Selasa, 20 Mei 2014

RA

RA
Mei 2010, ditulis oleh De' Ela

Semua anak kelas XI IPA 3 terkesiap. Memandang lurus ke depan. Mengiringi Bu Eni yang berjalan di depan kelas. Bukan beliau yang membuat berpasang-pasang mata tak mau berkedip. Melainkan seorang yang sangat asing. Seorang yang memesona. Seorang yang jadi aneh dibalut seragam pramuka cokelat tua dan cokelat muda, tak cocok. Yup! Anak baru.
Dia cukup tinggi dengan kulit bersih kuning langsat. Matanya hitam aspal dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan rapi. Dan lebih dari separuh siswa dalam kelas itu terpesona.


“Morning, Class!”  seru Bu Eni nyaring.
“Morning, Mum!”  seruan selanjutnya tak sekompak biasanya.
“How are you today?”
“I’m fine, and you?”
“I’m fine too, thank you.
“Sorry, Class. I’m late. I’ve got a traffic jam just know,” kata Bu Eni lancar.
“Mum,”  sahut Nera tak sabar.
“Yes, Dear?”
“Who is that cute guy?” ucapnya lantang, beberapa anak tertawa kecil. Semua mendengarkan, menunggu.
“He is? Oh, I don’t know. How if you introduce your self to your new class and your new friends, Boy?”  katanya pura-pura tak tahu, lalu berkata pada si anak baru.
Kelas makin hening. Senyap.
“Hi, I’m your new friend in this class. And you can call me Ra.”
“Ra? What is your fullname?”  sahut Nara sok kritis.
“No, I think enough to call me Ra. R-A,”  ejanya pada kalimat terakhir.
“ And, I think enough for the introducing your self, honey. Thank you. You may sit right there. In front of that big boy,”  sela Bu Eni lembut.
“Mum! Ra not yet to say where he is from,”  keluh Nera.
“You can ask any question to Ra after my class. It’s a long day, Nera. But it’s a fast time to do your test.”
Semua anak mengeluh. Dalam hati ada segudang pertanyaan untuk Ra si anak baru memesona. Sayangnya Bu Eni menambah beban lagi, ulangan dadakan!
Namun berita tentang Ra sudah didapat dari Ari teman sebangkunya.
“Mayra,”  bisik Nera pada gadis yang duduk di sebelahnya. “Ternyata Ra dari Mesir, lho!”  lanjutnya seraya membelalakkan mata. Berharap sahabatnya juga ikut tertarik.
“Terus?”  tuntut Mayra dengan suara yang lembut, sambil terus mengerjakan soal.
“Kamu nggak terpesona apa sama dia? Dia tuh ‘kan juga dari Mesir! Mesir!”
“Aku nggak peduli, Ra,”  gumam Mayra. Tak tahukan Nera makin memperburuk batinnya. “Aku benci Mesir!” desisnya.
Nera diam, terkejut bercampur simpatik.
“Apa kamu juga akan membenci orang-orang Mesir itu?”
“Nera, nggak mudah menyembuhkan sakit ini!”
“Sampai kapan, Ra?!”
Hening. “Aku nggak tahu, Ra.”
“Sudah dua bulan, Ra. Kamu nggak bisa begini terus.”
“Aku nggak tahu siapa yan harus aku salahkan. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi aku tahu aku nggak rela! Jadi jangan paksa aku dekat-dekat dengan yang berbau Mesir! Aku sakiiit!” desahnya seraya menepuk-nepuk dadanya.
Tak ada pembantahan lagi dari Nera. Maka Mayra kembali menghadap kertas ulangannya. Tak peduli mata yang berkilat merah namun juga menggenang air, membuat pandangannya kabur.
***
Mayra suka perpustakaan sekolahnya. Tenang. Dia bisa bersembunyi di antara dua rak tinggi. Membaca, merenung, bahkan menangis. Tak ada yang tahu dia suka bersembunyi di sana. Suatu bilik rahasia paling strategis dalam perpustakaan.
Sialnya entah kenapa Ra tertarik untuk ke bagian buku-buku filosofi tua. Di pojok di mana Mayra suka menyendiri, setelah kepergian yang menyakitkan...
“Kamu ngapain di sini!” sergah Mayra terusik.
“Cari buku,” katanya sambil senyum. Menarik sebuah buku tebal dari raknya. Duduk di depan Mayra dan mulai mencari-cari.
Mayra tak peduli. Tak acuh dan kembali membaca koran. Tapi perhatiannya terusik lagi ketika Ra mulai mencatat. Terpaku Mayra pada apa yang Ra tulis. “Tulisan Arab?” gumamnya tak percaya.
Ka mengangguk dan tersenyum, lalu kembali mencatat.
“Sudah berapa tahun kamu tinggak di Indonesia?” selidik Mayra.
“Baru saja.”
“Tapi Bahasa Indonesiamu fasih sekali,” tuntut Mayra. Ra hanya balik memandang sesaat dan tersenyum. Mayra kesal. Bertekad jika Ra ke tempat rahasia-umunya lagi, dia akan pindah!
Pemikiran Mayra berganti hari esoknya. Kenapa dia yang harus pindah? Kan dia duluan yang ada di sana.
“Maaf, Ra. Tapi aku merasa terganggu dengan kamu di sini,” ucap Mayra tegas.
Ka hanya tersenyum simpul. Lalu membaca lagi. Ini sungguh membuat Mayra makin merah.
“Oi! Aku tuh lagi bicara sama kamu! Denger nggak, sih!” bentaknya dengan suara ditekan agar tetap pelan.
Ka hanya tersenyum lagi.
“Kamu tuh nggak usah sok keren, deh!” bentak Mayra lagi penuh benci.
“Aku tidak berusaha untuk sok keren. Apa yang buat kamu berpikir begitu?”
Orang ini! Sok lugu sekali! geram Mayra.
“Kamu! Nama aja nggak mau kasih tahu! Ra! Itu doang!
“Diajak ngomong malah cuma senyam senyum! Sombong kamu!” nada suara Mayra makin tak terkontrol.
“Aku tidak tahu ingin berkata apa,” suaranya tetap lembut. Masih terus tersenyum, “Untuk nama panggilan, Ra. Kamu pasti tahu,” kata Ra lalu pergi.
Pertemuan ketiga Mayra memutuskan untuk dia saja yang mengalah. Otomatis dia sangat terkejut ketika Ra menahan dengan menggenggam pergelangan tangannya. “Jangan pergi. Aku ingin bicara sebentar denganmu,” katanya.
Mayra lebih terkejut ketika merasakan tangan Ra dingin bagai es. Maka ia duduk. Raut wajah Ra begitu serius. Namun sudah beberapa menit diam dan mereka hanya saling tatap.
“Kayaknya aku pernah lihat kamu deh. Tapi nggak ingat kapan. Yang pasti udah lama,” kata Mayra akhirnya.
Ra tersenyum, “Deja vu.”
“Apa?”
“Deja vu. Kamu mungkin memang pernah melihatku sekilas. Tapi alam bawah sadarmu yang menyimpan ingatan itu. Dan sekarang ingatan itu bocor,” kata Ra menjelaskan.
Mayra mengerang dalam hati. Semakin kesal dengan tingkah sok misterius Ra.
“Sebenernya kamu mau ngomong apa, sih?” selanya sebelum Ra mulai lagi.
Ka menghela napas berat. Memandang Mayra dengan mata hitam malamnya. Baru Mayra sadari mata itu begitu indah. Tajam dan penuh dengan karisma. Sebenarnya siapa dia?!
“Aku tahu kamu sangat kehilangan orang tuamu.”
Mayra mengangguk, pasti dari Nera. Tapi semoga Ra tidak tahu dia membencinya karena itu. Itu tidak benar!
“Orang tuamu meninggal di Mesir.”
“Mereka tertimpa reruntuhan batu,” sahut Mayra yang tersulut.
“Ya, dan aku turut menyesal...
“Hal yang paling membuatmu sedih adalah kalung peninggalan orang tuamu juga tidak ditemukan.”
Mayra heran mendengar pernyataan terakhir Ra. Manatapnya tajam menuduh, “Kamu tahu terlalu jauh. Aku bahkan belum cerita hal itu ke Nera.”
Ra mengulurkan tangan kanannya yang dari tadi sembunyi. Membuka genggamannya, memperlihatkan kalung perak dengan bandul liontin bulat yang menggembung. Mayra langsung menyambarnya. Memeriksa benarkah itu miliknya yang hilang. Terukir kecil huruf M di salah satu sisi.
“Kau dapat dari ma-“ kalimatnya terhenti ketika menyadari Ra sudah tak ada.
Mayra mencari-cari. Terheran-heran ketika hanya menemukan segenggam pasir kuning di kursi yang tadi Ra duduki.
Mayra mengamati lagi liontin peraknya. Membukanya dan menemukan foto dirinya dengan orang tuanya masih utuh. Tersenyum bahagia. Cincin pasangannya pun masih di situ. Cincin bertahta dua segitiga dengan mata berlian, terukir dalam lingkarannya namanya. Hanya saja gulungan kecil di dalam liontin asing untuknya.

Ku harap setelah ini kau akan selalu tersenyum. Seperti ketika kau mengunjungiku di Mesir. Karena aku suka.

Ra                  
(Firaun setelah meninggal)

Glek!
Firasat Mayra tak enak. Campur aduk. Ah, Ra. Sebutan untuk Firaun, Raja Mesir, yang telah meninggal, yang arwahnya masih tinggal untuk memimpin rakyatnya di alam yang lain. Dia pernah dengar itu waktu tur ke Piramida Khufu.
Bel masuk menggema. Dengan perasaan campur aduk Mayra mengenakan cincin ke jari tengahnya, menyelipkan pesan Ra ke dalam linontin dan mengalungkannya. Berjalan linglung.
Dilihatnya bangku Ra kosong.
“Nera. Ra mana?” tanya Mayra perlahan.
Nera mengangkat alis. “Aku kira kamu nggak suka dia?”
“Ra mana?!”
“Ra udah pulang,” kata Nera lesu.
“Kenapa?”
“Dia ternyata bukan murid pindahan. Tapi dia ikut pertukaran pelajar,” jawabnya. “Hari ini juga dia langsung pulang ke Mesir.”
Mayra tampak gelisah. Dia berlari ke luar. Inginnya ke perpustakaan. Tapi dia baru sampai depan pintu ketika angin menerbangkan pasir-pasir kuning bersama debu. Menghalaunya. Menyadarkannya. Mengucapkan salam perpisahan.
Sejenak Mayra masih tertegun. Lalu senyum yang sudah dua bulan lenyap itu perlahan muncul. Yang pertama ini, seolah sebagai ucapan terima kasih untuk Ra.

~selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.