RA
Mei 2010, ditulis oleh De' Ela
Semua anak
kelas XI IPA 3 terkesiap. Memandang lurus ke depan. Mengiringi Bu Eni yang berjalan
di depan kelas. Bukan beliau yang membuat berpasang-pasang mata tak mau
berkedip. Melainkan seorang yang sangat asing. Seorang yang memesona. Seorang
yang jadi aneh dibalut seragam pramuka cokelat tua dan cokelat muda, tak cocok.
Yup! Anak baru.
Dia cukup
tinggi dengan kulit bersih kuning langsat. Matanya hitam aspal dengan rambut
hitam yang dipotong pendek dan rapi. Dan lebih dari separuh siswa dalam kelas
itu terpesona.
“Morning,
Class!” seru Bu Eni nyaring.
“Morning,
Mum!” seruan selanjutnya tak sekompak
biasanya.
“How are you
today?”
“I’m fine, and
you?”
“I’m fine too,
thank you.
“Sorry, Class.
I’m late. I’ve got a traffic jam just know,” kata Bu Eni lancar.
“Mum,” sahut Nera tak sabar.
“Yes, Dear?”
“Who is that
cute guy?” ucapnya lantang, beberapa anak tertawa kecil. Semua mendengarkan,
menunggu.
“He is? Oh, I
don’t know. How if you introduce your self to your new class and your new
friends, Boy?” katanya pura-pura tak
tahu, lalu berkata pada si anak baru.
Kelas makin
hening. Senyap.
“Hi, I’m your
new friend in this class. And you can call me Ra.”
“Ra? What is
your fullname?” sahut Nara sok kritis.
“No, I think
enough to call me Ra. R-A,” ejanya pada
kalimat terakhir.
“ And, I think
enough for the introducing your self, honey. Thank you. You may sit right
there. In front of that big boy,” sela
Bu Eni lembut.
“Mum! Ra not
yet to say where he is from,” keluh Nera.
“You can ask
any question to Ra after my class. It’s a long day, Nera. But it’s a fast time
to do your test.”
Semua anak
mengeluh. Dalam hati ada segudang pertanyaan untuk Ra si anak baru memesona.
Sayangnya Bu Eni menambah beban lagi, ulangan dadakan!
Namun berita
tentang Ra sudah didapat dari Ari teman sebangkunya.
“Mayra,” bisik Nera pada gadis yang duduk di sebelahnya.
“Ternyata Ra dari Mesir, lho!” lanjutnya
seraya membelalakkan mata. Berharap sahabatnya juga ikut tertarik.
“Terus?” tuntut Mayra dengan suara yang lembut, sambil
terus mengerjakan soal.
“Kamu nggak
terpesona apa sama dia? Dia tuh ‘kan juga dari Mesir! Mesir!”
“Aku nggak
peduli, Ra,” gumam Mayra. Tak tahukan
Nera makin memperburuk batinnya. “Aku benci Mesir!” desisnya.
Nera diam,
terkejut bercampur simpatik.
“Apa kamu juga
akan membenci orang-orang Mesir itu?”
“Nera, nggak
mudah menyembuhkan sakit ini!”
“Sampai kapan,
Ra?!”
Hening. “Aku
nggak tahu, Ra.”
“Sudah dua
bulan, Ra. Kamu nggak bisa begini terus.”
“Aku nggak tahu
siapa yan harus aku salahkan. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi aku tahu aku
nggak rela! Jadi jangan paksa aku dekat-dekat dengan yang berbau Mesir! Aku
sakiiit!” desahnya seraya menepuk-nepuk dadanya.
Tak ada
pembantahan lagi dari Nera. Maka Mayra kembali menghadap kertas ulangannya. Tak
peduli mata yang berkilat merah namun juga menggenang air, membuat pandangannya
kabur.
***
Mayra suka
perpustakaan sekolahnya. Tenang. Dia bisa bersembunyi di antara dua rak tinggi.
Membaca, merenung, bahkan menangis. Tak ada yang tahu dia suka bersembunyi di sana.
Suatu bilik rahasia paling strategis dalam perpustakaan.
Sialnya entah
kenapa Ra tertarik untuk ke bagian buku-buku filosofi tua. Di pojok di mana
Mayra suka menyendiri, setelah kepergian yang menyakitkan...
“Kamu ngapain
di sini!” sergah Mayra terusik.
“Cari buku,”
katanya sambil senyum. Menarik sebuah buku tebal dari raknya. Duduk di depan
Mayra dan mulai mencari-cari.
Mayra tak
peduli. Tak acuh dan kembali membaca koran. Tapi perhatiannya terusik lagi
ketika Ra mulai mencatat. Terpaku Mayra pada apa yang Ra tulis. “Tulisan Arab?”
gumamnya tak percaya.
Ka mengangguk
dan tersenyum, lalu kembali mencatat.
“Sudah berapa
tahun kamu tinggak di Indonesia?” selidik Mayra.
“Baru saja.”
“Tapi Bahasa
Indonesiamu fasih sekali,” tuntut Mayra. Ra hanya balik memandang sesaat dan
tersenyum. Mayra kesal. Bertekad jika Ra ke tempat rahasia-umunya lagi, dia
akan pindah!
Pemikiran Mayra
berganti hari esoknya. Kenapa dia yang harus pindah? Kan dia duluan yang ada di
sana.
“Maaf, Ra. Tapi
aku merasa terganggu dengan kamu di sini,” ucap Mayra tegas.
Ka hanya
tersenyum simpul. Lalu membaca lagi. Ini sungguh membuat Mayra makin merah.
“Oi! Aku tuh
lagi bicara sama kamu! Denger nggak, sih!” bentaknya dengan suara ditekan agar
tetap pelan.
Ka hanya
tersenyum lagi.
“Kamu tuh nggak
usah sok keren, deh!” bentak Mayra lagi penuh benci.
“Aku tidak
berusaha untuk sok keren. Apa yang buat kamu berpikir begitu?”
Orang ini! Sok
lugu sekali! geram Mayra.
“Kamu! Nama aja
nggak mau kasih tahu! Ra! Itu doang!
“Diajak ngomong
malah cuma senyam senyum! Sombong kamu!” nada suara Mayra makin tak terkontrol.
“Aku tidak tahu
ingin berkata apa,” suaranya tetap lembut. Masih terus tersenyum, “Untuk nama
panggilan, Ra. Kamu pasti tahu,” kata Ra lalu pergi.
Pertemuan
ketiga Mayra memutuskan untuk dia saja yang mengalah. Otomatis dia sangat
terkejut ketika Ra menahan dengan menggenggam pergelangan tangannya. “Jangan pergi.
Aku ingin bicara sebentar denganmu,” katanya.
Mayra lebih
terkejut ketika merasakan tangan Ra dingin bagai es. Maka ia duduk. Raut wajah
Ra begitu serius. Namun sudah beberapa menit diam dan mereka hanya saling
tatap.
“Kayaknya aku
pernah lihat kamu deh. Tapi nggak ingat kapan. Yang pasti udah lama,” kata
Mayra akhirnya.
Ra tersenyum,
“Deja vu.”
“Apa?”
“Deja vu. Kamu
mungkin memang pernah melihatku sekilas. Tapi alam bawah sadarmu yang menyimpan
ingatan itu. Dan sekarang ingatan itu bocor,” kata Ra menjelaskan.
Mayra mengerang
dalam hati. Semakin kesal dengan tingkah sok misterius Ra.
“Sebenernya
kamu mau ngomong apa, sih?” selanya sebelum Ra mulai lagi.
Ka menghela
napas berat. Memandang Mayra dengan mata hitam malamnya. Baru Mayra sadari mata
itu begitu indah. Tajam dan penuh dengan karisma. Sebenarnya siapa dia?!
“Aku tahu kamu
sangat kehilangan orang tuamu.”
Mayra
mengangguk, pasti dari Nera. Tapi semoga Ra tidak tahu dia membencinya karena
itu. Itu tidak benar!
“Orang tuamu
meninggal di Mesir.”
“Mereka
tertimpa reruntuhan batu,” sahut Mayra yang tersulut.
“Ya, dan aku
turut menyesal...
“Hal yang
paling membuatmu sedih adalah kalung peninggalan orang tuamu juga tidak
ditemukan.”
Mayra heran
mendengar pernyataan terakhir Ra. Manatapnya tajam menuduh, “Kamu tahu terlalu
jauh. Aku bahkan belum cerita hal itu ke Nera.”
Ra mengulurkan
tangan kanannya yang dari tadi sembunyi. Membuka genggamannya, memperlihatkan
kalung perak dengan bandul liontin bulat yang menggembung. Mayra langsung
menyambarnya. Memeriksa benarkah itu miliknya yang hilang. Terukir kecil huruf
M di salah satu sisi.
“Kau dapat dari
ma-“ kalimatnya terhenti ketika menyadari Ra sudah tak ada.
Mayra
mencari-cari. Terheran-heran ketika hanya menemukan segenggam pasir kuning di
kursi yang tadi Ra duduki.
Mayra mengamati
lagi liontin peraknya. Membukanya dan menemukan foto dirinya dengan orang
tuanya masih utuh. Tersenyum bahagia. Cincin pasangannya pun masih di situ.
Cincin bertahta dua segitiga dengan mata berlian, terukir dalam lingkarannya
namanya. Hanya saja gulungan kecil di dalam liontin asing untuknya.
Ku harap
setelah ini kau akan selalu tersenyum. Seperti ketika kau mengunjungiku di
Mesir. Karena aku suka.
Ra
(Firaun setelah
meninggal)
Glek!
Firasat Mayra
tak enak. Campur aduk. Ah, Ra. Sebutan untuk Firaun, Raja Mesir, yang telah meninggal, yang
arwahnya masih tinggal untuk memimpin rakyatnya di alam yang lain. Dia pernah
dengar itu waktu tur ke Piramida Khufu.
Bel masuk
menggema. Dengan perasaan campur aduk Mayra mengenakan cincin ke jari
tengahnya, menyelipkan pesan Ra ke dalam linontin dan mengalungkannya. Berjalan
linglung.
Dilihatnya
bangku Ra kosong.
“Nera. Ra mana?”
tanya Mayra perlahan.
Nera mengangkat
alis. “Aku kira kamu nggak suka dia?”
“Ra mana?!”
“Ra udah
pulang,” kata Nera lesu.
“Kenapa?”
“Dia ternyata
bukan murid pindahan. Tapi dia ikut pertukaran pelajar,” jawabnya. “Hari ini
juga dia langsung pulang ke Mesir.”
Mayra tampak
gelisah. Dia berlari ke luar. Inginnya ke perpustakaan. Tapi dia baru sampai
depan pintu ketika angin menerbangkan pasir-pasir kuning bersama debu.
Menghalaunya. Menyadarkannya. Mengucapkan salam perpisahan.
Sejenak Mayra
masih tertegun. Lalu senyum yang sudah dua bulan lenyap itu perlahan muncul.
Yang pertama ini, seolah sebagai ucapan terima kasih untuk Ra.
~selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.