Jangan Panggil Aisyah
5 Februari 2012, ditulis oleh De' Ela
Ai deg-degan.
Ini pertama kalinya dia kelompokan dengan Sadam. Sadam anak IX A, sementara Ai
anak IX F. Kebetulan guru biologi kedua kelas itu sama, dan beliau ingin
variasi pembagian kelompok untuk tugas penelitian ilmiah. Variasi ini bukan
sekedar bukan dengan teman sebangku, bukan hanya beda kelamin, tapi juga beda
kelas. Masalahnya Ai tidak kenal siapa Sadam.
“Ai enak, ih,
sama Sadam. Dia, kan, cakep banget..!!” seru Tania dengan masih berharap supaya
dia saja sekarang yang ada di posisi Ai. Ketika itu Pak Dheni baru selesai
membacakan pembagian kelompok di kelas IX F.
“Masak, sih?” Ai
terkejut tapi masih tidak percaya.
“Iya. Lihat saja
sendiri.”
Berdasarkan
informasi yang Ai dapat dia jadi tahu bahwa Sadam bukan hanya cakep, tapi juga
pintar. Ini membuatnya minder. Bagaimana jika dia tidak bisa mengimbangi Sadam
baik dalam otak maupun dalam kinerja. Dengan gugup Ai merapikan kerudungnya.
“Halo. Aku
Sadam. Kamu Aisyah, kan?” Ai agak berjengit kesal, bukan karena Sadam
menyodorkan tangannya untuk dijabat, bukan pula karena harus dia duluan yang
mendatangi kelas partnernya untuk berdiskusi.
Ai menyatukan
kedua tanganya di depan dada, sebagai balas menjabat. Sadam mengangguk paham
dan menarik tangannya lagi. Ekspresinya nyaris datar tak terganggu. Sepertinya benar
kata Tania. Dia cakep meski tidak tersenyum. Matanya sangat tajam dan indah!
“Benar, aku
Aisyah. Tapi tolong panggil Ai saja, ya,” pintanya agak memerintah. Kali ini
Sadam mengangkat kedua alisnya, membuatnya amat berkharisma, kemudian
mengangguk setuju.
Selanjutnya,
diskusi mereka mulai sambil duduk-duduk di teras kelas IX A. Sepanjang waktu
istirahat yang singkat itu mereka berhasil memutuskan penelitian tentang osmosis
pada buah apel, pir, dan jambu air. Mereka akan mengamati apakah osmosis yang
terjadi sama atau berbeda, kemudian akan mereka jelaskan bagaimana bisa
demikian.
“Ntar pulang
sekolah kita diskusi lagi, ya. Aku tunggu di warung mie ayam Pak Mu’in. Bisa,
kan?” ujar Sadam ketika bel masuk akhirnya berbunyi.
Ai mengangguk
menyanggupi. “Insya Allah,” katanya di akhir.
“Gimana? Cakep,
kan! Dia orangnya seperti apa?” sambut Tania yang sudah sedari tadi menunggu Ai
di kelas. Teman-teman perempuan yang lain yang melihatnya pun ikut berkerubung
ingin dapat kabar dari pangeran sekolah itu.
Ai tersenyum
misterius sambil terus berjalan mendekati bangkunya.
“Ai!!” rutuk
Tania kesal. Dia tahu kebiasaan temannya
yang satu ini adalah suka membuat orang penasaran.
“Ai, ayo dong
cerita.”
“Iya, Ai.
Please!”
Yang lain ikut
memohon.
Ai tersenyum
tersipu. Rasanya dia jadi orang penting saja dikerubutin seperti ini.
Diambilnya botol air minum dari tasnya dan diteguknya beberapa kali, baru dia
berbicara: “Kalian tanya apa insya Allah aku bisa jawab. Aku bingung kalau
harus cerita,” jawab Ai akhirnya.
Sebelum yang
lain selesai menyusun pertanyaan Tania sudah menyambar; “Tadi pas ketemu
gimana?” Mimiknya begitu serius akan menyimak sampai Ai tak berani
mengusilinya. Maka dia ceritakan bagaimana santainya Sadam dan sopan santunnya.
Apa yang dia bicarakan bukanlah omong kosong, langsung pada pokok permasalahan.
Jelas dia adalah orang yang serius dan cukup penurut, dan dia menghargai
pendapat orang lain bukan dengan kata-kata pemanis, tapi dengan sikapnya yang
begitu tenang dan tidak merendahkan. Ai mengakui, dia memang punya mata yang
luar biasa.
Tapi pasti tidak
seluar biasa Rasulullah, batinnya.
“Nanti sepulang
sekolah kami mau diskusi lagi di warung Pak Mu’in, insya Allah,” kata Ai
mengakhiri jawaban-jawaban yang telah dia berikan. Teman-temannya menegakkan
punggungnya lagi. Satu per satu mulai mengeluh:
“Hebat ya,
kalian, bisa langsung cekatan. Kelompokku malah belum apa-apa. Rudy sibuk main
basket daripada ngurusin nih tugas,” cerita Annisa sedih.
“Aku kelompokan
sama Bimo.” Tania memberitahu.
“Bagus, dong.
Dia kan pinter biologi,” sahut Umi yang sekarang duduk di sebelahnya.
“Tapi aku enggak
mudeng apa yang dia omongin!” Tania memelotot kesal, “Ditambah lagi dia
keliahatannya individualis. Aku ngomong kayak apa pun enggak bakal digubris.”
“Kalian ini kok
malah ngegosip sih,” celetuk Ai, sok bijak. “Sudah. Mungkin ini tergantung amal
dan ibadah masing-masing,” lanjutnya menggurui. Kemudian tertawa.
Teman-temannya pun melengos kesal. Mereka tahu Ai hanya bercanda, tapi tetap
saja mengesalkan.
“Eh, Ai. Ini kan
hari Senin, kamu enggak puasa?” tanya Tania yang baru menyadarinya.
Ai berhenti
tertawa, tampak terkejut, menepuk dahinya dan berseru; “Astaghfirullah hal
adzim!”
***
Siang itu masih
cukup terik padahal sudah jam dua. Ai berjalan gugup menyusuri samudera manusia
yang hilir mudik mencari kursi kosong, mengantar makanan, pesan makanan, dan
meninggalkan lokasi teramai pertama di sekolahnya itu.
Ai ada di tepi
wilayah Pak Mu’in berjualan mie ayam. Matanya menyapu pandang mencari sesosok
Sadam. Seharusnya dia tidak susah untuk ditemukan di sini. Dia tinggi dan punya
bahasa tubuh yang berwibawa, seharusnya tetap moncolok di kerumunan manusia
berseragam sama ini yakni putih-biru tua.
“Aisyah!”
Kata itu seperti
guntur yang menggelegar dalam dunia Ai. Membuat buku tangannya tegang menahan
kesal.
Dengan mudah dia
menemukan sumber suara itu. Dengan ekspresi yang amat tidak senang Ai mendekati
meja Sadam di ujung lain warung Pak Mu’in.
“Assalamu’alaikum,”
ucap Ai masih dingin.
“Wa’alaikumusalam
warah matullahi wa barrakaatu. Duduk, Aisyah.” Sadam menunjuk kursi kosong di
hadapannya.
Ai duduk.
“Kan aku sudah
bilang panggil Ai saja. Jangan Aisyah.”
“Memangnya
kenapa? Aisyah, kan juga bagus. Dia juga nama salah satu isteri Nabi Muhammad,
kan?”
Salah satu isteri
Nabi Muhammad.
“Perlu tahu, ya,
kenapa?” sahut Ai masih kesal.
Sabar, Ai. Kamu
ini lagi puasa, bisik hatinya segera.
“Kita jadi bahas
karya ilmiah kita, kan?” tambahnya mengganti topik.
Sadam nampaknya
langsung paham, sepertinya nama Aisyah adalah sesuatu yang sensitif untuk
Aisyah. Dia tidak bertanya lagi tentang hal itu dan langsung fokus pada tugas.
Maka diskusi pun berjalan tidak terlalu lama. Mereka sudah mencatat apa yang
kira-kira perlu mereka siapkan untuk bahan praktik. Sudah merancang susunan
langkah kerja juga.
“Kita uji
cobanya di rumahku aja, ya.”
Ai terdiam lama.
“Kalau di sekolah saja tidak bisa,
ya?” ujarnya penuh harap.
***
Sabtu ini Ai
sudah membawa buah-buah yang mereka perlukan. Peralatan yang lainnya disediakan
di rumah Sadam. Dia sekarang sudah berdiri di depan gerbang tembaga bercat
cokelat.
Jantung Ai
deg-degan makin tidak karuan. Ini pertama kalinya dia bertandang ke rumah teman
laki-lakinya.
“Ayo masuk,”
ajak Sadam setelah Ai memencet bel dan mengucapkan salam beberapa saat yang
lalu.
Ai gugup.
Ternyata dia langsung diajak ke taman belakang. Ai terpesona. Sangat indah.
Ada banyak jenis
bunga bermekaran di mana-mana. Di pot di ujung kanan, di tanah gembur di
pinggir tembok pagar, di gantung di beranda belakang rumah. Bunga mawar yang
ada hanyalah mawar merah dan putih, bunga anggrek ditempel pada pohon mangga di
sisi kiri taman, bunga sepatu, bunga soka, bunga terompet, bunga jam empat
sore. Ah, sepertinya Ai akan betah di sini, jika dia lupa rumah siapa ini.
Lalu ada meja besar
dengan bangku panjang yang biasa digunakan untuk bersantai atau menyerap
matahari pagi. Bisa juga untuk makan pagi menyegarkan atau makan malam harmonis.
“Mamaku suka
bunga,” Sadam memberitahu.
Ai mengangguk
setuju.
“Kamu mau minum
apa?”
“Emm, apa saja
boleh,” ujar Ai, berbalik menghadap Sadam di belakangnya.
“Alkohol mau?”
Otomatis Ai
terkejut. “Kamu minum begituan?” serunya tak percaya. Ngeri. Apa yang dia
pikirkan tentang Sadam sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Tapi,
ini pasti tidak mungkin. Tidak mungkin Sadam nakal. Dia tidak terlihat senakal
itu!
Sadam tertawa.
“Mana mungkin. Habis kamu aku tanya malah jawabnya ndak jelas. Kan bisa
dijerumuskan ke hal-hal yang tidak
baik.”
Ai manyun. Tapi
Sadam ada benarnya juga. “Apa saja boleh tapi halal,” Ai membenarkan. Sadam
mengangguk dan berbalik memasuki rumah.
“Keluargamu
mana?” tanya Ai. Ketika itu mereka sudah duduk empat puluh lima menit di bangku
taman. Sudah menggelar bahan dan alat penelitian mereka. Sudah membuat lubang
sedalam separuh diameter lebih pada buah-buah mereka. Sudah memasukkannya ke masing-masing
tabung yang berisi air sirup. Mereka menggunakan air sirup supaya lebih mudah
terlihat hasil osmosisnya. Kemudian sekarang mereka menunggu lima belas menit.
Lima belas menit tersebut mereka gunakan untuk bersantai sementara para buah
berosmosis.
“Mereka ada
acara keluarga di Bandung.”
“Jadi kamu
sendirian di sini?” tanya Ai, gugup.
Sadam
mengangguk. “Iya.”
Ai menelan
ludah. Mungkin seharusnya dia mengajak Tania, tapi kan ini tugas kelompok
mereka berdua. Tidak enak membuat Tania jadi seperti hiasan taman. Tetapi tidak enak juga jika hanya ada
mereka berdua di sana. Bagi Ai itu bukan ide yang baik.
Tidak. Hal ini
tidak seburuk yang ada dalam bayangannya. Sadam adalah orang yang baik. Tidak
mungkin berbuat nakal. Selama ini dia pun sopan padanya. Ai percaya, situasi
akan baik-baik saja. Lagipula,
Sadam mengajaknya langsung ke taman belakang, tempat terbuka. Ai yakin Sadam
paham bahwa Ai tidak menganggap sederhana dalam berteman apalagi antara lain jenis.
“Kenapa kamu
nggak mau dipanggil Aisyah?” celetuk Sadam.
“Eh? Em.. apa?”
“Kenapa kamu
nggak mau dipanggil Aisyah? Nama itu juga bagus?” ulang Sadam.
Ai
berpikir-pikir. Haruskah dia cerita. Sekalipun dia sangat cinta agamanya ada satu
hal yang dia tidak setuju.
“Kamu kan
muslimah, berkerudung, dan
baik. Kurasa nama Aisyah lebih mencerminkan jati diri kamu. Kalau Ai
kesannya malah seperti Jepang,” komentarnya santai. Matanya begitu polos dan
tajam. Seolah memandang mata itu satu detik sudah terasa sangat lama.
Mencerminkan
jati diri, batin Ai.
“Karena Aisyah
adalah salah satu dari isteri Nabi Muhammad,” jawabnya sambil merunduk
memandang jeruk hangatnya. Alasannya ini mungkin terdengar aneh. Tapi itulah
yang sebenarnya.
Sadam mengangkat
kedua alisnya. Tidak paham apa yang salah. “Bukankah itu bagus. Artinya dia
termasuk dalam perempuan yang beruntung. Bisa dekat dengan Nabi Muhammad. Ada banyak
perempuan di jaman Rasul yang jatuh cinta jika melihat senyum Rasul. Tapi mereka
hanya bisa mengagumi, tidak bisa mendapatkannya. Kamu pasti tahu kisah itu,
kan?”
Ai mengangguk.
“Karena aku tidak ingin menjadi seperti Aisyah,” Ai memberitahu, sekarang dia
berani menatap Sadam. Masalah ini selalu membuat hatinya tersulut.
“Aku tidak ingin
dijadikan isteri yang kesekian betapapun hebatnya seorang suami. Aku juga tidak
mau dipoligami, semulia apapun wanita yang mau dipoligami itu di hadapan
Allah.”
Sadam tersenyum
samar. Ai tahu, pasti dia pikir dia gila. Dia masih kelas sembilan SMP, tapi
pikirannya sudah jauh ke sana.
“Memangnya nama
Ai di masa lalu tidak pernah dipoligami?” balas Sadam.
Ai bingung, tak
paham. “Kamu kan juga tidak tahu Ai di Jepang semuanya tidak ada yang
dipoligami.”
Ai merenung.
Benar juga, ya. Tapi kan keputusannya dulu sudah bulat. Dan dia kesal jika ada
yang mengusik keputusan tersebut.
“Eh, sudah
berapa menit ini?” Ai mengalihakan pembicaraan.
“Sudah dua belas
menit. Tiga menit lagi,” sahut Sadam.
Ai lemas. Sudah
dipojokkan Sadam, ketenangannya juga selalu membuat Ai gerogi. Tapi, syukurlah
Ai bisa mengimbangi arah berpikir Sadam. Jadinya tugas mereka bisa cepat
selesai.
Alhamdulillah, batin Ai lega. Lalu
sewot lagi mengingat sikap terakhir Sadam yang menyebalkan.
Nama Ai kan juga bagus. cicit
hatinya.
Ai sudah meramalkan bahwa pasti akan
ada yang bertanya perihal namanya dan nama panggilannya, perihal kenapa dia
tidak suka dipanggil Aisyah. Dan sebelumnya dia bisa memberikan alasan-alasan
yang cukup kuat.
Tania pernah bilang bahwa nama itu
doa dari orang tua. Ai setuju, tapi Ai juga tidak mau dipoligami. Dia percaya
bahwa jodohnya hanya satu. Seperti jumlah tulang rusuk yang diambil Allah dari
Adam untuk dijadikan Hawa.
Tapi, Ai belum menemukan jawaban
untuk persepsi Sadam.
Ai menghela napas panjang. Dia akan
mengendapkan gagasan tersebut, dan jika dia belum menemukan sanggahan yang
tepat, mungkin ini memang adalah pencerahan yang dia tunggu untuk membenarkan
keegoisannya tentang doa dari orang tuanya.
Allah, maafkan
aku karena tidak menghargai nama pemberian orang tuaku. Maaf, Ayah, Bunda.
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.