Selasa, 20 Mei 2014

MANTICORE

MANTICORE


2007, ditulis oleh De' Ela

Malam yang sungguh indah, dan seperti biasanya di setiap malam, Hika memandangi langit gelap itu. Dan berharap bahwa dia akan menemukan beberapa rasi bintang ataupun suatu bentuk, di sana. Sambil tersenyum, Hika memandangi setiap bintang dengan teliti, ia gabungkan beberapa bintang menjadi garis-garis bayangan  yang akan membentuk suatu gambar yang menarik. Matanya mulai menyipit, bibirnya datar. Ia mulai beranjak dari tempatnya tadi tiduran. Tetapi ia masih memandang ke atas tanpa kedipan mata. Dahinya tertekuk, dalam seketika senyumannya kembali, hanya saja lebih lebar.
Ia beranjak dari tempatnya duduk, yakni tikar yang ia gelar di halaman belakang rumahnya. Hika cepat-cepat berlari ke dalam rumahnya.
Dan dalam hitungan detik, ia sudah kembali. Tapi ia kembali tidak dengan tangan kosong, di telapak tangan kirinya, tergenggam sebatang pensil dan sebuah penghapus. Dan di tangan kanannya terdapat sebuah buku gambar. Ia kembali duduk dan menyiapkan alat-alat menggambarnya yang ia bawa. Ia memandangi langit selama beberapa detik. Dan kemudian beralih pada buku gambarnya. Digoreskannya beberapa garis yang tersambung. Sebentar-sebentar ia menghadap atas, dan kemudian beralih pada garis-garis yang baru saja ia goreskan pada buku gambarnya.
Waktu berjalan sangat lama, Hika masih menggambar. Tak henti-hentinya kepalanya menghadap ke atas, dan kemudian ke bawah. Senyumnya masih terlihat. Dan akhirya, senyumnya bertambah lebar, ia selesai menggambar. Ia mengamati hasil karyanya. Terpirkan olehnya untuk bertanya kepada seseorang tentang makhluk yang ia gambar.
Terlihat sangat aneh dan tak bisa dijelaskan. Hika bingung akan gambarnya. Ia mengangkat buku gambarnya, didekatkannya gambarnya dengan langit yang ia gambar bersama bintang-bintang yang ia jadikan pokok gambarannya. Namun, ia hanya melihat langit yang telah kosong, semua bintang tak terlihat. Ia melihat jam yang ia bawa. Astaga, sekarang sudah pukul dua belas. Matanya terasa ingin sekali menutup. Dan ia pun tertidur di sana.
Hika adalah anak yang terobsesi dengan langit, ia sangat menyukai hal-hal yang berbau langit seperti rasi bintang yang sering ia lihat di angit bersama para bintang. Ia juga mahir dalam menggambar. Karena itu, ia dapat menggambar bentuk bentuk yang dibuat oleh para bintang dengan baik di atas kertas gambarnya.
Pagi harinya, Hika mendapati dirinya sudah berada di tempat tidurnya yang nyaman. Ia tersadar dan langsung mencari buku gambarnya dengan panik, takut jika mamanya membuang bukunya. Dengan  menghela nafas lega, Hika menemukan buku gambarnya di atas meja belajarnya, beserta pensil dan penghapus yang ia bawa. Semenjak malam itu, Hika selalu membawa buku gambarnya, terkadang ia mengamati gambarnya cukup lama. Hingga akhirnya ia jadi terlambat ke sekolah.
“Hika!” kata Dina dengan nada mengagetkan, teman Hika. Ketika itu sedang istirahat, dan Hika masih selalu memandangi hasil gambarannya. Hika terkejut bukan buatan. Ia memandangi sahabatnya yang sedang tertawa melihat Hika terkejut.
“Engkau membuatku kaget Dina!” kata Hika marah, beranjak dari tempat duduknya dan kemudian berdiri menghadap Dina.
“Itu karena sejak tadi kamu selalu saja melamun. Apa yang kamu pikirkan?” tanya Dina.
“Ini,” Hika menunjukan gambarnya kepada Dina.
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya seorang gadis yang tiba-tiba saja merebut buku gambar Hika dari tangan Hika. Ia sepertinya sangat terkejut ketika ia sedang berjalan, dan melihat gambar Hika yang sedang di tunjukan kepada Dina. Hika dan Dina juga terkejut ketika mendapati Jeshi tiba-tiba telah berada di sampingnya.
“Apakah engkau tahu tentang gambar itu, Jeshi?” tanya Hika kepada gadis itu.
“Ya…. Aku pernah melihatnya di sebuah buku yang ada di perpustakaan umum, tidak jauh dari sekolah kita,” katanya. “Tapi aku tak ingat namanya,”
“Terimakasih, Jeshi.”
“Tak masalah,” “Maukah engkau pergi ke sana dengan kami nanti? Setelah pulang sekolah,” kata Hika bersemangat.
“Maaf, minggu ini aku sangat sibuk,” Jeshi berjalan menuju kantin sambil membelakangi Hika dan Dina. “Tapi, jika kamu menemukan buku itu, tolong beritahu aku, ya!” pintanya ketika berhenti berjalan, dan kemudian menghadap kedua temannya. Ia meneruskannya kembali.
“Maaf Hika, hari ini aku juga tidak bisa menemanimu pergi ke perpustakaan, aku ada urusan keluarga,” kata Dina prihatin, ketika itu 30 detik setelah mereka melihat Jeshi pergi. Hika hanya tersenyum, yang menandakan bahwa dia mengerti.
Sepulang sekolah, Hika langsung pergi menuju perpustakaan. Ia mempercepat laju sepedanya. Dan beberapa menit kemudian, ia sudah sampai di depan perpustakaan. Dengan cepat ia memarkir sepedanya dan kemudian ia berlari masuk ke dalam perpustakaan. Tepat ketika ia membelakangi pintu masuk, ia berhenti.
Hika menyapu seluruh ruangan yang besar, megah, dan benar-benar penuh buku. Terlihat juga olehnya orang-orang sedang mencari buku, dan sebagian sedang membaca buku.
“Hallo anak manis, selamat datang di perpustakaan kami,” kata seseorang di sebelah kanan Hika, suara itu membuat Hika terbangun dari lamunannya. Ia menengok ke arah di mana suara itu berasal. Ia melihat seorang nenek tua dengan senyum yang begitu hangatnya sehingga tidak membuat Hika takut akan orang yang baru saja dikenalnya itu.
Hika hanya membalas senyum yang diberikan nenek tua itu. Dan diam-diam melihat tanda pengenal yang ada di dadanya. “Marrie Noslia”, begitu Hika membacanya. Hika kembali menghadap ke depan dan mulai berjalan dengan perasaan canggung.
Dengan pelan ia melangkahkan kakinya, dan kemudian berhenti. “ Baiklah, sekarang akan kumulai diiiiii…,” kata Hika hati, matanya melirik ke kanan dan ke kiri. “Sana!” Hika meneruskan., ia melirik ke sebelah kirinya, dan kemudian mulai berjalan ke arah yang ia tuju.
Hika memulai pencarian dengan teliti, tapi beberapa saat kemudian ia mulai merasa lelah. Ia menengok ke sekililingnya(seperti orang tersesat saja), ia berhenti di satu sudut. Ia memandangi sesuatu di sana. Dan tanpa sadar ia berjalan ke arah itu dengan wajah masih dengan penuh senyuman. Hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah meja. Hika memandangi sisi lain di dekat meja seperti orang bodoh.
“Eh…, hai Hika!” sapa cowok berkulit hitam itu dengan manis dan sedikit terkejut. Nerry sedang membaca buku dengan santai, hingga ia tak sadar bahwa ada orang di dekatnya, sedang mengamatinya.
“Hallo,” Hika menjawab, raut wajahnya tetap sama.
“Buku apa yang sedang kamu cari?” tanyanya degan lembut.
Hika tersadar, raut wajahnya berubah dengan drastic. Sekarang dia sadar bahwa dia harus mencari sesuatu. “Entahlah yang pasti buku tentang…,ini!” Hika menunjukan gambarnya yang aneh itu kepada Nerry.
“Hmm, sepertinya aku pernah melihatnya, kalau tidak salah di bagian Mitologi, ya benar di begian mitologi,” katanya sambil mengamati gambar Hika. “Ada di sebelah sana,” tambahnya, jari telunjuknya menunjukan ke arah sebuah rak yang di atasnya terlihat tulisan besar yang bertuliskan “MITOLOGI”.
“Terima kasih,” kata Hika, baru saja ia ingin berjalan ke sana, Nerry berkata:
“Boleh aku membantumu?”
“Tidak, terima kasih,” Hika menjawab, senyumnya manis. Hika menoleh ke depan, terlihat wajahnya menunjukan ekspresi yang benar-benar bahagia.
Hika baru berjalan beberapa langkah dan ia sudah sampai di sana. Ia mencari-cari buku yang ia inginkan. Tiba-tiba ia tersadar bahwa ia tak tahu seperti apa buku tersebut, dan ia juga meninggalkan begitu saja buku dan tasnya berserakan di atas meja. Ia berbalik dan berjalan menuju Nerry. Tapi sekilas ia melihat sebuah buku yang mempunyai sampul sangat terang ia mengambil buku itu dan kemudian, dibukanya buku itu derngan cepat. Ia menemukan gambar itu. Ia membaca nama makhluk itu. Manticore namanya. Kemudian ia membaca sebagian dari beberapa lembar artikel tentang manticore sambil berjalan menuju Nerry. Ia berjalan tanpa melihat arah. Karena matanya masih tertuju pada buku yang memiliki sampul yang benar-benar terang dan kontras itu.
Nerry yang melihat Hika duduk di depannya, mengamatinya dengan seksama, tapi kemudian kembali membaca. Hika mengamati gambarnya dengan gambar di buku, sama persis, hanya saja milik Hika kurang lengkap. Makhluk berkepala manusia, sedangkan kakinya adalah kaki singa, ia mempunyai ekor seperti ekor kalajengking. Dan dalam artikel disebutkan bahwa; di  ujung  ekornya  terdapat  sengat kala jengking, dan ukurannya mungkin sepanjang satu cubit [setengah meter]; dan ekor itu memiliki sengat dalam jarak tertentu di setiap sisinya.  Ujung ekor itu  memberikan  sengat  mematikan bagi siapapun  yang  terkena, dan kematian akan datang seketika. Kemudian Hika membaca artikel lainnya tentang Manticore.
            Setelah Hika selesai membaca artikel itu, ia menjadi ketagihan dan ingin membaca yang lainnya, jadi ia meminjamnya. “Maaf nona kecil, engkau tak bisa meminjam buku ini. Engkau bukan anggota perpustakaan, lebih baik engkau mendaftar terlebih dahulu,” kata nenek yang bernama Marrie itu. Betapa malunya Hika ketika itu, apalagi Nerry sedang ada di dekatnya.
            Nerry tertawa kecil sekaligus menawarkan diri untuk membantunya mendaftar. Beberapa menit kemudian semua urusan sudah terselesaikan. Dan Hika dapat meminjam buku itu. Hika kemudian pulang bersama Nerry dengan sepeda masing-masing. Hika merasa bahwa dirinya benar-benar bodoh, ia kenal betul sepeda Nerry, tetapi ia tak tahu bahwa Nerry juga ada di perpustakaan.
Sesampainya di rumah, Hika sekilas melihat banyak musibah terjadi di negaranya ini, yakni Indonesia, melalui sebuah stasiun Televisi, ketika itu ia sedang menuju kamarnya untuk membaca di sana sambil tiduran.
Pagi harinya, semuanya sangat sedih, ketika mengetahui sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Hika Mati. Entah apa yang terjadi malam itu, tetapi yang pasti ia meninggal di tempat tidurnya dengan buku yang ia pinjam, di tangan kanannya. Badan Hika ditemukan sudah membusuk akibat racun mematikan, ia disengat kalajengking.
                                                                   ~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.