Tarawih
15 Agustus 2012, Oleh; De' Ela
Annisa gelisah di tempatnya. Dikibas-kibaskannya bagian
bawah mukena ke dalam dan keluar supaya angin mengikis gerahnya. Ditolehnya ke
kanan, ke depan, dan ke belakang. Semua orang juga tampak kegerahan, meski
begitu mereka tetap melantunkan ayat-ayat
Allah dalam suara pelan mereka.
Annisa berdiri dan segera menghidupkan kipas angin.
“Nok, kamu di belakang saja. Atau di luar,” seseorang
nenek tiba-tiba berbicara.
“Nok, hei! Kamu yang di pojok!”
serunya lagi, kali ini sedikit lebih keras. Mungkin sebentar lagi dia akan meledak marah-marah. Maka Dinda, Annisa, dan Rosa, yang mana mereka termasuk perempuan yang masih pantas dipanggil nok, menoleh.
serunya lagi, kali ini sedikit lebih keras. Mungkin sebentar lagi dia akan meledak marah-marah. Maka Dinda, Annisa, dan Rosa, yang mana mereka termasuk perempuan yang masih pantas dipanggil nok, menoleh.
“Saya, Nek?” tanya Annisa. Mereka melihat bagaimana cara
si nenek memandang Annisa. Seolah akan menelannya. Segera suasana jadi tegang.
Nenek ini, mungkin usianya tujuh puluh tahun ke atas.
Tubuhnya agak bungkuk dan tidak kurus.
“Iya, kamu,” jawabnya galak.
“Kalau kepanasan sana pindah ke belakang saja, atau keluar,”
lanjutnya. “Saya ini sudah tua. Nggak kuat dingin,” ujarnya kesal.
Annisa masih duduk kaku. Dia ingin membela, tapi yang
dilawannya hanyalah orang tua. Orang tua yang galak! Ugh.
Untung saja Dinda segera berdiri dan mematikan kipas
angin. Tapi omelan nenek itu tidak berhenti di situ saja. Buat Annisa menunduk
malu. Ini mushola, dan banyak orang di sini untuk sholat tarawih...
“Udah, nggak apa. Kita turuti saja. Daripada dia mati,”
bisik Dinda separuh bercanda.
“Tapi kan aku malu!” Annisa balas berbisik.
“Nggak pa-pa. Orang-orang tahu kamu nggak salah. Kegerahan
itu manusiawi kok. Orang lain pasti juga akan ngelakuin hal yang sama kalau ada
di tempatmu.”
“Eh, gimana bisa dia mati?” celetuk Rosa yang sejak tadi
ikut menyimak dalam bisik-bisik.
Dinda tertawa sesaat sebelum menjelaskan; “Bisa karena
debat, marah-marah, atau kedinginan terus nggak bisa nafas,” katanya dan
kemudian tertawa pelan, Rosa ikut tertawa, tapi Annisa tidak.
“Sudah, Nisa. Nanti kamu bisa mati karena malu lho!”
bisik Dinda lagi dan kemudian tertawa lagi, sementara akhirnya Annida tersenyum
melihat kekonyolan kedua kawannya.
“Kamu sih!” seru Annisa, lebih keras dari seruan
bisik-bisik. Maka segera saja didekapnya mulutnya sebelum bicara keras lagi. Melihat
itu Rosa dan Dinda hanya tertawa tanpa suara.
“Kamu sih ngajakin aku tarawih. Jadinya gini deh!” Annisa
berbisik.
“He’em,” Rosa mengiyakan, “Temen-temen yang lain juga
udah enggak tarawih lagi. mushola udah enggak ramai lagi kayak pas hari
pertama,” timpal Rosa. Dia membayangkan dirinya sekarang pasti sedang nonton TV
seperti kebanyakan remaja lain di kampungnya. Atau smsan, atau hang out belanja
berbagai macam keperluan untuk lebaran. Malam yang penuh warna...
“Justru itu!” tegas Dinda, “Justru karena sudah banyak
teman-teman kita yang malas untuk tarawih, kita harus tetap melestarikan budaya
tarawih ini di kampung kita.” Dinda matanya membulat. Rosa tak berani
membantah. Dinda sedang menggebu-gebu. Harusnya aku tidak membangunkan macam
tidur ini, batin Rosa.
“Kita sebagai generasi penerus harus memberikan contoh
yang baik pada adik-adik kita, harus ikut meramaikan mushola kita ini, supaya
tidak ditinggalkan. Lagipula, tarawih jauh lebih berkah daripada nonton TV ga
jelas. Bagaimanapun juga kita harus tetap berbakti kepada Allah SWT!” mata
Dinda makin besar. Dan sebelum Rosa ataupun Annisa berkata-kata lagi kultum
sudah selesai. Segera mereka berdiri untuk mulai sholat tarawih.
“Kurasa kamu juga akan nyaris mati, Dinda,” kata Rosa
tiba-tiba. Waktu itu mereka baru selesai sholat tarawih dan sedang mencari
sandal masing-masing di antara jamaah lainnya.
“Heh?” Dinda menoleh tak mengerti. Rosa tersenyum-senyum
sambil mengerling ke arah gerbang mushola. Dinda dan Annisa ikut menoleh ke
sana.
Sesosok agak jangkung mengenakan jaket merah yang sangat
dikenali Dinda dan kedua kawannya.
“Alan?” gumam Dinda terkejut. Di belakangnya Rosa dan
Annisa saling lirik sambil tersenyum-senyum. Dihampirinya cowok itu dengan
masih tidak percaya dia ada di sana, di kampungnya. Ngapain??
“Alan? Kamu ngapain di sini?”
Alan segera menoleh, “Aku mau ngomong sama kamu sebentar.
Boleh?”
Dinda mengangguk pelan, “Boleh,” jawabnya pelan, “Sambil
jalan aja ya?” kemudian mereka berdua berjalan duluan sementara Rosa dan Annisa
di belakang.
Langkah mereka jadi lebih perlahan daripada yang biasa
mereka bertiga lakukan.
“Eh, Rosa, Annisa. Kalian kalau mau pulang duluan enggak
apa kok,” kata Dinda. Pikirnya pasti sangat tidak nyaman harus melihat
laki-laki dan perempuan berjalan bersama di depan mereka.
“Oke. Kami duluan, ya,” sahut Annisa. Namun ketika Dinda
menoleh pada Alan dan mendapati dia tersenyum aneh barulah dia menyadari apa
yang telah dia lakukan.
“Eh! Tunggu! Tunggu!” cegah Dinda. “Kalian jangan pulang
duluan. Bareng...aja.” Dinda nyengir. Bukan kebiasaannya jadi plin plan begini.
Tapi untunglah Rosa dan Annisa tidak bertanya kenapa, patuh. Namun mereka sudah
beberapa meter jauhnya di depan Dinda. Dinda tersenyum, jelas mereka sangat
keren karena tidak menninggalkannya sendirian tapi juga memberikan privasi
bicara untuk Alan dan dirinya.
“Kamu enggak tarawih?” tanya Dinda mendahului. Pertanyaan
yang menggelayut semenjak dia pertama melihat Alan tadi, di depan mushola.
“Enggak. Aku kan mau ketemu kamu.”
Dinda kesal. “Lain kali tarawih aja. Ketemu kan bisa pas
siang, bisa besok,” katanya sabar.
“Besok aku mau pergi jauh,” sahut Alan datar.
Dinda menoleh. Terkejut. “Ke mana?” burunya.
“Ke Kalimantan. Kerja di kebun kelapa sawit pamanku.”
Dinda ingat Alan pernah bercerita padanya tentang kebun
kelapa sawit pamannya di Kalimantan. Bahwa mungkin dia akan ngenger
padanya, itu semacam berguru pada orang yang sudah sukses, supaya Alan bisa
menjadi pengusaha sukses seperti pamannya.
“Asik! Aku bakal ditraktir nih pas pulang kampung.” Dinda
kegirangan.
“Traktir? Memang kamu siapa? Kalau kamu pacarku apapun sih
akan kukasih,” kata Alan sambil terus menatap Dinda. Dinda balas menatapnya.
Dia tetap tenang tak tertebak pikirannya.
“Jangan, Lan.” Dinda menggeleng, berhenti berjalan.
Begitu juga Alan.
Ditatapnya Alan dalam dan lama. Berharap Alan membaca apa
yang ada dalam pikirannya, meski itu mustahil. Alan tidak punya indra keenam.
Namun ini adalah kata-kata yang selalu dilantunkan hatinya.
Jangan katakan itu, kumohon. Karena aku tak ingin
mengikatmu. Aku tak ingin kau hidup dalam kecemburuan, dalam lingkaran
pertemanan yang terbatas, dalam hati yang tertahan. Tidak, tidak sekarang. Aku tak
ingin hidup dalam kekhawatiran akan dirimu, tentang teman-teman perempuanmu,
tentang kecemburuan, tentang apa yang sedang kau lakukan. Tidak.
Ditepuknya pundak Alan lembut. “Kamu temanku,” ucap Dinda
penuh penekanan.
“Dan aku kan temanmu.” Dinda kembali ceria, “Jadi kamu
harus bawa oleh-oleh buatku tiap balik ke sini. Oke?” Mata Dinda kembali
menebar ceria, tapi senyumnya sarat ancaman. Itu artinya wajib.
Alan masih diam. Ekspresi kecewanya agak susah untuk
disembunyikan. Tapi kemudian dia tersenyum.
“Eh! Ngapain pegang-pegang aku? Bukan muhrim tahu!” kata
Alan jahil. Kalimat itu, dia ingat sekali itu adalah kalimat yang pernah
diucapkan Dinda ketika mereka masih awal kenal. Dinda juga ingat itu.
“Kulit kita kan tidak bersentuhan, Alaaan...”
Padahal mereka sudah berjalan dengan langkah pelan. Tapi
jalan dari mushola ke rumahnya tidak jauh. Annisa sudah pamit duluan ketika
mereka sampai di depan rumahnya, kemudian Rosa yang rumahnya ada di sebelah
rumah Annisa. Tinggal dua rumah lagi mereka sampai di rumah Dinda.
Padahal, masih banyak yang ingin ditanyakan Dinda.
Seperti tentang lebaran yang tinggal sebentar lagi, atau keluarganya, atau
tentang apakah dia sudah pamit dengan kawan-kawannya yang lain, atau rencana
Halal bi halal yang akan diadakan sekolah, di mana mungkin itu adalah kali
terakhir mereka bisa bertemu dengan teman-teman SMA mereka. Selanjutnya, hidup
akan berubah dan mereka sibuk dengan kuliah, kerja, atau pernikahan.
Dinda sendiri dia akan kuliah di Semarang, meniti masa
depan yang sebenarnya untuk empat tahun lagi.
***
Dinda sekali lagi berhasil mengajak Annisa dan Rosa untuk
sholat tarawih di mushola. Mungkin hanya saat seperti ini mereka bisa bukan
hanya dekat satu sama lain tapi juga dekat dengan Allah, Tuhan mereka yang
telah memberikan semua kebaikan dan berkah selama ini, terutama selama setahun
ini. Masa peralihan dari SMA ke proses pendewasaan selanjutnya. Annisa telah
semakin cantik setelah baru setahun pelatihan untuk jadi Pramugari, Rosa
sekarang berkacamata saking seringnya membaca sambil tiduran, dia belajar
sastra Inggris, dan Dinda, dia semakin mendalami ilmu muamalah khususnya
perbankan syariah.
Kali ini, di setiap sholat Dinda dia merasakan ada
perasaan lain setiap kali dia berusaha khusyuk untuk hanya memikirkan Allah-nya
dan dirinya. Perasaan yang pernah dia rasakan setahun lalu. Ingatannya bergulir
cepat menuju masa lalu dan menemukan ingatan tentang dia dan Alan. Menyenangkan
rasanya mengingat kenangan-kenangan itu, juga kenangan-kenangan lain tentang
teman-teman SMAnya, juga tentang Annisa dan Rosa. Tapi kembali ke masa kini
membuat perasaan itu terasa seperti imajinasi yang sangat dia rindukan.
Dinda sedikit menyesal dulu kenapa dia tidak berpesan
pada Alan untuk tidak meninggalkan sholat tarawih saat bulan ramadhan. Mungkin
dia bisa merasakan kerinduan yang sama seperti yang dia rasakan.
Paling tidak ini hanya kerinduan, bukan cemburu ataupun
perasaan curiga kenapa Alan tak juga menghubunginya. Karena memang itulah yang
terjadi. Alan tak pernah menghubunginya semenjak dia pindah.
“Kurasa kamu akan mati karena sebal karena ada yang
enggak tarawih,” celetuk Annisa. Ketika itu mereka sedang memakai sandal
masing-masing.
Dinda tidak mengerti, dipandanginya Annisa dengan penuh
tanda tanya.
“Ralat. Tidak tarawih... lagi.” Kemudian dia mengerling
pada sosok berjaket merah (lagi) sedang berdiri bersandar pada gerbang mushola.
Kali ini Dinda sangat terkejut bercampur bahagia. Sangat
bersyukur karena Alan masih hidup, dia pikir Alan telah pergi untuk selamanya
dari dunia ini... Habis, dia tak pernah menghubunginya!
Akan tetapi bagaimanapun juga Annisa benar. Pertama yang
harus dia lakukan adalah pasang tampang kesal sebelum menyambut orang bandel
itu penuh bahagia.
~FIN~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh dicopy tapi jangan diPLAGIAT ya.