Minggu, 28 Desember 2011
Oleh: De' Ela
Angin dingin berhembus seperti badai kecil. Menghamburkan serbuk-serbuk salju hingga menerpa wajah-wajah pucat dan sudah beku itu. Sekalipun Ann dan Noah sudah mengenakan mantel mereka, nampaknya kekuatan salju merupakan energi yang mampu menyelundup menembus serat-serat mantel. Lebih lagi mantel Ann tidak terbuat dari bulu, melainkan dari kulit.
Oleh: De' Ela
TRADISI
Angin dingin berhembus seperti badai kecil. Menghamburkan serbuk-serbuk salju hingga menerpa wajah-wajah pucat dan sudah beku itu. Sekalipun Ann dan Noah sudah mengenakan mantel mereka, nampaknya kekuatan salju merupakan energi yang mampu menyelundup menembus serat-serat mantel. Lebih lagi mantel Ann tidak terbuat dari bulu, melainkan dari kulit.
Dia gemetar
sambil terus menggosok tangannya pada lengan.
“Mendekatlah
kepadaku,” Noah yang melihat Ann merana, mengulurkan tangannya.
“Tidak, terima
kasih.”
Ann membalas dengan
tersenyum masam, “Aku tidak ingin ada yang
mengambil kesempatan dari kesempitan solusi.”
Mendengar
pernyataan tidak biasa itu Noah tertawa.
“Begitukah yang
menurutmu hanya ada dalam pikiranku?”
Ann menatap Noah
tajam hingga seolah dia bisa melenyapkannya saat itu juga, “Menurutmu apa lagi.
Kau sudah melamarku.” Kemudian dia berjalan lebih cepat, mendahului Noah.
Bibir Noah
membuat lengkungan ke atas yang lebih panjang. Mengingat lebih jelas lamaran itu membuatnya makin
bahagia. Dia sangat
bersyukur dia bisa menjadi yang pertama melamar Ann. Setelah sekian tahun
berteman, setelah usaha membuat rumah dan membeli sawah, akhirnya dia dapat
melamar Ann. Gadis yang selalu ada di hatinya. Gadis paling cantik di desa, dengan segala
kelincahan dan keberaniannya dibandingkan dengan gadis lain.
Perkampungan
tempat Ann dan Noah tinggal merupakan sebuah desa kecil yang dikelillingi oleh
hutan-hutan, dan diselimuti oleh berbagai tradisi. Termasuk persyaratan seorang
laki-laki jika ingin melamar gadis. Mereka haruslah sudah membuatkan rumah
untuk tinggal, dan memiliki lapangan pekerjaan sebagai penghasilan, seperti
sawah, ladang, peternakan, bengkel peralatan berbahan besi, atau semacamnya.
Noah berjalan
cepat di belakang Ann, mengalungkan mantel bulunya pada Ann. Dia sendiri
sekarang hanya mengenakan baju putih bergaris-garis vertikal. Ann berbalik dan
mendapati Noah tetap saja tersenyum yang baginya itu sangat menyebalkan.
Dilepasnya mantel Noah dan dibantingnya ke salju di bawah, kemudian dia
injak-injak sampai melesak di antara tumpukan salju. Kotor, basah, jelek, dan
nyaris tidak terlihat.
Ditatapnya Noah
dengan masih sangat kesal, berharap Noah akan marah. Seharusnya itu cukup
membuatnya tahu bahwa Ann benar-benar
tak suka ide ini. Akan tetapi yang dilihatnya tetaplah Noah dengan
senyum itu. Senyum yang sesungguhnya dulu selalu dapat menenangkannya.
Tapi ada
perasaan yang lebih hebat yang memenuhi hati Ann hingga mampu menepis pesona
Noah. Kesal, marah, sedih, kecewa, marah, benci!
Semua emosi
negatif ini muncul karena suatu keputusan yang Noah ambil. Keputusan yang tak
pernah Ann kira akan datang padanya. Lamaran.
Noah dalam
kehidupan Ann adalah temannya. Noah dalam hati Ann memang hanyalah teman,
selamanya. Dan itu tak kan bisa berubah! Kecuali berubah jadi lebih buruk
seperti musuh, seperti sekarang ini.
“Kau tahu,
umurku masih sembilan belas tahun.”
“Umurku juga
sembilan belas tahun. Hanya lebih tua dua bulan darimu, ingat.”
Ann jengah,
gayanya yang santai itu untuk pertama kalinya sangat mengganggunya, sangat
membuatnya kesal. Enak sekali dia menanggapi ide konyol pernikahan ini.
“Benar.
“Dan kau terlalu muda untuk
menikah. Aku juga!” Ann menekankan pada kata terakhirnya. Berharap Noah
membatalkan rencana pernikahan ini.
“Tidak juga, Ann.
Berdasarkan hukum adat kita baru diperbolehkan menikah setelah usia kita tujuh
belas tahun, itu artinya sudah sejak dua tahun lalu. Dan...”
Ann memejamkan
mata dan menulikan telinga. Sangat jengah dan kesal. Dia tak mau mendengar
kata-kata darinya selanjutnya. Seperti ceramah yang teramat membosankan. Dia bisa menduga kelanjutannya.
Selama perjalanan ini Ann terus saja
merutuk dengan bertingkah seperti orang yang sebenarnya malas untuk berpergian,
tapi harus berpergian juga. Dia membuat bola-bola salju, inginnya dia lemparkan
pada Noah, tapi dia urungkan, alih-alih dia banting ke bawah dengan putus asa
dan sedih.
Noah dapat merasakan ketidaksenangan
Ann akan rencana pernikahan mereka. Dia tahu sejak awal Ann memang tidak
setuju, tapi dia yakin nanti Ann akan dapat menerimanya, sebagai pendampingnya.
“Pernikahan ini sudah tradisi. Dan
itu tidak seburuk yang kau bayangkan. Laki-laki melamarmu dan kau harus
menerimanya. Tapi laki-laki baru boleh melamar jika mereka sudah punya rumah
dan penghasilan. Itu artinya kau tidak akan kekurangan suatu apapun. Kau
harusnya senang karena hidupmu pasti akan bahagia dan terjamin.
“Lebih lagi, aku benar-benar serius
untuk menikahimu, Ann,” Noah berusaha meyakinkan Ann.
“Begitu, ya.” Dari nada suara Ann
kedengarannya dia luluh. Noah tersenyum senang. “Ah, andai saja aku tak punya
hati.”
Kalimat itu diucapkan Ann seolah itu
hal yang ringan, tapi itu berhasil membuat Noah mematung, sepertinya seluruh
organ tubuhnya berhenti bekerja, sementara Ann terus berjalan meninggalkannya
semakin jauh.
Dia tidak mengira sebelumnya bahwa
ketidaksetujuan Ann segini besarnya. Ann merutuk, ngambek, kesal, ataupun marah
itu masih bisa ditoleransi, masih manusiawi, masih bisa dibujuk. Tetapi
berharap dia tak punya hati saja adalah hal yang kelewatan.
Dia pikir Ann hanya marah seperti
biasa, ngambek seperti biasa, kemudian sebentar lagi dia akan luluh dengan
sendirinya dan mulai menerima keadaan, bertoleransi. Tapi sepertinya tidak kali
ini. Dia membenci tradisi ini lebih dari dia benci keterlambatan. Dan yang
paling buruk dalam penafsiran Noah adalah... bahwa Ann tak punya rasa sama sekali
padanya.
Tradisi. Dalam desa mereka
pernikahan memiliki aturan-aturan tertentu. Setelah si lelaki memiliki
kehidupan yang mapan, mereka akan melamar seorang gadis, dan gadis itu tidak
boleh menolaknya. Seperti apapun perasaannya. Karena itulah, Ann jadi sangat
kesal. Dia tak punya pilihan, dia tak punya suara. Dan dia membenci tradisi
ini.
Lebih lagi, seumur hidupnya Ann tak
pernah membayangkan Noah temannya lah yang akan menjadi pendampingnya. Dia, Ann,
tak bisa melakukannya, tak bisa dan tak mau menganggapnya lebih dari
teman. Tak bisa!!
Sudah hampir satu jam dan Ann merasakan ketenangan
di antara mereka, rasanya seperti sendirian. Dan benar saja. Ketika dia menoleh
dia memang sendirian. Noah entah di mana tidak mengikutinya lagi.
Dasar tidak bertanggungjawab!
batinnya. Semua orang tahu ini bukanlah hutan yang bebas dari hewan liar. Ada
serigala, ular, anjing liar, dan macam-macam hewan berbahaya lainnya. Dan
sekarang bisa-bisanya dia meninggalkannya sendirian.
Sebenarnya, dia lebih senang begini
daripada berjalan bersama Noah yang sekarang.
Bahkan sesungguhnya dia lebih suka mati daripada harus menjalani pernikahan
tanpa cinta ini. Ya, mati.
Dia baru ingat bahwa sudah beberapa
kejadian pasangan yang berjalan melewati hutan tidak pernah kembali.
Tradisi lainnya dari desanya adalah
setelah lamaran, kedua calon pengantin harus berjalan melewati hutan untuk mengukir
nama mereka di pohon suci jauh di sana. Butuh sehari semalam perjalanan untuk
tiba di sana. Ann sekali lagi tak mengerti dengan tradisi desanya. Dia juga
makin tak paham dan heran, bisa-bisanya tradisi ini tetap dilestarikan padahal sudah banyak nyawa
melayang di sini, di hutan ini. Ann benar-benar tak mengerti, pikirnya ini
sangatlah tak berguna!
Mungkin pemikirannya memang sangatlah
berbeda dengan cara berpikir orang-orang desa. Mungkin otaknya bermasalah. Tapi
dia yakin dia benar. Tentang wanita tidak boleh mengeluarkan pendapat apakah
dia mau menerima lamaran atau tidak, tentang melewati hutan yang berbahaya ini,
tentang wanita tidak boleh memaku, memperbaiki atap rumah yang bocor, mengecat, ataupun belajar pedang.
Dia jadi teringat, Noah kecilnya selalu dengan senang hati
mengajarinya menggunakan pedang secara rahasia, mengijinkannya memanjat pohon
untuk memetik apel, ataupun membantunya memperbaiki kursi. Noah lebih dari
sekedar teman baginya, tapi juga sahabat, pelindungnya.
Kemudian perasahabatan mereka terasa
ada jarak. Noah sibuk dengan urusannya sendiri. Meski begitu mereka tetap
saling sapa. Sampai akhirnya tiba-tiba dia melamarnya dan itu merubah semua
pendapat dan pandangannya pada Noah. Dia jadi… jijik! Terlalu mengutuk tradisi
tidak adil yang menjadikan perempuan tidak punya hak untuk memutuskan kecuali
masak apa untuk makan
hari ini. Dan sekarang itu terjadi padanya.
Ingin sekali Ann menjerit saking
sedihnya. Tapi mulutnya terkunci, hatinya sakit tapi hanya bisa sakit. Dan yang
bisa dia lakukan hanyalah menangis dalam diam.
Tapi sepertinya usahanya supaya Noah
membatalkan pernikahan mereka berhasil. Benar. Jadi atau tidak suatu pernikahan
ada di tangan si laki-laki, mereka punya hak penuh untuk menunjuk siapa yang
ingin mereka nikahi ataupun tidak ingin mereka nikahi. Enak sekali, ya, cibir Ann
jijik.
Apa yang dikatakannya tadi, ya? Oh,
ya: “Andai aku tak punya hati.”
Sepertinya kata-kata itu memang
cukup kasar, dan
menyakitkan. Mungkin, hanya manusia iblis saja yang berharap begitu. Tapi toh itu berhasil.
Bagus lah. Dan untuk pertama kalinya Ann tersenyum meski itu senyum simpul.
Di dalam keheningannya dia dapat
mendengar dengan jelas suatu nafas berat di sisi kanannya. Suara nafas itu berhasil membuat jantungnya
berdegup lebih keras. Dan kemudian ketakutannya makin menjadi-jadi ketika didapatinya apa yang ada di sana.
Dua taring panjang itu mencuat
mengerikan diantara deretan gigi yang tak kalah mengerikannya. Bulunya abu-abu
tebal dengan serbuk salju di beberapa sisi. Dua telinganya mencuat ke atas dan
meruncing. Dan matanya, mata itu menatap lurus pada Ann. Buat Ann bahkan tak
berani melirik kaki-kaki penuh cakar-cakar tajam itu.
Serigala hutan.
Sepersekian detik kemudian si
serigala sudah melompat ke arahnya. Ann tak siap untuk menghindar, maka dia
pejamkan matanya erat-erat. Lututnya sudah gemetaran hebat tapi saat di mana
seharusnya dia terdorong ke belakang sudah lewat dan dia masih berdiri.
Ann tak mengerti. Dibukanya kelopak
matanya perlahan.
Serigala itu sudah tidak ada di
depannya. Lega.
Namun dia kembali ketakutan ketika
dilihatnya di sebelahnya Noah sedang bergulat dengan si serigala. Posisi telah
berbalik, Noah ada di bawah sementara serigala terus menggeram marah dan
berusaha mencakar dan menggigitnya. Ann baru sadar bahwa Noah ternyata kuat
juga. Serigala hutan bukan makhluk yang lemah dan gampag dikalahkan. Dan Noah
berhasil menahannya.
Tapi nampaknya sebentar lagi Noah
akan kalah juga.
“Aaaargh!!!!”
Buk!!
“GRRRH…!”
“AAARGH!” sekali lagi Noah
menghadang serigala yang hendak menyerang Ann. Tapi kali ini sepertinya serigala juga berhasil
menggigit bahunya.
Serigala terjatuh diam dengan belati
terhunus pada perutnya. Segera saja Noah ikut terjatuh. Ann melepas kayu yang
digunakannya untuk menyingkirkan serigala dari badan Noah tadi, dan berjalan
mendekati Noah.
Dilihatnya bahunya berdarah dengan
bajunya koyak. Ada
sobekan lain bekas cakaran yang pertama di dada. Berdarah, mengalir deras.
Ann tidak mengerti. Dia tidak tahu
bagaimana cara merawat luka. Maka dia lakukan yang dia bisa. Ditutupnya luka
dengan daun kemudian dia tindih dengan salju. Berharap perdarahannya dapat
berhenti.
Ann tidak mengerti.
Seharusnya dia saja yang terluka dan
kemudian mati. Tidak perlu Noah. Dia yang tidak menginginkan pernikahan ini dan
seharusnya dia saja yang pergi. Tidak perlu Noah. Noah tidak seharusnya
mengorbankan nyawanya. Noah tidak seharusnya membuatnya berhutang budi. Noah
tidak seharusnya membuatnya merasa bersalah seperti ini.
Sekarang bagaimana? Bagaimana jika Noah tidak selamat? Ann bingung dan sedih.
Dilihatnya Noah tidak sadarkan diri. Lalu selanjutnya apa?! Ann tidak bisa
meninggalkannya di sana sendiri. Ah, salju turun. Ini akan membuatnya antara
mati karena terluka atau mati karena beku. Tidak, Ann benar-benar tidak bisa
membiarkannya sendiri. Tapi dia juga tak tahu harus bagaimana.
Mungkin, Ann sekarang mengerti kenapa
tradisi mengharuskan mereka untuk mengarungi hutan. Supaya jika mereka tidak
saling kenal, mereka akan mengenal satu sama lain. Supaya jika tidak ada
cinta di antara mereka, cinta itu akan tumbuh. Supaya si wanita dapat
melihat kesungguhan pada si pria untuk menikahinya, bukan karena nafsu ataupun
kebanggaan semata. Dan supaya jika si wanita sesungguhnya tidak menerima
pernikahan itu, dia akan belajar untuk ikhlas, untuk menerima.
Salju berhenti
turun secara misterius, sementara itu Ann meletakkan bangkai serigala di atas
tubuh Noah.
Ann sekarang mengerti, dan diiringi
tangis sunyinya, dia
menyandarkan kepalanya di atas bangkai serigala dan menutup mata. Dengan begitu berat dia
berkata: “Aku sekarang mengerti…” aku…
mau menerimamu.
Ann tidak terbangun terduduk oleh
sinar matahari yang menerpa wajahnya, tapi oleh gerakan Noah. Dilihatnya Noah
mulai membuka mata, maka Ann sangat lega karena dia masih hidup. Diusapnya air
mata yang mengerak di wajahnya.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ku, kurasa ya,” ujarnya.
Ann baru sadar wajah Noah pucat
Karena beku, maka dilepasnya sarung tangannya dan ditempelkannya kedua tangan
pada pipi Noah. Buat Noah terkejut tak menyangka, dan teramat senang
dalam hatinya. Sakit di bahu
dan dada langsung dapat diredamnya dengan perasaan begini menyenangkan. Dia
juga dapat melihat wajah serius nan cantik Ann dari dekat.
“Aku akan
membatalkan pernikahan ini kalau kau benar-benar ingin,” ujar Noah, tersadar
dari kesenangannya. Sudah cukup dia membuat Ann menderita. Jika Ann lebih suka
mereka hanya berteman, itu sudah cukup asalkan Ann tidak berharap untuk tidak
punya hati lagi. Baginya itu adalah harapan paling mengerikan. Seperti raga
yang tidak punya jiwa. Dan Noah tidak ingin itu terjadi pada Ann. Mungkin
niatnya untuk membahagiakan Ann harus dengan cara lain.
“Tidak perlu.” Ann
tidak bisa menahan senyumnya.
Noah pun tidak
bisa menahan keterkejutannya. “Apa itu artinya...”
“Kurasa sekarang
aku mengerti.” Ann menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Dan aku akan
belajar untuk menerima.”
Mungkin Noah sangatlah bahagia karena dia berhasil
melamar Ann. Tapi kebahagiaan yang ini berjuta-juta kali lipat lebih besar. Dia
tak bisa menahan senyum lebarnya, binar matanya menatap lekat Ann yang masih
tersenyum dan tersipu. Ini pun sudah cukup untuk sekarang. Keajaiban akan
datang sedikit demi sedikit kan.
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.