Selasa, 20 Mei 2014

Jangan Panggil Aisyah

Jangan Panggil Aisyah

5 Februari 2012, ditulis oleh De' Ela

Ai deg-degan. Ini pertama kalinya dia kelompokan dengan Sadam. Sadam anak IX A, sementara Ai anak IX F. Kebetulan guru biologi kedua kelas itu sama, dan beliau ingin variasi pembagian kelompok untuk tugas penelitian ilmiah. Variasi ini bukan sekedar bukan dengan teman sebangku, bukan hanya beda kelamin, tapi juga beda kelas. Masalahnya Ai tidak kenal siapa Sadam.
“Ai enak, ih, sama Sadam. Dia, kan, cakep banget..!!” seru Tania dengan masih berharap supaya dia saja sekarang yang ada di posisi Ai. Ketika itu Pak Dheni baru selesai membacakan pembagian kelompok di kelas IX F.


“Masak, sih?” Ai terkejut tapi masih tidak percaya.
“Iya. Lihat saja sendiri.”
Berdasarkan informasi yang Ai dapat dia jadi tahu bahwa Sadam bukan hanya cakep, tapi juga pintar. Ini membuatnya minder. Bagaimana jika dia tidak bisa mengimbangi Sadam baik dalam otak maupun dalam kinerja. Dengan gugup Ai merapikan kerudungnya.
“Halo. Aku Sadam. Kamu Aisyah, kan?” Ai agak berjengit kesal, bukan karena Sadam menyodorkan tangannya untuk dijabat, bukan pula karena harus dia duluan yang mendatangi kelas partnernya untuk berdiskusi.
Ai menyatukan kedua tanganya di depan dada, sebagai balas menjabat. Sadam mengangguk paham dan menarik tangannya lagi. Ekspresinya nyaris datar tak terganggu. Sepertinya benar kata Tania. Dia cakep meski tidak tersenyum. Matanya sangat tajam dan indah!
“Benar, aku Aisyah. Tapi tolong panggil Ai saja, ya,” pintanya agak memerintah. Kali ini Sadam mengangkat kedua alisnya, membuatnya amat berkharisma, kemudian mengangguk setuju.
Selanjutnya, diskusi mereka mulai sambil duduk-duduk di teras kelas IX A. Sepanjang waktu istirahat yang singkat itu mereka berhasil memutuskan penelitian tentang osmosis pada buah apel, pir, dan jambu air. Mereka akan mengamati apakah osmosis yang terjadi sama atau berbeda, kemudian akan mereka jelaskan bagaimana bisa demikian.
“Ntar pulang sekolah kita diskusi lagi, ya. Aku tunggu di warung mie ayam Pak Mu’in. Bisa, kan?” ujar Sadam ketika bel masuk akhirnya berbunyi.
Ai mengangguk menyanggupi. “Insya Allah,” katanya di akhir.
“Gimana? Cakep, kan! Dia orangnya seperti apa?” sambut Tania yang sudah sedari tadi menunggu Ai di kelas. Teman-teman perempuan yang lain yang melihatnya pun ikut berkerubung ingin dapat kabar dari pangeran sekolah itu.
Ai tersenyum misterius sambil terus berjalan mendekati bangkunya.
“Ai!!” rutuk Tania kesal. Dia tahu  kebiasaan temannya yang satu ini adalah suka membuat orang penasaran.
“Ai, ayo dong cerita.”
“Iya, Ai. Please!”
Yang lain ikut memohon.
Ai tersenyum tersipu. Rasanya dia jadi orang penting saja dikerubutin seperti ini. Diambilnya botol air minum dari tasnya dan diteguknya beberapa kali, baru dia berbicara: “Kalian tanya apa insya Allah aku bisa jawab. Aku bingung kalau harus cerita,” jawab Ai akhirnya.
Sebelum yang lain selesai menyusun pertanyaan Tania sudah menyambar; “Tadi pas ketemu gimana?” Mimiknya begitu serius akan menyimak sampai Ai tak berani mengusilinya. Maka dia ceritakan bagaimana santainya Sadam dan sopan santunnya. Apa yang dia bicarakan bukanlah omong kosong, langsung pada pokok permasalahan. Jelas dia adalah orang yang serius dan cukup penurut, dan dia menghargai pendapat orang lain bukan dengan kata-kata pemanis, tapi dengan sikapnya yang begitu tenang dan tidak merendahkan. Ai mengakui, dia memang punya mata yang luar biasa.
Tapi pasti tidak seluar biasa Rasulullah, batinnya.
“Nanti sepulang sekolah kami mau diskusi lagi di warung Pak Mu’in, insya Allah,” kata Ai mengakhiri jawaban-jawaban yang telah dia berikan. Teman-temannya menegakkan punggungnya lagi. Satu per satu mulai mengeluh:
“Hebat ya, kalian, bisa langsung cekatan. Kelompokku malah belum apa-apa. Rudy sibuk main basket daripada ngurusin nih tugas,” cerita Annisa sedih.
“Aku kelompokan sama Bimo.” Tania memberitahu.
“Bagus, dong. Dia kan pinter biologi,” sahut Umi yang sekarang duduk di sebelahnya.
“Tapi aku enggak mudeng apa yang dia omongin!” Tania memelotot kesal, “Ditambah lagi dia keliahatannya individualis. Aku ngomong kayak apa pun enggak bakal digubris.”
“Kalian ini kok malah ngegosip sih,” celetuk Ai, sok bijak. “Sudah. Mungkin ini tergantung amal dan ibadah masing-masing,” lanjutnya menggurui. Kemudian tertawa. Teman-temannya pun melengos kesal. Mereka tahu Ai hanya bercanda, tapi tetap saja mengesalkan.
“Eh, Ai. Ini kan hari Senin, kamu enggak puasa?” tanya Tania yang baru menyadarinya.
Ai berhenti tertawa, tampak terkejut, menepuk dahinya dan berseru; “Astaghfirullah hal adzim!”
***
Siang itu masih cukup terik padahal sudah jam dua. Ai berjalan gugup menyusuri samudera manusia yang hilir mudik mencari kursi kosong, mengantar makanan, pesan makanan, dan meninggalkan lokasi teramai pertama di sekolahnya itu.
Ai ada di tepi wilayah Pak Mu’in berjualan mie ayam. Matanya menyapu pandang mencari sesosok Sadam. Seharusnya dia tidak susah untuk ditemukan di sini. Dia tinggi dan punya bahasa tubuh yang berwibawa, seharusnya tetap moncolok di kerumunan manusia berseragam sama ini yakni putih-biru tua.
“Aisyah!”
Kata itu seperti guntur yang menggelegar dalam dunia Ai. Membuat buku tangannya tegang menahan kesal.
Dengan mudah dia menemukan sumber suara itu. Dengan ekspresi yang amat tidak senang Ai mendekati meja Sadam di ujung lain warung Pak Mu’in.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ai masih dingin.
“Wa’alaikumusalam warah matullahi wa barrakaatu. Duduk, Aisyah.” Sadam menunjuk kursi kosong di hadapannya.
Ai duduk.
“Kan aku sudah bilang panggil Ai saja. Jangan Aisyah.”
“Memangnya kenapa? Aisyah, kan juga bagus. Dia juga nama salah satu isteri Nabi Muhammad, kan?”
Salah satu isteri Nabi Muhammad.
“Perlu tahu, ya, kenapa?” sahut Ai masih kesal.
Sabar, Ai. Kamu ini lagi puasa, bisik hatinya segera.
“Kita jadi bahas karya ilmiah kita, kan?” tambahnya mengganti topik.
Sadam nampaknya langsung paham, sepertinya nama Aisyah adalah sesuatu yang sensitif untuk Aisyah. Dia tidak bertanya lagi tentang hal itu dan langsung fokus pada tugas. Maka diskusi pun berjalan tidak terlalu lama. Mereka sudah mencatat apa yang kira-kira perlu mereka siapkan untuk bahan praktik. Sudah merancang susunan langkah kerja juga.
“Kita uji cobanya di rumahku aja, ya.”
Ai terdiam lama.
“Kalau di sekolah saja tidak bisa, ya?” ujarnya penuh harap.
***
Sabtu ini Ai sudah membawa buah-buah yang mereka perlukan. Peralatan yang lainnya disediakan di rumah Sadam. Dia sekarang sudah berdiri di depan gerbang tembaga bercat cokelat.
Jantung Ai deg-degan makin tidak karuan. Ini pertama kalinya dia bertandang ke rumah teman laki-lakinya.
“Ayo masuk,” ajak Sadam setelah Ai memencet bel dan mengucapkan salam beberapa saat yang lalu.
Ai gugup. Ternyata dia langsung diajak ke taman belakang. Ai terpesona. Sangat indah.
Ada banyak jenis bunga bermekaran di mana-mana. Di pot di ujung kanan, di tanah gembur di pinggir tembok pagar, di gantung di beranda belakang rumah. Bunga mawar yang ada hanyalah mawar merah dan putih, bunga anggrek ditempel pada pohon mangga di sisi kiri taman, bunga sepatu, bunga soka, bunga terompet, bunga jam empat sore. Ah, sepertinya Ai akan betah di sini, jika dia lupa rumah siapa ini.
Lalu ada meja besar dengan bangku panjang yang biasa digunakan untuk bersantai atau menyerap matahari pagi. Bisa juga untuk makan pagi menyegarkan atau makan malam harmonis.
“Mamaku suka bunga,” Sadam memberitahu.
Ai mengangguk setuju.
“Kamu mau minum apa?”
“Emm, apa saja boleh,” ujar Ai, berbalik menghadap Sadam di belakangnya.
“Alkohol mau?”
Otomatis Ai terkejut. “Kamu minum begituan?” serunya tak percaya. Ngeri. Apa yang dia pikirkan tentang Sadam sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Tapi, ini pasti tidak mungkin. Tidak mungkin Sadam nakal. Dia tidak terlihat senakal itu!
Sadam tertawa. “Mana mungkin. Habis kamu aku tanya malah jawabnya ndak jelas. Kan bisa dijerumuskan ke hal-hal yang tidak baik.”
Ai manyun. Tapi Sadam ada benarnya juga. “Apa saja boleh tapi halal,” Ai membenarkan. Sadam mengangguk dan berbalik memasuki rumah.
“Keluargamu mana?” tanya Ai. Ketika itu mereka sudah duduk empat puluh lima menit di bangku taman. Sudah menggelar bahan dan alat penelitian mereka. Sudah membuat lubang sedalam separuh diameter lebih pada buah-buah mereka. Sudah memasukkannya ke masing-masing tabung yang berisi air sirup. Mereka menggunakan air sirup supaya lebih mudah terlihat hasil osmosisnya. Kemudian sekarang mereka menunggu lima belas menit. Lima belas menit tersebut mereka gunakan untuk bersantai sementara para buah berosmosis.
“Mereka ada acara keluarga di Bandung.”
“Jadi kamu sendirian di sini?” tanya Ai, gugup.
Sadam mengangguk. “Iya.”
Ai menelan ludah. Mungkin seharusnya dia mengajak Tania, tapi kan ini tugas kelompok mereka berdua. Tidak enak membuat Tania jadi seperti hiasan taman. Tetapi tidak enak juga jika hanya ada mereka berdua di sana. Bagi Ai itu bukan ide yang baik.
Tidak. Hal ini tidak seburuk yang ada dalam bayangannya. Sadam adalah orang yang baik. Tidak mungkin berbuat nakal. Selama ini dia pun sopan padanya. Ai percaya, situasi akan baik-baik saja. Lagipula, Sadam mengajaknya langsung ke taman belakang, tempat terbuka. Ai yakin Sadam paham bahwa Ai tidak menganggap sederhana dalam berteman apalagi antara lain jenis.
“Kenapa kamu nggak mau dipanggil Aisyah?” celetuk Sadam.
“Eh? Em.. apa?”
“Kenapa kamu nggak mau dipanggil Aisyah? Nama itu juga bagus?” ulang Sadam.
Ai berpikir-pikir. Haruskah dia cerita. Sekalipun dia sangat cinta agamanya ada satu hal yang dia tidak setuju.
“Kamu kan muslimah, berkerudung, dan baik. Kurasa nama Aisyah lebih mencerminkan jati diri kamu. Kalau Ai kesannya malah seperti Jepang,” komentarnya santai. Matanya begitu polos dan tajam. Seolah memandang mata itu satu detik sudah terasa sangat lama.
Mencerminkan jati diri, batin Ai.
“Karena Aisyah adalah salah satu dari isteri Nabi Muhammad,” jawabnya sambil merunduk memandang jeruk hangatnya. Alasannya ini mungkin terdengar aneh. Tapi itulah yang sebenarnya.
Sadam mengangkat kedua alisnya. Tidak paham apa yang salah. “Bukankah itu bagus. Artinya dia termasuk dalam perempuan yang beruntung. Bisa dekat dengan Nabi Muhammad. Ada banyak perempuan di jaman Rasul yang jatuh cinta jika melihat senyum Rasul. Tapi mereka hanya bisa mengagumi, tidak bisa mendapatkannya. Kamu pasti tahu kisah itu, kan?”
Ai mengangguk. “Karena aku tidak ingin menjadi seperti Aisyah,” Ai memberitahu, sekarang dia berani menatap Sadam. Masalah ini selalu membuat hatinya tersulut.
“Aku tidak ingin dijadikan isteri yang kesekian betapapun hebatnya seorang suami. Aku juga tidak mau dipoligami, semulia apapun wanita yang mau dipoligami itu di hadapan Allah.”
Sadam tersenyum samar. Ai tahu, pasti dia pikir dia gila. Dia masih kelas sembilan SMP, tapi pikirannya sudah jauh ke sana.
“Memangnya nama Ai di masa lalu tidak pernah dipoligami?” balas Sadam.
Ai bingung, tak paham. “Kamu kan juga tidak tahu Ai di Jepang semuanya tidak ada yang dipoligami.”
Ai merenung. Benar juga, ya. Tapi kan keputusannya dulu sudah bulat. Dan dia kesal jika ada yang mengusik keputusan tersebut.
“Eh, sudah berapa menit ini?” Ai mengalihakan pembicaraan.
“Sudah dua belas menit. Tiga menit lagi,” sahut Sadam.
Ai lemas. Sudah dipojokkan Sadam, ketenangannya juga selalu membuat Ai gerogi. Tapi, syukurlah Ai bisa mengimbangi arah berpikir Sadam. Jadinya tugas mereka bisa cepat selesai.
Alhamdulillah, batin Ai lega. Lalu sewot lagi mengingat sikap terakhir Sadam yang menyebalkan.
Nama Ai kan juga bagus. cicit hatinya.
Ai sudah meramalkan bahwa pasti akan ada yang bertanya perihal namanya dan nama panggilannya, perihal kenapa dia tidak suka dipanggil Aisyah. Dan sebelumnya dia bisa memberikan alasan-alasan yang cukup kuat.
Tania pernah bilang bahwa nama itu doa dari orang tua. Ai setuju, tapi Ai juga tidak mau dipoligami. Dia percaya bahwa jodohnya hanya satu. Seperti jumlah tulang rusuk yang diambil Allah dari Adam untuk dijadikan Hawa.
Tapi, Ai belum menemukan jawaban untuk persepsi Sadam.
Ai menghela napas panjang. Dia akan mengendapkan gagasan tersebut, dan jika dia belum menemukan sanggahan yang tepat, mungkin ini memang adalah pencerahan yang dia tunggu untuk membenarkan keegoisannya tentang  doa dari orang tuanya.
Allah, maafkan aku karena tidak menghargai nama pemberian orang tuaku. Maaf, Ayah, Bunda.
~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.