Selasa, 20 Mei 2014

Cahaya Bulan

Cahaya Bulan

2 November 2009, ditulis oleh De' Ela

Meski Ami sudah pindah rumah, dia tetap suka keluar rumah dan menyusuri jalan di malam hari. Orang tuanya sendiri hanya menasehati untuk berhati-hati dan sudah harus pulang sebelum pukul sembilan malam. Tahu bahwa percuma manyuruhnya untuk tinggal di rumah saja. Dia selalu punya alasan agar dapat keluar malam. Dan alasan paling sering adalah bahwa belajar di alam bebas lebih nyaman daripada belajar di dalam rumah untuknya.
Seperti malam ini, dia duduk di bangku alun-alun desa dengan lentera kecil menerangi halaman-halaman bukunya. Pakaian serba panjang dan topi rajutan sangat berguna untuknya. Angin berhembus memecah konsentrasi Ami pada bukunya. Ia memandang ke sekitar. Sepi.

Lalu menengadah untuk melihat langit. Sudahkah bulan muncul, pikirnya. Dan dia menemukan langit tak tertutup awan musim dingin, membiarkan para bintang mengawasinya. Ami pun balik mengawasi mereka. Akankah ada bintang jatuh malam ini, harapnya sambil mengumbar senyum pada seluruh penghuni langit malam. Tapi tidak menemukan bulan purnama ketika dia menemukan bulan sabit. Terang karena matahari yang bersembunyi di belahan lain bumi.
Sayangnya Ami terlalu khidmat memandang si bulan, sampai ia menyingkirkan buku-bukunya lebih cepat dari biasanya, dan tiduran sambil memandang langit meriah. Berusaha mencari rasi bintang setelah puas memandangi bulan. Dan dia menemukannya! Sang pemanah! Saking bersemangatnya dia sampai meloncat berdiri. Mengikuti mata panah dan menemukan bulan sabitlah yang dituju. Namun bulan sabit itu tak berwarna putih seperti tadi, melainkan berwarna abu-abu. Seakan dari awan. Dan lebih besar! Makin besar dan makin terlihat kebulatannya!
Ami tercengang melihatnya, dan menjadi ketakutan ketika seakan bulan akan menghantamnya. Menghantam bumi! Tidak. Bukan bulan yang mendekatinya. Dialah! Baru saja dia menyadari bahwa dia terbang. Hal yang tak masuk akal dan meski begitu Ami tetap menikmatinya.
Permukaan bulan jelas seperti apa yang dikatakan buku, para ilmuwan dengan teleskopnya, dan astronot bulan; terdapat kawah-kawah kecil dan sering. Tapi satu yang tak sama. Sebuah cahaya putih menyilaukan berdiri di kejauhan. Mendekati Ami yang bergeming tak tahu harus bagaimana.
Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ami mengira itu adalah malaikat. Entah Jibril atau Mikail. Tapi mungkinkah itu Malaikat Izrail? Ah, cahayanya tak membuat Ami takut. Alih-alih merasa hangat. Siapapun atau apapun itu cahayanya tak kuat lagi Ami memandangnya.
Tetapi cahaya itu tetap mendekat. Sampai mereka benar-benar dekat, entah bagaimana Ami dapat melihat sosok di balik cahaya. Berjubah putih. Dan cahaya itu terpancar dari balik jubah. Maka dapat melihatlah Ami ketika sosok itu menyibak tudungnya dan menampakkan wajah ayu nun pucat. Entah bagaimana Ami dapat melihat sosoknya dengan jelas seakan cahayanya memudar ketika dekat.
Gadis itu sebaya Ami, merunduk sesaat dan berucap dengan sopan; “Selamat datang di Bulan. Selamat datang Ami, teman dari Bumi.” Suara itu lembut bagai air mengalir. Sampai Ami dapat merasakan sejuk di hatinya.
“Bagaimana kau tahu namaku?” tanya Ami ragu. Melupakan tata cara perkenalan yang benar.
“Mana mungkin aku tidak mengenal teman yang setiap malam datang untuk melihat kami?” gadis itu tersenyum, begitu manis.
Ami diam.
“Perkenalkan, aku Putri Bulan,” lanjutnya.
“Kenapa aku ada di sini?” tanya Ami tiba-tiba.
Putri Bulan tersenyum lagi. “Kau terlalu terburu-buru. Mari kuantar kau untuk berjalan-jalan,” ujarnya seraya mengulurkan tangan putihnya.
“Kau belum menjawab  pertanyaanku,” ulang Ami.
Sekali lagi dia tersenyum. “Akan kujelaskan sementara aku menemanimu jalan-jalan. Bagaimana?” Dia memiringkan kepalanya sedikit, astaga dia manis sekali! Puji Ami dalam hati.
Ami akhirnya menerima tawaran Putri Bulan.
“Kau belum menyebut namamu tadi,” celetuk Ami.
“Oh, kau harus menebaknya.” Ami melongo heran. “Aku adalah Putri Bulan, cahaya bulan, dan berasal dari bulan,” lanjutnya.
“Aku masih belum mengerti,” kata Ami seraya menggeleng.
Putri Bulan memandang dalam Ami. “Pikirkan lagi,” ucapnya. Dan Ami masih tetap bingung. Yang ada dalam pikiranya hanyalah bulan. Jadi dia asal tebak saja; “Bulan?”
“Bukan.”
“Moon?”
“No.”
“Moonlight?”
“Sebutan, ya. Nama, tidak.”
Ami putus asa. “Artemis,” tebaknya. Artemis berasal dari bahasa Yunani yang juga berarti bulan.
“Em, coba lagi.”
Diam, berpikir keras sekali. “Laluna.” Kali ini berasal dari bahasa Latin.
Laluna menoleh, “Panggil aku Luna saja.” Seraya tersenyum pada Ami.
“Ooh, Laluna,” ulang Ami lebih bersemangat. “Kupikir aku harus memanggilmu Putri Bulan.”
Luna tertawa. Sungguh Ami sampai bungkam mendengar tawa merdu itu. Dicubitnya tangannya keras-keras. Sadar, Ami! Bentaknya dalam benak, sebelum dia terlena terlalu dalam.

Berjalan di bulan benar-benar membosankan. Sejauh ini Ami hanya melihat tanah kasar dengan kawah di mana-mana. Sementara Luna terus berjalan di sebelahnya.
“Kau tinggal sendirian di sini?” tanya Ami akhirnya.
“Kau lihat sendiri ‘kan?” sahut Luna seraya menoleh.
Ami tercengang mendengarnya. “Tapi, ayah dan ibumu?”
Luna menoleh lagi. Pandangannya begitu dalam. Matanya seperti hujan dengan pupil hitam kelam. Tapi ada perasaan beda yang timbul pada Ami ketika melihat mata itu lagi. Terasa hening tapi bukan damai. Timbul perasaan bahwa dia ingin menemani Luna di sini.
“Aku adalah Cahaya Bulan, Ami,” jawabnya kemudian.
Ami diam lagi. Memperhatikan sekitar seakan ada yang menarik. Dan merasa percuma. “Kurasa di sini membosankan,” celetuknya memecah hening.
“Begitukah? Kalau begitu kita bermain saja agar tidak bosan,” kata Luna tiba-tiba, nadanya tampak bersemangat.
“Main apa?” Ami sangsi. Jelas terlihat tak ada yang menarik di bulan.
“Bagaimana kalau kejar-kejaran?”
Ami melongo heran.
“Kejar aku!” seru Luna.
Segera dia berlari.
Ami mengejar. Rasanya mudah mengejar Luna. Larinya dua kali lebih lambat darinya. Tapi sekali lagi Ami terperangah ketika dia sudah dekat dan Luna tiba-tiba menjauh dengan melompat bergaya slowmotion.
“Ingat, Ami! Ini di bulan!” seru Luna di tengah tawa.
Ami mengumpat betapa bodoh dirinya sampai tak ingat bahwa tentu saja gravitasi di bulan berkali-kali lipat lebih kecil dari di bumi.
Dia mencoba mengikuti langkah Luna. Tetapi sialnya dia tak bisa mengakhiri lompatannya. Alih-alih dia tetap melayang di angkasa. Paniknya menyerang. Tak ada yang bisa dia gapai. Melupakan bahwa dia tidak sendrian.
“Kau harus tenang, terutama ketika ada di ketinggian maksimal,” Luna memberitahu.
Ami mencoba, tapi tetap tak mudah. Sampai akhirnya dia menyerah dan Luna mengajaknya untuk berjalan lagi. Ami setuju.
Mereka berjalan menuju permukaan yang lebih rata dan lebih sedikit kawah, mare (berasal dari bahasa Latin yang berarti lautan). Heran ketika melihat permukaan di sana lebih redup cahayanya daripada dataran tinggi penuh kawah yang dilewatinya sebelumnya.
Dia mengingat beberapa artikel tentang bulan dalam benaknya. Mengamati apakah itu benar. Seperti ngarai yang membentang panjang seakan bekas bahwa bulan pernah terbelah. Entah benar atau tidak tapi dia tahu bahwa ngarai itu ada.
“Seperti apa bulan dari bumi?” tanya Luna.
“Eh, em… dari belahan bumiku bulan purnama terlihat bulat dengan mare berbentuk “k” terbalik.” Sekali lagi mata Ami bertemu dengan mata Luna. Dan dia menemukan ada perasaan penuh harap di sana.
“Indahkah?”
“Er, ya.” Ami heran mendengar nada tanya Luna yang penuh obsesi.
Luna menarik tangan Ami menuju ke dataran tinggi. “Apakah lebih indah dari bumi jika dilihat dari sini?” dia menunjuk sebuah planet agak berkabut, warnanya dominan biru. Terdapat bentuk-bentuk kecil hijau jelek.
“Aku lebih suka bumi, tentu saja,” jawab Ami.
Luna tampak cemberut. Dia memandang sekitar dan menyuruh Ami untuk menengadahkan kepala. Melihat bintang-bintang bersinar terang.
“Sungguh indah!” seru Ami terperangah. Mengumpat betapa bodoh dia karena baru sadar atas kemegahaan jagad raya di atas kepalanya.
Luna menggenggam tangan Ami. Tangannya lembut dan dingin. Ami gugup sendiri ketika Luna tersenyum padanya.
“Ayo!” ujarnya dan dia mulai melompat.
Ami terbawa dengan ringannya di belakang Luna. Merasa lebih mudah untuk melompat dengan Luna menggandengnya. Girang sekali merasakan seakan dia terbang. Mereka terus melompat sampai akhirnya mereka sampai di belahan bulan lain. Lebih redup karena tak mendapatkan cahaya dari sang surya. Dan Luna pun seakan cahayanya meredup.
Luna mengisyaratkannya untuk menengandah ke atas. Ami menurut.
Terperangah sekali lagi tapi lebih takjub. Ami bukan hanya dapat melihat bintang. Tetapi jelas terlihat bintik-bintik seperti noda. Ada satu yang berwarna merah merona. Dan siluetnya sangat jelas. Mars. Sungguh Ami bersyukur dia dapat berada di situ. Memandang langit dari bumi dengan dari bulan jelas berbeda. Dari bulan jauh lebih terlihat, tak ada awan yang menghalangi.
Mereka tiduran di mare, memandang langit seraya mencari-cari rasi bintang.
“Apa bintangmu?” Ami bertanya.
“Kau sendiri?” Luna balik tanya.
“Aku bertanya padamu,” kata Ami gemas.
Luna tersenyum masam. “Aku tidak tahu.”
Heran. “Kenapa begitu?”
“Tidak tahu,” jawab Luna manyun. “Kau sendiri, apa bintangmu?”
Ami tak ingin tahu lebih dalam tentang hal itu. Menurutnya itu bukan kisah indah Luna. Maka dia menjawab; “Hm, kau harus menebak. Bentuknya sangat sederhana, jelek, tapi aku suka maknanya. Bintangku hanya terdiri dari empat bintang,” katanya.
“Libra.” Jawab Luna segera.
Ami menoleh. “Benar,” sahutnya heran. “Jangan-jangan kau memang sudah tahu. Seperti kau sudah tahu namaku,” tuduhnya seraya berpikir.
Tetapi Luna tertawa. “Bagaimana aku tak hafal setiap rasi bintang jika hanya mereka yang kulihat setiap waktu,” ucapnya.
Ami tertegun. Bodohnya aku! Batinnya, mengetahui betapa tak sopan nada bicaranya tadi.
“Maaf,” kata Ami.
“Tak apa. Aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya.” Luna tetap memandang langit. Ami menoleh dan melihat senyumnya sangat sangat sangaaat manis! Tapi kali ini dia dapat menguasai diri, sehingga pertanyaannya tetap terlontar; “Kau selalu melihat bintang?”
Luna menoleh keheranan mendengar nada bicara Ami. “Tentu saja. Di sini tak ada pagi,” jawabnya.
Ami mengumpat bodoh dirinya, lagi; sungguh betapa sempit pikirannya. “Pasti menyenangkan dapat melihat bintang terus,” kata Ami.
“Tidak juga. Lama kelamaan kau pasti akan bosan. Sampai kapanpun bintang akan tetap menjadi bintang. Dan mereka tak pernah bicara,” ujar Luna seraya memandang hampa langit.
“Ee, aku tidak mengerti kalimat terakhirmu,” kata Ami.
Luna menoleh, “Bintang tidak memberitahu rahasianya begitu saja. Mereka memberitahu rahasianya dengan teka-teki,” jawabnya.
Ami membulatkan mulutnya membentuk huruf O, manggut-manggut setuju seraya kembali memandang langit. “Tapi aku selama ini tak pernah bosan untuk mengamati bintang setiap malam,” ujar Ami, menoleh lagi pada Luna.
Luna balas memandang Ami. “Setiap malam untukmu jelas berbeda dengan setiap malam untukku, Ami.”
Ami tertegun kembali melihat mata itu seakan makin hujan. Bukan damai yang ia lihat, alih-alih sebuah kerinduan. Tapi Ami tetap tak dapat mengerti perasaan Luna yang sesungguhnya.
Lama sudah mereka berbaring di sana. Kedamaian yang Ami rasakan di sana akhirnya mampu menghembuskan kantuk. Maka Ami membiarkan pikirannya berpetualang ke seberang belahan bulan sana dan terus. Sementara raganya berusaha relaks, matanya mengkerjap-kerjap.
Ketika pikirannya telah sampai pada sebuah dataran di mana terdapat sebuah bangku dengan setumpuk buku di atasnya, lalu berkelana lagi menuju sebuah rumah yang sangat nyaman dan tak asing bagi Ami. Ia menepis kantuknya. Matanya melek semelek-meleknya mata. Terduduk.
Luna yang sejak tadi mengamati Ami ikut duduk. “Ada apa? Kau tampak tegang,” katanya sedikit panik.
Ami memandang Luna. Dia tampak bingung.
“Kenapa aku di sini, Luna?” tanyanya.
Luna makin heran, “Sejak tadi kau memang ada di sini,” jawabnya.
“Bukan itu maksudku!” sergahnya.
Luna terkejut mendengar nada itu penuh dengan rasa tak sabar yang campur aduk.
“Maksudku, aku tak seharusnya berlama-lama di sini,” tambah Ami.
Luna tampak terpukul, wajah cantiknya seketika lenyap. “Kau tak senang di sini?” tanyanya memelas.
“Aku senang, tapi aku harus pulang,” sahut Ami.
“Tapi kau bisa melihat bintang sepuasmu di sini. Kau bisa merasakan seperti apa terbang,” nada bicara Luna berubah dari yang penuh ketenangan sekarang penuh dengan kekhawatiran.
Pahamlah Ami sekarang apa yang Luna rasakan, apa yang Luna inginkan…
“Luna,” panggil Ami lembut, menggenggam tangan Luna.
Luna tetap menunduk terisak. “Pergilah,” katanya lemah.
Dengan mudahnya itu terjadi Ami terbang menjauhi Luna dan bulan.
“Luna! Kaum tetap sahabatku!!!” serunya.

Ami memandang bulan sebelum ia pulang, sementara semburat merah pucat muncul di langit. Tak pernah Ami memandang bulan dengan sehampa ini, keheningan jadi dingin, dan keramaianlah yang sangat dibutuhkannya sekarang. Seakan perasaan Luna telah terbagi dengan Ami.
~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.