalkan rumahnya. Hari ini dia sangat senang. Orang tuanya ingin berkunjung ke rumah Della dan keluarga Della menyambut kabar itu dengan gembira. Ya, tidak cukup bisa dibilang gembira karena ekspresi keluarga Della tidak menampakkan antusiasme, tapi senyum senang yang ikhlas.
            Besok. Syna hanya sebentar ke tempat penelitian lalu pulang ke rumah Della. Menunggu di ruang tamu bersama Della yang sedang membaca buku. Satu jam mereka menunggu membuat Syna gelisah. Namun masih bisa ia pendam. Dan tidak lagi ketika sudah dua jam mereka menunggu.
            “Della, boleh kupinjam handphonemu? Punyaku ketinggalan di kamar,” tanya Syna sambil mengatungkan telapak tangannya.
            “Aku tidak punya handphone,” jawab Della, tak berbindah pandangan dari bukunya.
            “Kenapa begitu?” tanya Syna keheranan.
            “Agar bisa menggunakan layanan pemerintah. Lagipula aku tidak tahu siapa yang ingin kutelepon,” jawab Della lugu.
            “Bisa orang tuamu, teman-temanmu...”
            “Kami sering bertemu. Jadi tak terlalu membutuhkannya. Tapi kami punya telepon rumah,” sahut Della sambil tersenyum dan menunjuk sebuah telepon kuno.
            Syna pindah duduk di kursi dekat telepon sambil senyum sendiri, baru ingat nomor telepon Della yang dia punya memang hanya nomor telepon rumah. Satu senti sebelum Syna menyentuh gagang telepon itu, telepon berdering. Menoleh pada Della dan berkata; “Della...”
            “Angkat saja,” jawab Della yang masih asik dengan bukunya.
            Sedikit kesal akhirnya Syna mengangkat telepon. “Hallo,” ucapnya.
            “Halo, Non Syna ada?”
            Sedikit tercengang mendapat telepon dari pembantunya yang terdengar sangat gelisah; “Iya, ini saya. Ada apa, Mbok?”
            “Bapak sama ibu, Non! Mereka kecelakaan, Non!” jawab pembantu Syna. Sementara Syna langsung duduk lemas, gagang telepon pun terjatuh bergelantungan. Seluruh tubuhnya mati rasa. Jantungnya berdegup kencang. Sementara itu suara pembantu Syna terdengar memanggil-manggil nama Syna di telepon.
            “Halo, Syna sedang tidak bisa menjawab telepon. Ada yang bisa saya sampaikan?” tanpa disadari Della sudah duduk di dekat telepon dan mengambil alih telepon. Bukunya  tertutup di pangkuannya. Dibukanya buku itu di halaman pertama lalu mengambil pulpen di sakunya. Menuliskan sebuah alamat rumah sakit dekat rumahnya.
            “Apa menurutmu mereka baik-baik saja, Della?” tanya Syna yang sekarang dialah yang pandangannya tak terfokus. Ketika itu mereka sedang naik mobil menuju rumah sakit yang dimaksud.
            “Mereka sekarang baik-baik saja. Aku yakin,” jawab Della sambil memberi senyum ramah pada Syna. Membuat Syna lebih tenang, karena itu dikatakan oleh orang yag memiliki indra keenam!
            Syna langsung berlari pada perawat yang bertugas memberi informasi. Bertanya dan langsung berjalan cepat menuju satu lorong. “Ruang Melati lorong tiga belas,” gumamnya di sebelah Della yang menyusul dengan langkah panjang. Mereka menemukan ruang Melati itu dan Syna langsung benjeblak terbuka pintu ruangan namun langkahnya terhenti ketika melihat isi ruangan itu...
            Bukan ruangan sebagaimana ruang perawatan. Firasat buruk menyelimuti Syna. Dia melihat dua tempat tidur berisi orang terselubung selimut secara keseluruhan. Membuat jantungnya berdetak kencang lagi. “Kau yakin orang tuaku baik-baik saja ‘kan, Della?” tanya Syna pelan.
            “Ya,” jawabnya otomatis.
            “Maaf, apakah kalian keluarga Pak Anindira dan Bu Rahma?” tanya seorang perawat kepada Syna dan Della.
            “Saya putrinya,” jawab Syna otomatis. “Di mana mereka?” lanjut Syna tergesa-gesa.
            “Mereka di sana,” jawab perawat itu sambil menunjuk kedua mayat terselubung selimut. “Saya turut berduka cita,” tambahnya sambil membelai pundak Syna.
            Nyaris pingsan Syna mengetahui firasatnya benar. Gemetaran dia membukai kain yang menutupi wajah kedua orang tuanya. Beginikah akhir hidupnya. Tinggal sendiri. Tak ada kakak, tak ada adik, tak punya tempat untuk berbagi...lagi.
            Syna menatap marah wajah beku mereka. Bertanya dalam hati dengan siapa dia sekarang. Kenapa mereka tega membiarkannya sendiri.
            “Kau bilang mereka baik-baik saja,” gumam Syna pada Della yang sudah berdiri di belakangnya, pandangannya tak berpindah dari wajah-wajah damai itu.
            “Mereka memang baik-baik saja,” tutur Della. Syna menoleh mengernyitkan dahi. “Mereka bahagia. Mereka puas melihatmu sukses seperti sekarang. Kau cerdas, baik, berbakti, dan cantik. Mereka yakin masa depanmu akan cerah,” lanjut Della sambil tersenyum pada Syna.
            “Kau tahu mereka akan ma... meninggal?” tuduh Syna. “Tapi kau tidak menyelamatkan mereka?!!”
            “Merekalah yang tak ingin diselamatkan. Mereka tak khawatir untuk mati. Mereka bahagia memilikimu, Syna,” kata Della sambil menatap kedua orang tua Syna.
            Syna mulai mengerti. Dan mulai sadar bahwa dia sekarang memang kehilangan kedua orang tuanya, tapi dia juga mendapatkan teman spesial, seorang sahabat spesial. Bundanya tahu itu. Dia tak akan membiarkannya sendiri. Dan Syna tahu dia tak akan membuat ayah dan bundanya kecewa. Dia akan membuat kedua orang tuanya selalu bangga padanya...

~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.