Indra Keenam
2009, ditulis oleh De' ela
Keteduhan berbeda dengan kegelapan. Angin dingin pun begitu dengan Air Conditioner. Tapi dinding batu sedingin es ini memang tak patut untuk di sandari, sudah dingin berlumut lagi. Tak ingin Syna mengotori sweater darah-beroksigen ini.
Dengan
sarung kulit Syna bisa menghindari kotoran di tombol bel ketika dia
memencetnya. Tapi dia tak bisa menghindari bau pengap ketika pintu dibuka oleh
seorang temannya, pemilik rumah. Penampilannya kusam tak seperti biasanya. Tapi
Syna masih bisa melihat mata itu tak tertuju seakan sedang melamun.
“Hai,
Della,” Syna menyapa, agak ragu sapaannya itu cocok, kepada teman di depannya
yang membukakan pintu itu.
“Hai,”
jawab Della polos. Menyuruh Syna masuk dengan tangannya, dan menyuruhnya duduk
juga tanpa bicara. Sementara seakan sudah diperintah, tiba-tiba muncul seorang
pelayan membawa nampan yang di atasnya; dua gelas kosong dengan teko porselen
berembun. Betapa terkejut Syna melihat apa yang dituangkan ke gelasnya dari
teko itu; susu vanila!
“Bagaimana
kamu tahu itu minuman kesukaanku?” tanya Syna agak takut.
“Sudah
kubilang aku tahu apapun tentangmu,” jawab Della masam.
“Tapi,
bagaimana...?” tuntut Syna tak sabar. Awalnya dia tak percaya akan ucapan Della
bahwa dia tahu lebih jauh beberapa hal. Tapi baru sekarang itu terbukti, baru
sekali! Pikir Syna. Tidak! Tidak sekali. Della tahu kapan dia akan datang,
karena itu pelayannya tak perlu bolak-balik untuk disuruh atau susah-susah
membuka pintu, sementara itulah tugasnya. Tidak! Della memang tahu!
Syna
mulai berpikir apakah keputusannya benar untuk menginap di rumah temannya,
untuk melakukan penelitian di dekat situ. Ketika Della mulai bicara lagi;
“Jangan khawatir,” setelah meminum seperempat es susunya, membuat Syna agak
menegang. “Penampilan luar rumah ini memang dibentuk sedemikian rupa agar tak
menarik perhatian...” ucapnya meneruskan. Tapi menurut Syna penampilan kumuh
seperti itu malah menarik perhatian dan komentar orang yang melihatnya.
“...agar
orang segan untuk masuk. Minumlah,”
tambah Della sambil melenggangkan tangan kanannya mempersilakan Syna yang
langsung turut minum. Sekarang setuju orang tidak akan mau masuk rumah seperti
itu. Lalu apa masalahnya? Ruangan itu tak lebih berbeda dari penampilan
luarnya.
“Kau
akan tidur di sebelah kamarku di lantai paling bawah. Ayo!” katanya sambil
berdiri. “Biar pelayanku yang membawa barangmu,” lanjutnya tanpa menoleh,
berjalan begitu tenang. Syna menurut. Meski akhirnya agak enggan ketika
mengetahui bukan lantai terbawahlah yang sekarang dia injak. Masih ada satu
lantai di bawahanya. Pikirnya gelap, lembab, pengap, dan sarang penyakit!
Dia
cukup pintar sehingga berkata dalam hati bahwa tidak mungkin Della tidur di
tempat seperti yang dia bayangkan. Setidaknya kamar yang klasik; luas, elegan,
mewah. Begitu dugaan terakhirnya ketika akhirnya melihat sendiri lantai bawah itu
terdiri dari dinding-dinding yang menyekat setiap ruangan.
“Jika
kau ingin pergi ke kamarmu tinggal ingat-ingat saja jalan ini,” celetuk Della.
“Baik,”
jawab Syna memastikan.
Mereka
sampai di depan pintu bertuliskan nama Syna bergaya latin.
“Mana
kamarmu?” tanya Syna yang hanya melihat dinding di dua sisi mereka.
“Di
sebelah kiri kamar ini. Di sana,” jawabnya sambil menunjuk ke kiri. “Kalau
beruntung bisa lebih cepat sampai ke sana.”
“Apa
maksudmu kalau beruntung?”
“Lantai
ini dibentuk seperti labirin bergerak,” jawab Della.
“Apa!”
jerit Syna ngeri dan tak percaya.
“Ini
peta awal lantai ini. Kau bisa tentukan sendiri. Aku yakin,” kata Della smbil
menyodorkan lipatan kertas kuning yang berasal dari saku bajunya, kepada Syna.
Syna mengangguk ngeri. Sementara Della mulai membuka kenop pintu kamar Syna.
Terkagum-kagum Syna setelah Della menyalakan lampunya. Memang benar, kamar itu
mewah, dalam arti klasik.
Malam
pertama di sana Syna masih takut untuk tidur di kamar yang luas. Takut hal
ganjil ada di sekelilingnya ketika dia terlelap. Seperti yang dia rasakan
sekarang ini, meski hanya firasat Syna yang sedang paranoid. Jadi dia mencoba
mengerjakan penelitiannya untuk mengusir ketakutan. Namun urat sarafnya tetap
menegang mendengar pintu kamarnya diketuk. Dan mengendor ketika melihat Della
yang berada di ambang pintu. Bukan malaikat kematian!
“Aku
mengantarkan kopi untukmu,” kata Della sambil menyodorkan secangkir kopi
bercawan pada Syna.
“Terimakasih,”
jawab Syna menerima cangkir itu.
“Permisi,”
ucap Della yang langsung menghadap kiri Syna. Syna sekilas melihat posisi
labirin yang telah berubah, membuatnya ngeri.
“Della,
maukah kau temani aku tidur di kamarku untuk malam ini?” tanya Syna penuh
harap. Della menoleh, tersenyum, “Memang terasa sepi dan suram. Tapi tenang,
tidak ada hal aneh apapun. Sebaiknya lekas kau biasakan,” kata Della sambil
lalu.
Walau
merasa kecewa setidaknya Syna juga merasa lebih tenang. Dan akhirnya bersedia
tidur walau berselimut sampai leher dan menyembunyikan mukanya di balik guling.
Sudah
tiga hari Syna menginap di rumah Della dan dia benar-benar merasa nyaman di
sana. Bagaimana tidak? Penghuninya ramah, selalu dilayani, dan fasilitasnya
menakjubkan! Seakan Syna sudah lama tinggal di sana sehingga penghuni rumah itu
tahu apa yang biasa Syna lakukan di rumahnya sendiri. Meski merasa nyaman Syna
tetap salah tingkah jika memikirkan Della dapat tahu apa saja tentang dirinya.
Hari
ini Syna berencana untuk berkunjung ke rumahnya. Menemui orang tua tercinta
untuk melepas rindu dan bercerita tentang keluarga Della dan penelitiannya
tentang batu meteor yang jatuh di dekat rumah Della.
“Kamu
beruntung lho punya teman seperti dia,” celetuk ibu Syna setelah mendengar
cerita dari putri semata wayangnya.
“Kenapa
begitu?” sahut Syna.
“Jarang
lho ada orang seunik dia. Bunda juga yakin dia baik. Tidak akan menjahati
kamu,” jawab ibunya.
“Yang
benar?” goda Syna.
“Menurut
kamu sendiri bagaimana?” tuntut ibu Syna.
“Baik,”
jawab Syna simpel. Tapi otaknya mengartikan banyak hal dalam satu kata itu.
Matahari
terbenam, hari mulai malam. Terdengar deru mobil Syna yang beberapa saat lalu
meninggalkan rumahnya. Hari ini dia sangat senang. Orang tuanya ingin
berkunjung ke rumah Della dan keluarga Della menyambut kabar itu dengan
gembira. Ya, tidak cukup bisa dibilang gembira karena ekspresi keluarga Della
tidak menampakkan antusiasme, tapi senyum senang yang ikhlas.
Besok.
Syna hanya sebentar ke tempat penelitian lalu pulang ke rumah Della. Menunggu
di ruang tamu bersama Della yang sedang membaca buku. Satu jam mereka menunggu
membuat Syna gelisah. Namun masih bisa ia pendam. Dan tidak lagi ketika sudah
dua jam mereka menunggu.
“Della,
boleh kupinjam handphonemu? Punyaku
ketinggalan di kamar,” tanya Syna sambil mengatungkan telapak tangannya.
“Aku
tidak punya handphone,” jawab Della,
tak berbindah pandangan dari bukunya.
“Kenapa
begitu?” tanya Syna keheranan.
“Agar
bisa menggunakan layanan pemerintah. Lagipula aku tidak tahu siapa yang ingin
kutelepon,” jawab Della lugu.
“Bisa
orang tuamu, teman-temanmu...”
“Kami
sering bertemu. Jadi tak terlalu membutuhkannya. Tapi kami punya telepon
rumah,” sahut Della sambil tersenyum dan menunjuk sebuah telepon kuno.
Syna
pindah duduk di kursi dekat telepon sambil senyum sendiri, baru ingat nomor
telepon Della yang dia punya memang hanya nomor telepon rumah. Satu senti
sebelum Syna menyentuh gagang telepon itu, telepon berdering. Menoleh pada
Della dan berkata; “Della...”
“Angkat
saja,” jawab Della yang masih asik dengan bukunya.
Sedikit
kesal akhirnya Syna mengangkat telepon. “Hallo,” ucapnya.
“Halo,
Non Syna ada?”
Sedikit
tercengang mendapat telepon dari pembantunya yang terdengar sangat gelisah;
“Iya, ini saya. Ada apa, Mbok?”
“Bapak
sama ibu, Non! Mereka kecelakaan, Non!” jawab pembantu Syna. Sementara Syna
langsung duduk lemas, gagang telepon pun terjatuh bergelantungan. Seluruh
tubuhnya mati rasa. Jantungnya berdegup kencang. Sementara itu suara pembantu
Syna terdengar memanggil-manggil nama Syna di telepon.
“Halo,
Syna sedang tidak bisa menjawab telepon. Ada yang bisa saya sampaikan?” tanpa
disadari Della sudah duduk di dekat telepon dan mengambil alih telepon.
Bukunya tertutup di pangkuannya. Dibukanya
buku itu di halaman pertama lalu mengambil pulpen di sakunya. Menuliskan sebuah
alamat rumah sakit dekat rumahnya.
“Apa
menurutmu mereka baik-baik saja, Della?” tanya Syna yang sekarang dialah yang
pandangannya tak terfokus. Ketika itu mereka sedang naik mobil menuju rumah
sakit yang dimaksud.
“Mereka
sekarang baik-baik saja. Aku yakin,” jawab Della sambil memberi senyum ramah
pada Syna. Membuat Syna lebih tenang, karena itu dikatakan oleh orang yag
memiliki indra keenam!
Syna
langsung berlari pada perawat yang bertugas memberi informasi. Bertanya dan
langsung berjalan cepat menuju satu lorong. “Ruang Melati lorong tiga belas,”
gumamnya di sebelah Della yang menyusul dengan langkah panjang. Mereka menemukan
ruang Melati itu dan Syna langsung benjeblak terbuka pintu ruangan namun
langkahnya terhenti ketika melihat isi ruangan itu...
Bukan
ruangan sebagaimana ruang perawatan. Firasat buruk menyelimuti Syna. Dia
melihat dua tempat tidur berisi orang terselubung selimut secara keseluruhan.
Membuat jantungnya berdetak kencang lagi. “Kau yakin orang tuaku baik-baik saja
‘kan, Della?” tanya Syna pelan.
“Ya,”
jawabnya otomatis.
“Maaf,
apakah kalian keluarga Pak Anindira dan Bu Rahma?” tanya seorang perawat kepada
Syna dan Della.
“Saya
putrinya,” jawab Syna otomatis. “Di mana mereka?” lanjut Syna tergesa-gesa.
“Mereka
di sana,” jawab perawat itu sambil menunjuk kedua mayat terselubung selimut.
“Saya turut berduka cita,” tambahnya sambil membelai pundak Syna.
Nyaris
pingsan Syna mengetahui firasatnya benar. Gemetaran dia membukai kain yang
menutupi wajah kedua orang tuanya. Beginikah akhir hidupnya. Tinggal sendiri.
Tak ada kakak, tak ada adik, tak punya tempat untuk berbagi...lagi.
Syna
menatap marah wajah beku mereka. Bertanya dalam hati dengan siapa dia sekarang.
Kenapa mereka tega membiarkannya sendiri.
“Kau
bilang mereka baik-baik saja,” gumam Syna pada Della yang sudah berdiri di
belakangnya, pandangannya tak berpindah dari wajah-wajah damai itu.
“Mereka
memang baik-baik saja,” tutur Della. Syna menoleh mengernyitkan dahi. “Mereka
bahagia. Mereka puas melihatmu sukses seperti sekarang. Kau cerdas, baik,
berbakti, dan cantik. Mereka yakin masa depanmu akan cerah,” lanjut Della
sambil tersenyum pada Syna.
“Kau
tahu mereka akan ma... meninggal?” tuduh Syna. “Tapi kau tidak menyelamatkan
mereka?!!”
“Merekalah
yang tak ingin diselamatkan. Mereka tak khawatir untuk mati. Mereka bahagia
memilikimu, Syna,” kata Della sambil menatap kedua orang tua Syna.
Syna
mulai mengerti. Dan mulai sadar bahwa dia sekarang memang kehilangan kedua
orang tuanya, tapi dia juga mendapatkan teman spesial, seorang sahabat spesial.
Bundanya tahu itu. Dia tak akan membiarkannya sendiri. Dan Syna tahu dia tak
akan membuat ayah dan bundanya kecewa. Dia akan membuat kedua orang tuanya
selalu bangga padanya...
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.